Sejarah Perng Salib #2: Pertempuran Wina 1683


Transkrip:

Campur tangan TUHAN yang berkali-kali menggagalkan ambisi Kekalifahan Ottoman Turki untuk menguasai Eropa tidak menyurutkan semangat jihad mereka. Tahun 1529 mereka gagal menaklukkan Wina yang telah mereka kepung selama berminggu-minggu karena salju musim dingin secara ajaib turun lebih awal. Tahun 1571 mereka kalah dalam pertempuran laut Lepanto karena angin yang juga secara ajaib tiba-tiba berubah arah dan mengacaukan armada perang Turki.

Setelah kekalahan di Lepanto mereka tidak lagi berambisi menaklukkan Eropa melalui laut, tapi mereka masih menyimpan ambisi untuk menaklukkan Eropa melalui daratan. Di pertengahan abad 17 mereka sudah menguasai wilayah Balkan, Polandia, Lithuania, dan sebagian Rusia.

Namun tahun 1674 Jan Sobieski berhasil `membebaskan Polandia dan Lithuania dari kekuasaan Turki. Sementara itu di front timur Turki juga mulai mengalami kemunduran akibat perlawanan Rusia.

Untuk menegakkan kembali wibawa Kekalifahan Ottoman Turki, Sultan Mehmed IV ingin mengkompensasi berbagai kekalahan itu dengan menyerang dan menguasai Eropa Barat. Wina, ibukota Kekaisaran Romawi Suci adalah sasaran pertamanya. Dengan menguasai Wina, maka Roma adalah target berikutnya. Jika Wina dan Roma berhasil dikuasai maka seluruh Eropa akan tunduk di bawah hukum syariah Kekalifahan Ottoman Turki.

T-Shirt "SIGILVM MILITVM XPISTI"
https://www.ciptaloka.com/kaos_kaos_t_shirt_militum_xpisti_non_nobis_domine-1606700-yr4dapnq4j

Sultan Mehmed IV memberikan tugas penting itu kepada Grand Vizier Turki, Kara Mustafa Pasha. Grand Vizier adalah jabatan dalam kekalifahan yang kurang lebih semacam mahapatih. Mustafa Pasha dianggap sebagai orang yang tepat untuk tugas tersebut karena ambisinya untuk menguasai seluruh Kekristenan amat besar. Ia bahkan bermimpi untuk menjadikan Basilika St. Petrus sebagai kandang bagi kuda-kudanya yang banyak. 

Turki memulai langkah konfrontasi dengan memanfaatkan pemberontakan kaum Protestan di Hungaria terhadap Kekaisaran Romawi Suci, yang saat itu dikuasai oleh Dinasti Hapsburg dari Austria. Turki menawarkan bantuan dukungan untuk melawan dinasti Hapsburg yang tentu saja disambut hangat oleh para pemberontak Hungaria.

Selanjutnya Turki mengancam Kekaisaran Romawi Suci (Austria) untuk menyerahkan semua daerah kekuasaan mereka di Hungaria kepada para pemberontak. Tentu saja Austria menolak, Raja Leopold I lalu melaporkan situasi ini pada Paus melalui Marco D'Aviano yang menjabat sebagai papal nuncio atau utusan Paus. Penolakan tersebut dijadikan alasan bagi Turki untuk menyatakan perang terhadap Austria pada tanggal 6 Agustus 1682!

Sementara itu Marco D'Aviano menangkap ancaman Turki dan pernyataan perangnya sebagai isyarat dari TUHAN agar orang-orang Kristen segera bertobat dan merendahkan diri di hadapan Tuhan. Dia meminta Raja Leopold I untuk mengadakan masa perkabungan dan pertobatan di seluruh Kekaisaran Romawi Suci guna menyelamatkan kekaisaran dan menyelamatkan seluruh Eropa dari serangan invasi jihad. Mengikuti saran ini maka seruan pertobatan dan puasapun mulai dikumandangkan di gereja-gereja di seluruh wilayah kekaisaran.

