Video tentang pengepungan Malta yang legendaris ini dibagi menjadi dua bagian. Pada bagian pertama saya akan membahas sejarah terbentuknya Ksatria Hospitaller, terusirnya mereka dari wilayah konflik Perang Salib untuk memperebutkan Yerusalem, hingga keberhasilan mereka mempertahankan markas di Pulau Rhodos dari serangan Sultan Mehmet II.
Pada bagian kedua, saya akan membahas jatuhnya markas Ksatria Hospitaller di Pulau Rhodos yang berlanjut pada kisah pengepungan markas terakhir Ksatria Hospitaller di Pulau Malta yang legendaris.
Kita akan mulai dengan bagian yang pertama...
Diantara ketiga ordo ksatria yang muncul dalam sejarah perang salib, yang tertua adalah Knights Hospitaller atau dikenal juga dengan nama Ksatria-ksatria Santo Yohanes (Knights of St.John).
Cikal bakalnya sudah muncul jauh sebelum perang salib terjadi. Sejak tahun 1050 di Yerusalem, beberapa biarawan Benediktin memberikan pelayanan pengobatan kepada orang-orang sakit, baik itu peziarah yang datang ke Yerusalem maupun orang-orang lokal yang membutuhkan. Sejalan dengan kebutuhan yang muncul, merekapun mendirikan rumah sakit yang pertama di dekat biara Benediktin.
Ketika Yerusalem berhasil direbut oleh Pasukan Perang Salib pada tahun 1099, para Ksatria dan pasukan Perang Salib sangat terkesan dengan pelayanan yang diberikan rumah sakit tersebut. Saat itu yang memimpin karya pelayanan mulia tersebut adalah Bruder Gerard. Banyaknya Ksatria dan prajurit Perang Salib yang mendapatkan pelayanan pengobatan di tempat itu membuat donasi yang berlimpah dari kerajaan-kerajaan Eropa.
Bruder Gerard memanfaatkan donasi yang diterima untuk mendirikan rumah sakit di sepanjang rute menuju Yerusalem dan merekrut banyak anggota baru. Bahkan mereka dapat menyewa prajurit-prajurit untuk mengawal orang-orang yang terluka atau peziarah dalam perjalanan-perjalanan yang berbahaya dari dan menuju Yerusalem..
Karena kedekatan mereka dengan misi-misi Perang Salib, banyaknya Ksatria Perang Salib yang ikut bergabung dalam kelompok mereka dan tuntutan perlunya kekuatan militer untuk mendampingi dan melindungi karya pelayanan mereka maka dalam perkembangannya Ordo St. Yohanes mulai melibatkan juga unsur-unsur kemiliteran.
Pada tanggal 15 Februari 1113 Paus Paskalis II mengakui dan mengukuhkan ordo para ksatria tersebut sebagai ordo yang berdaulat penuh dan hanya tunduk kepada otoritas Paus. Pemimpin mereka, Bruder Gerard, diangkat sebagai Grand Master ordo yang pertama. Penggantinya, Grand Master Raymond Dupuis, adalah orang yang dianggap paling berjasa membentuk para ksatria ordo menjadi mesin tempur yang sangat tangguh. Karena keberadaan mereka berawal dan berakar dari pelayanan rumah sakit, maka mereka juga dikenal sebagai Knights Hospitaller. Lambang mereka adalah salib dengan ujung delapan yang sebenarnya merupakan perpaduan dari empat anak panah yang menusuk dari berbagai arah. Itu melambangkan semangat mereka untuk berkorban demi iman dan demi melayani orang-orang yang terluka.
Disiplin yang tinggi, iman yang kokoh, dan semangat untuk mengabdi TUHAN membuat mereka dikenal sebagai ksatria-ksatria tempur yang tangguh. Dan bersama-sama dengan Ksatria Templar yang terbentuk kemudian, Ksatria Hospitaller menjadi pasukan yang paling ditakuti dalam sejarah Perang Salib. Pahlawan kebanggaan Islam, Saladin begitu takut pada mereka sehingga dia tidak pernah membiarkan tawanan dari Ksatria Hospitaller ataupun Ksatria Templar untuk tetap hidup dan dibebaskan dengan tebusan sebagaimana tawanan perang lainnya. Mereka selalu dibunuh di tempat apabila tertawan.
Ketika Yerusalem jatuh pada tahun 1187, mereka memindahkan markas besar ke Acre. Dari sana mereka terus melancarkan perlawanan terhadap upaya dominasi muslim. Kemampuan tempur yang luar biasa membuat mereka mampu bertahan dari gempuran pasukan muslim yang terus mengepung mereka dari berbagai arah selama kurang lebih seratus tahun!
Tapi semakin kuatnya cengkeraman kekuasaan muslim di wilayah-wilayah perang salib akhirnya membuat markas mereka di Acre jatuh di tahun 1291 dan membawa kerugian besar pada kekuatan mereka. Hanya tinggal 7 orang Ksatria Hospitaller bersama ratusan pasukan salib yang masih tersisa dan berhasil menyelamatkan diri ke Siprus.
Dari Pulau Siprus ini Ksatria Hospitaller mulai menata kembali kekuatannya. Mereka merekrut banyak anggota dan kembali mengembangkan pelayanan bagi orang-orang sakit. Setelah donasi kembali mengalir mereka mulai membangun markas di Pulau Rhodos, sebuah pulau di bagian selatan wilayah Kekaisaran Romawi Byzantium yang saat itu juga mulai melemah kekuatannya...
Sejak tahun 1310 Ksatria Hospitaller menguasai secara penuh Pulau Rhodos dan selama lebih dari 100 tahun Ksatria Hospitaller berhasil tumbuh dan berkembang. Selain membangun benteng yang kokoh mereka juga membangun gereja-gereja yang indah sebagai ungkapan iman mereka.
Para Ksatria Hospitaller ini dikelompokkan berdasarkan bahasa. Ada 8 kelompok bahasa yang masing-masing memiliki markas terpisah: Inggris, Aragon, Castile, Jerman, Perancis, Auvergne, Provence, dan Italia. Di pulau tersebut mereka juga terbebas dari pengaruh kepentingan politik berbagai kerajaan di Eropa.
Tapi sayangnya kenyamanan itu tidak berlangsung lama...
Pada tahun 1453 Konstantinople jatuh ke dalam tangan pasukan muslim Turki di bawah pimpinan Sultan Mehmet II. Kejatuhan ini sendiri tidak lepas dari sikap skismatik Gereja Ortodoks Timur. Mereka menolak untuk kembali bersatu dengan Gereja Katolik, tapi berharap bantuan militer dari Gereja Katolik. Tentu saja sikap keras Gereja Ortodoks Byzantium ini membuat Paus dan kerajaan-kerajaan Katolik Eropa menjadi ragu dalam memberikan bantuan yang dibutuhkan. Sekalipun bantuan memang akhirnya diberikan juga, tapi semuanya sudah terlambat dan kejatuhan Konstantinopel tidak bisa dihindarkan....
Bagi Ksatria Hospitaller, kejatuhan Konstantinopel membuat markas mereka menjadi front terdepan untuk menghadapi invasi muslim di laut mediterania! Ketangkasan para Ksatria Hospitaller dalam menjalankan kapal dan kehebatan mereka dalam pertempuran laut membuat Ksatria Hospitaller menjadi penghalang terbesar bagi upaya ekspansi muslim melalui laut. Mereka kerap menyerang kapal-kapal dagang Turki dan menghaancurkan kapal-kapal perang Turki yang mengawalnya. Ini membuat Sultan Mehmet II yang menguasai Kekalifahan Ottoman Turki menjadi geram dan bertekad untuk menghabisi para Ksatria Hospitaller di markas mereka, Pulau Rhodos....
Pada tanggal 23 Mei 1480, Sultan Mehmet II mengirimkan armadanya yang berjumlah 166 kapal perang untuk menggempur markas Ksatria Hospitaller di Pulau Rhodos. Armada tersebut dipimpin oleh Mesih Pasha dan membawa sekitar 70 ribu prajurit tempur, termasuk diantaranya 3000 pasukan elit janissary. Sementara itu Ksatria Hopitaller dipimpin oleh Grand Master Pierre d'Aubusson. Kekuatan pasukan Ksatria Hospitaller yang mempertahankan Pulau Rhodes adalah 600 ksatria dan 3500 prajurit serta milisi lokal.