Raja Leopold I kemudian mengambil langkah strategis untuk mengikat perjanjian kerjasama dengan Raja Jan III Sobieski (atau Jan Sobieski) dari Polandia. Perjanjian ini kelak menjadi kunci penting yang akan menyelamatkan Wina dari serbuan Turki. Selanjutnya dengan bantuan Paus Inosentus XI, Raja Leopold I bersama ahli strategi militer Duke Charles V dari Lorraine juga berusaha menggalang bantuan dari beberapa kerajaan. Venesia, kerajaan-kerajaan Jerman seperti Bavaria, Baden, Swabia, Franconia, juga Saxonia yang Protestan, berhasil diajak untuk bergabung dalam pasukan sekutu Kristen.

Sementara itu Perancis, seperti juga saat Perang Lepanto, tetap tidak bersedia membantu. Perancis pada saat itu memang sedang berseteru dengan dinasti Hapsburg Austria untuk berebut pengaruh di Eropa. Perancis bahkan mengirimkan pesan kepada Turki bahwa mereka akan bersikap netral pada perang tersebut.

Di Turki, belajar dari kegagalan di tahun 1529 mereka mempersiapkan serangan ke Wina dengan lebih baik. Sejak awal tahun 1683 Turki sudah memobilisasi pasukan, mempersiapkan jalur logistik dan perbekalan, mempersiapkan amunisi yang cukup untuk peperangan jangka panjang, menyiapkan ahli-ahli teknik untuk membongkar benteng pertahanan Kota Wina, dan bahkan mempersiapkan para pedagang budak untuk menjual budak-budak Kristen yang didapat selama penyerangan guna membiayai kebutuhan logistik pasukan.

Dengan persiapan seperti itu sekalipun penyerangan ke Wina kelak memerlukan waktu berbulan-bulan, mereka sudah siap dengan segala kebutuhan logistik yang diperlukan! Sementara itu dengan melakukan pengepungan yang ketat menggunakan ratusan ribu pasukan mereka yakin Kota Wina tidak akan mampu bertahan lama karena pasti akan kehabisan cadangan perbekalan sebelum bantuan sempat datang!

Tulang punggung kekuatan pasukan Turki adalah pasukan elit janissary yang sangat ditakuti. Mereka berasal dari anak-anak Kristen yang diambil paksa dari keluarga-keluarga Kristen sebagai bagian dari pajak jizya di berbagai wilayah penaklukan, mulai dari Mesir hingga ke Balkan. Mereka dididik, dijadikan mualaf, dicuci otak dan dijadikan unit-unit tempur mematikan untuk melawan saudara mereka orang-orang Kristen! Ini benar-benar prinsip tak bermoral yang terinspirasi iblis!

Awal musim semi 1683 Sultan Mehmet IV memimpin 125 ribu pasukan Turki bergerak menuju Beograd di Balkan. Di sana ia menyerahkan pasukannya kepada Grand Vizier atau Mahapatih Mustafa Pasha. Selanjutnya pasukan Ottoman Turki mendapatkan tambahan dari pasukan muslim Tartar Krimea, pasukan pemberontak Hungaria, dan pasukan Turki yang ditarik dari pos-pos mereka di Balkan. Dengan tambahan ini total pasukan Turki di bawah komando Mustafa Pasha yang akan menyerang Wina diperkirakan berjumlah hampir 200 ribu orang. Jika dibandingkan dengan 35 ribu pasukan Kekaisaran Romawi Suci yang saat itu mempertahankan kota Wina, tentu ini tidak sebanding dan menggambarkan dengan jelas tekad Turki untuk memastikan kemenangan.

Sepanjang jalan menuju Wina, pasukan Turki menyerang dan menjarah kota-kota kecil Kristen, membunuhi setiap laki-laki yang berusaha melawan, lalu menangkapi ribuan perempuan dan anak-anak untuk dijual sebagai budak. Pada tanggal 14 Juli 1683, Mustafa Pasha dengan hampir 200 ribu pasukannya mulai tiba dan membangun perkemahan 9 km di sebelah barat kota Wina. Melihat ancaman yang begitu besar dan tidak sebanding, Raja Leopold I dan Duke Charles of Lorraine segera keluar dari Kota Wina beserta 2/3 pasukannya guna menggalang bala bantuan. Mereka hanya menyisakan sekitar 12 ribu pasukan ditambah dengan sekitar 5000 orang sipil tak terlatih untuk mempertahankan Kota Wina. 

Sekilas apa yang dilakukan Raja Leopold I tampak seperti sebuah tindakan pengecut. Namun nanti ternyata bahwa tindakan tersebut ikut andil menyelamatkan kota Wina. Kepergian Raja Leopold I beserta sebagian besar pasukannya membuat kota Wina memiliki persediaan makanan yang membuat mereka mampu bertahan lebih lama dari yang diperkirakan oleh Mustafa Pasha.

Pasukan Turki mulai membangun kubu-kubu pengepungan di sekeliling benteng kota. Sambil menyusun pengepungan, Mustafa Pasha meneror kota dengan menembakkan puluhan anak panah berisi tuntutan damai khas Islam: "Bertobatlah menjadi muslim dan serahkan kota, atau bersiaplah untuk berperang!"

Sementara itu, saat seluruh Eropa dilanda ketegangan karena pengepungan kota Wina dan terfokus untuk mempersiapkan bantuan, Perancis justru mengambil kesempatan tersebut untuk secara licik menyerang Belanda yang saat itu ada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi Suci. Tindakan tak bermoral ini membuat Raja Louis XIV dari Perancis dijului sebagai "Orang Turki yang paling Kristen!"

Setelah tuntutan damainya diabaikan oleh gubernur kota Wina yaitu Ernst Rudiger von Starhemberg, pasukan Turki mulai menyerang benteng pertahanan Kota Wina dengan ratusan kanon. Tetapi setelah beberapa hari serangan sengit dilakukan, nyatalah bahwa tembok pertahanan Kota Wina amat kokoh dan berlapis sehingga tidak dapat ditembus dengan mudah. Senjata-senjata kanon orang Austria juga lebih baik sehingga membuat pasukan penyerang kewalahan dan berkali-kali dipukul mundur dengan banyak korban tewas. Akhirnya setelah seminggu serangan kanon gagal membongkar tembok pertahanan, Mustafa Pasha mulai menggunakan strategi lain, yaitu menggali terowongan bawah tanah untuk meletakkan bom-bom di bawah tembok pertahanan kota.

Tapi strategi itu segera dikenali pasukan Austria. Mereka mengatasinya dengan membuat alat deteksi sederhana berupa ember air yang diletakkan di sekeliling tembok pertahaan. Jika keberadaan terowongan Turki berhasil dideteksi, mereka membuat terowongan dari arah benteng untuk merusaknya. Tidak jarang kedua pasukan bertemu di dalam terowongan dan bertempur di dalam kegelapan terowongan.

Sementara itu pasukan bantuan dari sekutu Kristen mengalami berbagai kesulitan dalam berkoordinasi sehingga tidak dapat segera datang memberikan bantuan. Pasukan sekutu ini dipimpin oleh Raja Jan Sobieski dari Polandia, dengan dibantu oleh Duke Charles of Lorraine dari Kekaisaran Romawi Suci. Belajar dari apa yang dilakukan Perancis, Jan Sobieski mengirimkan ancaman kepada pemimpin pemberontak Hungaria yang bersekutu dengan Turki. Pesannya agar mereka tidak ikut campur dan memanfaatkan situasi. Ancaman ini ternyata cukup efektif untuk mengamankan Polandia dan Lithuania dari kemungkinan serangan orang-orang Hungaria selama Jan Sobeski pergi.