Dari segi jumlah, kekuatan keduanya tentu sangat tidak sebanding. Tapi Ksatria Hospitaller sudah terbiasa menghadapi situasi pertempuran semacam itu. Sejak dari Yerusalem hingga mereka terusir dari Acra, situasi pertempuran yang tidak seimbang seperti ini hampir selalu mereka hadapi. Jadi mereka sudah sangat siap untuk menahan puluhan ribu pasukan Ottoman Turki yang datang menyerbu.
Serangan pertama pasukan Ottoman Turki ditujukan untuk merebut menara pengawas St.Nikolas yang strategis. Pada tanggal 4 Juni mereka menghujani menara tersebut dengan ribuan peluru kanon dan tiga meriam raksasa yang diikuti serangan pasukan infantri. Tapi serangan pasukan infantri Turki banyak terhambat dan digagalkan oleh berbagai jebakan mematikan yang sudah disiapkan dengan baik. Selanjutnya pasukan Ksatria Hospitaller yang dipimpin langsung oleh Grand Master Pierre d'Aubusson berhasil menetralisir serangan tersebut. Mereka mengusir pasukan Ottoman, dan menenggelamkan sebagian kapal-kapal mereka. Sekitar 2500 pasukan Otoman Turki tewas dalam misi penyerbuan yang gagal ini. Diantara yang tewas adalah Ibrahim Bey, menantu Sultan Mehmet II dan juga Merlah Bey, komandan armada kapal perang Turki.
Serangan berikutnya ditujukan pada sisi tembok benteng pertahanan markas Ksatria Hospitaller di bagian tenggara yang diawasi oleh grup Italia di Teluk Arkandia. Sisi tembok benteng pertahanan ini dianggap sebagai salah satu titik terlemah markas Ksatria Hospitaller. Namun kembali serangan itu gagal karena para prajurit dan pasukan milisia rakyat lokal bahu-membahu memperkuat benteng pertahanan dan berhasil menahan serangan dengan efektif.
Selain kanon-kanon yang ditembakkan dengan ketepatan tinggi, salah satu senjata andalan Ksatria Hospitaller dalam mempertahankan benteng mereka adalah "api yunani", yaitu senjata peninggalan Kekaisaran Byzantium yang sanggup menyemburkan api dan membakar sasarannya. Juga sejenis bom api yang fungsinya hampir mirip bom molotov yang dilontarkan dengan tangan, tapi dengan efek pembakaran yang lebih kuat karena menggunakan bahan yang sama dengan "api yunani". Senjata-senjata tersebut dengan efektif membinasakan dan mengusir para prajurit Ottoman Turki yang berusaha menembus tembok benteng.
Selanjutnya serangan balik yang menentukan dari Ksatria Hospitaller berhasil mengusir pasukan Ottoman yang sedang berusaha keras menyerang benteng. Ribuan pasukan Ottoman Turki kembali tewas atau terluka akibat serangan balik ini.
Kegagalan demi kegagalan memang memukul semangat tempur pasukan Ottoman, namun belum menghilangkannya. Pada dini hari tanggal 27 Juli, panglima pasukan Ottoman Turki Mesih Pasha yang sadar perlawanan para Ksatria Hospitaller sangat tangguh, memerintahkan pasukannya melancarkan serangan besar-besaran. Dia mengerahkan sebagian besar pasukan mereka, termasuk 2500 orang pasukan elit janissary yang tersisa. Serangan mereka masih tetap ditujukan pada sisi benteng pertahanan grup Italia yang dianggap titik lemah untuk ditembus.
Serangan berat ribuan peluru kanon yang menghujani tembok benteng berhasil membuat kerusakan yang cukup hebat. Bahkan pasukan Ottoman dengan susah payah berhasil merebut sebuah menara dan menancapkan bendera mereka. Namun para Ksatria Hospitaller dengan keberanian dan mental tempur yang luar biasa berhasil mengkonsolidasikan diri. Mereka kembali memasang barikade, dan melakukan perlawanan keras dengan semangat tempur mereka yang sudah menjadi legenda dan momok menakutkan bagi pasukan Ottoman.