Pada tanggal 15 Agustus 1683 Jan Sobieski beserta pasukannya berangkat dari Polandia menuju Austria. Mereka membawa panji peperangan berupa lukisan Madonna Hitam dari Czestochowa dan mengawali perjalanan dengan menyanyikan hymne kuno "Bogurodzica" atau "Bunda Tuhan"! Gerakan pasukan kavaleri Polandia berjalan lambat karena mereka harus menembus hutan yang lebat. Sementara itu pasukan dari kerajaan-kerajaan Venesia, Bavaria, Baden, Franconia, Swabia, dan Saxon yang Protestan juga sudah berangkat menuju lokasi konflik.

Pada tanggal 4 September sebuah bom terowongan yang luput dari deteksi berhasil meledak dan merusak satu bagian tembok pertahanan. Dengan teriakan takbir "Allahu akbar!" pasukan Turki dengan pasukan elit janissary-nya langsung menyerbu ke dalam benteng melalui bagian tembok yang runtuh. Namun pasukan Austria dibantu rakyat sipil memberikan perlawanan hebat dan berusaha menambal benteng yang runtuh dengan kantong-kantong pasir, balok-balok kayu, dan apapaun yang bisa digunakan. Perlawanan sengit dan mati-matian itu membuat pasukan Turki tetap belum bisa memasuki benteng. Namun Mustafa Pasha merasa yakin kemenangan pasukannya sudah amat dekat dan tinggal menunggu waktu.

Setelah enam minggu lebih gagal menembus benteng pertahanan kota Wina, sebagian pasukan Turki mulai frustasi dan kehilangan moral. Apalagi perlawanan yang sengit dari orang-orang Austria telah menimbukan banyak korban tewas dan luka-luka diantara pasukan Turki. Tapi dengan berhasil diruntuhkannya salah satu bagian tembok pertahanan kota membuat moral pasukan Turki kembali naik. Mereka punya keyakinan sebentar lagi Wina akan mereka kuasai.

Sementara itu keadaan di dalam benteng juga sudah parah. Tidak hanya banyak pasukan Austria dan rakyat sipil yang tewas dan terluka, tetapi cadangan bahan panganpun mulai menipis dan dijatah ketat. Hewan-hewan peliharaan seperti anjing dan kucing sudah mulai dijadikan konsumsi. Penderitaan itu ditambah lagi dengan munculnya berbagai penyakit akibat sanitasi yang buruk dan mayat-mayat yang belum sempat dikuburkan. Wabah penyakitpun mulai berdampak pada sebagian pasukan dan rakyat sipil yang tersisa. Sekiranya Raja Leopold I tidak menarik 2/3 pasukannya ke luar kota Wina, pasti mereka sudah kehabisan persediaan makanan dan tidak dapat bertahan sejak dua minggu sebelumnya. 

Kini mereka berlomba dengan waktu, antara kondisi di dalam kota yang semakin buruk dan menanti kedatangan pasukan bantuan! Setiap malam dari atas menara Katedral St. Stefanus mereka menyalakan roket ke udara sambil menantikan jawaban dari pasukan bantuan yang belum juga muncul.

Akhirnya setelah nyaris putus asa menanti, pada tanggal 10 September malam hari mereka melihat dari kejauhan balasan roket ditembakkan di sebelah utara kota Wina. Itu pertanda bantuan pasukan sekutu yang diharapkan sudah mulai tiba! Kegembiraan dan harapanpun mulai pecah di dalam kota! Sekitar 60 ribu pasukan Venesia, Bavaria, Baden, Franconia, Swabia, dan Saxon sudah mulai berdatangan. Mereka berkemah di wilayah perbukitan kurang lebih 45 km di utara Kota Wina.

Hari berikutnya Jan Sobieski dan 30 ribu pasukannya juga mulai muncul, mereka mengambil posisi di bukit Kahlenberg yang strategis. Setelah mengamati keadaan pasukan Turki dari ketinggian Bukit Kahlenberg, Jan Sobieski melihat perkemahan pasukan yang tak terjaga dengan baik. Ia langsung mengetahui kelemahan pasukan Turki. "Mereka tidak tahu cara berkemah! Kita bisa mengalahkan mereka!" demikian komentar Jan Sobieski.

Mustafa Pasha yang menyadari kehadiran pasukan bantuan dari sekutu langsung memerintahkan sebagian pasukannya, termasuk pasukan elit janissary, untuk menghadang mereka. Pada tanggal 12 pagi-pagi buta, pasukan Turki menyerang posisi pasukan sekutu lebih dahulu. Tapi serangan itu sudah diantisipasi, dan kondisi perbukitan menyulitkan pasukan Turki untuk menyerang secara efektif. Akibatnya serangan ini dengan mudah dipukul balik sehingga pasukan Turki yang sudah kelelahan dan jenuh bertempur harus mundur teratur melawan pasukan sekutu yang masih segar dan bersemangat tinggi.

Tanggal 12 Sepetember adalah hari Minggu. Melihat pasukan sekutu lainnya sanggup menghadapi pasukan Turki, Jan Sobieski memilih melakukan hal lain yang menurutnya lebih penting, yaitu mengikuti Misa Kudus terlebih dahulu! Pagi itu Marco D'Aviano mempersembahkan misa bagi seluruh pasukan yang ada di bawah komando langsung Jan Sobieski. Dan pelayan misa yang menemani imam di altar pada hari itu tidak lain adalah Raja Jan Sobieski sendiri!

Setelah selesai mempersembahkan Misa kira-kita jam 10 siang, Marco D'Aviano langsung menuju medan pertempuran untuk memberkati pasukan sekutu Kristen yang sedang bertempur melawan pasukan Turki. Jan Sobieski juga memerintahkan sebagian pasukannya untuk membantu. Ketika dilihatnya pasukan Turki sempat berhasil mendesak pasukan sekutu, bagaikan Nabi Musa yang mengangkat tongkatnya untuk memukul bangsa Amalek, Marco D'Aviano mengangkat salibnya sambil berseru, "Ecce Crucem Domini! Fugite partes adversae!" - "Lihatlah salib Tuhan, maka berhamburanlah musuh-musuh-Nya!" Seruan itu memberikan kekuatan ekstra bagi pasukan sekutu Kristen untuk terus mendesak pasukan Turki mundur semakin jauh.

Sementara itu menjelang tengah hari Mustafa Pasha mendapat kabar gembira, 10 buah terowongan berisi bom yang akan menghancurkan benteng pertahanan Kota Wina sudah selesai dipersiapkan, dan tinggal menunggu komandonya untuk dinyalakan. Mustafa Pasha langsung mengambil keputusan untuk menarik sebagian besar pasukan janissary yang sedang menghadapi pasukan sekutu di bagian utara kota. Ia bermaksud mengkonsentrasikan mereka untuk menyerbu ke dalam benteng. 

Ini sebuah kesalahan fatal yang harus dibayar mahal oleh Mustafa Pasha. Dalam perhitungannya, jika tembok pertahanan benteng berhasil diruntuhkan mereka akan menyerbu ke dalam kota, lalu menyandera pasukan dan penduduk sipil yang ada di dalamnya untuk mencegah pasukan sekutu menyerang lebih jauh. Selanjutnya mereka akan punya waktu cukup untuk mengkonsolidaikan kekuatan di dalam benteng guna mengusir pasukan sekutu di hari berikutnya!

Tapi keajaiban kembali terjadi!