Grand Master Pierre d'Aubusson sendiri sempat terluka, namun dia terus memimpin jalannya pertempuran dan menyerang lawan dengan tombak di tangannya. Para Ksatria Hospitaller yang sangat mengenal medan pertempuran membuat mereka dapat bertempur dengan efektif. Akibatnya, meski pasukan Ottoman menyerbu dengan jumlah personil yang berlipat banyaknya, mereka belum mampu menembus benteng pertahanan yang mereka anggap sebagai titik terlemah.
Setelah berjuang keras, menara yang sempat dikuasai pasukan Ottoman berhasil direbut kembali oleh para Ksatria Hospitaller dan pasukan salib. Bendera pasukan Ottoman diturunkan dan sebagai gantinya d'Aubusson menaikkan tiga panji besar yang masing-masing berlambang Bunda Maria, Salib Ksatria Hospitaller, dan Santo Yohanes Pembaptis pelindung ordo.
Secara ajaib, naiknya ketiga panji peperangan tersebut memancarkan kekuatan rohani yang memberikan pukulan hebat secara moral dan memunculkan kepanikan pada pasukan Ottoman. Kekuatan dan keberanian mereka tiba-tiba menjadi hilang, mereka mulai ragu untuk meneruskan serangan, bahkan sebagian dari mereka memilih mundur dan berseteru dengan sesama pasukan Ottoman. Sekitar 300 orang pasukan elit janissary yang sempat masuk ke dalam benteng kota dan membantai para penduduk sipil langsung terkepung dan dihabisi.
Mengetahui pasukan Ottoman mulai jatuh moralnya, para Ksatria Hospitaller kembali melancarkan serangan balik yang mematikan. Puluhan ribu pasukan Ottoman dan pasukan elit Janissary dibuat tak berdaya dan menjadi sasaran tembak para Ksatria dan prajurit-prajurit salib. Akibatnya pasukan Ottoman Turki terpaksa mundur sambil menyeret Mesih Pasha, komandan perang mereka yang terluka parah.
Tapi kali ini para Ksatria dan pasukan salib tidak membiarkan mereka mundur dengan aman. Para Ksatria Hospitaller yang kalah jumlah namun menang dalam moral dan keahlian tempur, bersama-sama pasukan Rhodos terus memburu mereka hingga ke tenda-tenda perkemahan dan berhasil merebut bendera perang pasukan Ottoman Turki. Karena kelelahan, para Ksatria Hospitaller dan pasukan Rhodos tidak meneruskan serangan mereka dan membiarkan pasukan Ottoman yang terpukul hebat untuk menyelamatkan diri. Hanya pada hari itu saja lebih dari 4000 pasukan Ottoman termasuk ratusan pasukan elit janissary tewas dalam pertempuran.
Akhirnya 10 hari kemudian, yaitu pada tanggal 7 Agustus 1480, pasukan Ottoman Turki yang telah runtuh moralnya serta kehilangan belasan ribu pasukan tewas dan puluhan ribu lain luka-luka terpaksa meninggalkan pelabuan Trianda di Pulau Rhodos dengan wajah tertunduk tanpa hasil. Sialnya, saat meninggalkan pelabuhan armada Ottoman Turki bertemu dengan armada bantuan bersenjata lengkap dari Kerajaan Napoli yang kembali menghajar mereka. Karena kalah dalam senjata dan moral pasukan yang sudah hancur, armada Ottomanpun memilih untuk melarikan diri dari pertempuran.
Sultan Mehmet II terpukul hebat dan marah besar dengan kegagalan yang memalukan ini. Mesih Pasha yang dianggap gagal dalam tugas dibuang ke Mesir. Dalam kegeramannya Sultan Mehmet II bersumpah untuk memimpin sendiri serangan berikutnya, "Aku akan menaklukkan Pulau Rhodos dan menundukkan Itali!" Tapi pada tahun 1481 Sultan Mehmet II meninggal dunia tanpa berhasil melaksanakan sumpahnya...