Seorang tukang roti yang bermaksud mengambil tepung di gudang bawah tanah secara kebetulan mendengar aktivitas orang-orang Turki di terowongan bawah tanah. Ia lalu melaporkan kejadian itu pada pasukan penjaga yang segera mengerahkan orang-orang untuk mencari terowongan-terowongan di sekitar daerah tersebut. Akhirnya kesepuluh terowongan itu berhasil ditemukan dan sumbu-sumbu bom yang sudah dinyalakan berhasil dimatikan tepat pada wakunya.

Mustafa Pasha yang dengan tegang sedang menunggu detik-detik meledaknya bom menjadi panik ketika bom yang mereka pasang tidak satupun meledak. Dia segera sadar ada sesuatu yang tidak beres! Pasukan Turki yang sudah disiapkan tidak mungkin memaksa untuk  menyerbu ke dalam benteng yang masih berdiri kokoh. Dalam keadaan panik, dengan maksud menjatuhkan moral pasukan Austria, Mustafa Pasha memerintahkan para prajurit Turki untuk membantai ribuan anak-anak dan perempuan Kristen yang mereka tangkap untuk dijadikan budak, dan juga para prajurit Austria yang mereka tawan. Tapi perbuatan ini justru membuat pasukan Austria menjadi marah besar dan semakin membulatkan tekad untuk melawan.

Sementara itu pasukan sekutu dari sebelah utara sudah berhasil mendesak semakin jauh dan mulai mendekati benteng, karena pasukan Turki yang menahan mereka sudah terlanjur ditarik. Mustafa Pasha tidak punya pilihan lain selain mengerahkan kembali pasukan Turki untuk menghadapi pasukan sekutu yang sudah mendekat dan mulai mengepung posisi mereka. Tapi itu keputusan yang sangat terlambat dan tidak efektif.

Keadaan bagi pasukan Turki makin buruk ketika pasukan Austria di dalam benteng dalam kemarahan yang memuncak mulai berani keluar menyerang. Kanon-kanon dari atas benteng juga terus memuntahkan semua peluru-peluru yang ada untuk menghajar parit-parit pertahanan Turki. Pasukan Turki yang terjepit dari dua posisi ditambah dengan kepanikan dan moral yang merosot karena rencana penyerbuan yang gagal membuat mereka menjadi sasaran serangan yang empuk. Hanya jumlah pasukan yang jauh lebih besar saja yang membuat pasukan Turki tidak mudah dikalahkan.

Tapi pukulan lain menimpa Mustafa Pasha. Pasukan muslim Tartar Krimea dan pasukan pemberontak Hungaria yang sudah frustasi dan merasa tidak mungkin lagi menguasai Wina, akhirnya memilih mundur dari pertempuran sebelum situasi menjadi semakin buruk!

Sementara itu di atas bukit Kahlenberg Jan Sobieski dari atas kudanya mengamati selama berjam-jam jalannya pertempuran. Ia masih menunggu saat yang tepat untuk melakukan serangan mematikan yang sedang disiapkannya. Menjelang sore hari Jan Sobieski mulai melihat kesempatan yang ia butuhkan. Dengan gagah berani ia memimpin langsung penyerangan pasukan kavaleri terbesar sepanjang masa! Jan Sobieski bersama 3000 pasukan kavaleri Hussar bersayap berada di bagian depan untuk memberi semangat, diikuti 17 ribu pasukan kavaleri gabungan dari Polandia, Lithuania, dan Jerman.

Gemuruh suara sayap 3000 pasukan Hussar memberikan efek psikologis yang mengerikan di medan pertempuran karena memunculkan kesan seolah-olah yang datang menyerang adalah pasukan kavaleri yang jumahnya tiga kali lipat dari yang terlihat. Ini membuat pasukan Turki menjadi panik dan kehilangan keberanian untuk melawan. Akibatnya dengan mudah pasukan kavaleri pimpinan Jan Sobieski membantai pasukan Turki yang ada di hadapan mereka.

Serangan pasukan kavaleri Jan Sobieski dipecah menjadi dua bagian. Bagian terbesar diarahkan untuk memukul pasukan Turki yang sedang terjepit dari dua posisi. Sementara sebagian lainnya menyerang ke arah perkemahan pasukan Turki yang tidak terjaga dengan baik. 

Serangan ini berdampak amat buruk pada pasukan Turki karena mereka kehilangan tempat untuk melakukan konsolidasi. Ketika sebagian pasukan Turki mencoba mundur dari pertempuran mereka terkejut saat mendapati kemah mereka sudah dikuasai pasukan kavaleri Jan Sobieski yang sudah siap menanti kedatangan mereka. 

Sementara itu Mustafa Pasha juga sudah kehilangan kendali terhadap pasukannya. Pasukan Turki praktis bertempur tanpa koordinasi lagi. Karena tidak punya pilihan lain, sebagian dari mereka memilih melarikan diri dengan menyeberangi Sungai Danube dari pada harus menerima resiko dibantai habis oleh pasukan kavaleri Jan Sobieski yang masih segar bugar! 

Mustafa Pasha yang bermimpi menaklukkan seluruh Kekristenan dan menjadikan Basilika St. Petrus sebagai kandang kudanya akhirnya harus menerima kenyataan pahit. Pasukannya kalah telak dalam sehari pertempuran dan ia sendiri harus melarikan diri menyeberangi Sungai Danube untuk menyelamatkan nyawanya! Ironisnya, tepat di hari Natal tahun yang sama di Beograd Mustafa Pasha ditangkap atas perintah Sultan Mehmet IV dan dieksekusi dengan cara dijerat lehernya hingga putus karena dianggap melakukan desersi.

Selama hampir dua bulan pengepungan, pasukan Turki telah kehilangan sekitar 20 ribu orang, sementara pasukan Austria kehilangan 5000 orang. Tapi pada hari Jan Sobieski menyerang, dalam satu hari mereka kehilangan 15 ribu pasukan tewas saat pertempuran berlangsung, dan 5000 orang lagi berhasil ditawan. Itu belum termasuk puluhan ribu pasukan Turki yang hilang saat mereka menyeberangi Sungai Danube dalam keadaan panik. Sementara korban dari pasukan sekutu Kristen tidak lebih dari 3000 orang. Seandainya bukan karena hari yang terlanjur malam kemungkinan besar jumlah pasukan Turki yang tewas atau tertangkap akan jauh lebih besar dari itu.

Selain Wina berhasil dibebaskan dari pengepungan pasukan Turki, pasukan sekutu juga mendapatkan harta berlimpah yang ditinggalkan pasukan Turki di perkemahan mereka. Ada puluhan ribu tenda pasukan termasuk tenda-tenda mewah milik Mustafa Pasha serta para komandan pasukan. Juga terdapat puluhan ton amunisi, dan cadangan makanan yang berlimpah-ruah. Diantaranya ada 20 ribu ekor sapi dan kerbau, 20 ribu ekor unta, 10 ribu ekor domba, 10 ribu ekor kambing, 100 ribu karung gandum, dan 10 ribu karung kopi. Butuh waktu lebih dari seminggu guna mengumpulkan harta sitaan perang itu untuk dibagi-bagikan diantara pasukan sekutu dan rakyat Kota Wina.

Setelah pasukan Turki berhasil dikalahkan, Raja Jan Sobieski memasuki kota Wina dengan disambut meriah sebagai pahlawan penyelamat kota Wina. Di depan Katedral St. Stefanus ia merebahkan diri ke tanah sambil mengatakan kemenangan tersebut berkat pertolongan TUHAN. Dengan mengutip perkataan Julius Caesar, dia berseru lantang, "Venimus, Vidimus, Deus Vicit!" (Kami datang, kami melihat, dan TUHAN menang!). Malam itu Jan Sobieski langsung menulis surat kepada istrinya, "Inilah kemenangan terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa Polandia!"

Berita kemenangan besar itu langsung disambut gembira di seluruh Eropa. Paus Inocentus XI mempersembahkan Misa sebagai pengucapan syukur dan menetapkan setiap tanggal 12 September sebagai "Pesta Nama Terkudus Maria".

Kemenangan besar itu sendiri menjadi titik awal dari runtuhnya kekalifahan Islam Turki secara bertahap. Tahun berikutnya Paus Inocentus XI meresmikan Liga Suci untuk melancarkan Perang Salib guna merebut kembali wilayah-wilayah Eropa yang dikuasai Turki. Dalam peristiwa sejarah yang dikenal sebagai "Perang Besar Turki", selama 16 tahun Turki terus kehilangan wilayah-wilayah yang dikuasainya hingga akhirnya perang tersebut diakhiri dengan perjanjian damai di tahun 1699. Meski demikian kemunduran Kekalifahan Ottoman terus berlanjut selama dua abad lebih. Sampai akhirnya pada tahun 1924 riwayat Kekalifahan Ottoman Turki tamat setelah dibubarkan oleh Kemal Attaturk. Itulah akhir tragis dari sejarah kekalifahan Islam, yang dianggap oleh banyak muslim sebagai bencana terbesar bagi islam setelah kematian muhamad!

Dengan melihat fakta tadi kita bisa menyimpulkan akhir dari seluruh rangkaian Perang Salib selama berabad-abad dalam satu kalimat singkat: Kekalifahan Islam gagal menguasai Eropa dan akhirnya lenyap dari sejarah!

Ada cerita menarik di balik kemenangan pertempuran di Wina tahun 1683 ini...

Tukang roti yang menyelamatkan kota Wina mendapatkan penghargaan dari Gubernur von Starhemberg yang bertanya kepadanya apa yang paling diinginkannya. Tukang roti itu menjawab ia ingin membuat roti berbentuk bulan sabit untuk dimakan bersama sebagai tanda ucapan syukur atas kemenangan terhadap pasukan Islam. Sekarang kita mengenal roti tersebut dengan nama 'croissant' karena roti ini kemudian dipopulerkan oleh Ratu Marie Antoinette di Perancis. Itulah asal mula roti 'croissant' yang kita santap sekarang ini! Roti itu menjadi simbol peringatan atas sebuah kemenangan yang menyelamatkan Eropa dan sekaligus awal dari runtuhnya kekalifahan Islam!

Ada lagi kisah lain...

Pada waktu mendapatkan sepuluh ribu kantong biji-bijian berwarna hitam, tidak ada orang Eropa yang tahu itu biji apa. Setelah ditanyakan kepada pasukan Turki yang tertawan, mereka menjawab itu biji "kafir!" yang di telinga orang Eropa terdengar seperti 'coffee...'. Orang-orang Turki menyebutnya demikian karena biji-bijian itu di dapat dari negeri Kristen kafir Etiopia. Itulah pertama kali orang-orang Eropa mengenal 'kopi', minuman rahasia yang membuat pasukan Turki punya ketahanan dan kewaspadaan ekstra dalam berperang....

Selanjutnya oleh seorang pengusaha, biji-biji kopi itu diborong dan dia membuat 'coffee-shop' pertama di Eropa. Papal Nuncio Marco D'Aviano yang juga seorang biarawan kapusin, mendapatkan kehormatan untuk mencicipi minuman kopi tersebut. Karena menganggapnya terlalu pahit, lalu ia menambahkan susu dan gula. Dari kombinasi kopi, susu, dan gula itulah kemudian tercipta minuman "Capuccino" yang namanya diambil dari "Kapusin", karena warnanya yang coklat seperti jubah para biarawan kapusin.

Demikianlah pertempuran bersejarah pada tanggal 12 September 1683 di Wina tidak hanya telah menyelamatkan Eropa dari ancaman jihad Islam dan menandai awal dari mundurnya kekalifahan Islam, tapi juga menyisakan warisan kuliner yang masih kita nikmati hingga hari ini.