Menjelang kematiannya di tahun 632, Muhamad nabi islam berpesan kepada para pengikutnya untuk melanjutkan perjuangannya, yaitu menaklukkan seluruh dunia di bawah Islam. Pesan ini langsung diikuti oleh para sahabat yang menggantikannya dengan menaklukkan wilayah Mesir, Palestina, Iran, Syria, dan Afrika Utara.
Di awal abad ke 8, Eropa mulai merasakan akibat dari invasi jihad ini ketika pasukan muslim dari Kekalifahan Umayyah pada tahun 711 mulai mendarat di Semenanjung Iberia dan menaklukkan serta menjajah kerajaan-kerajaan Visigot di wilayah yang sekarang menjadi negara Spanyol dan Portugal. Muslim menyebut wilayah penjajahan mereka ini sebagai Al Andalus.
Fakta sejarah ini sekaligus menjadi bukti yang tidak terbantahkan bahwa awal dari perang salib tidak lain adalah invasi jihad muslim. Dengan kata lain, perang salib yang resminya baru dimulai tahun 1097 adalah tanggapan yang terlambat dari kerajaan-kerajaan Kristen Eropa atas upaya jihad dan dominasi Islam.
Pada tahun 719, pasukan muslim mulai mengincar wilayah Perancis. Di bawah pimpinan gubernur Al Andalus As-Samh bin Malik, mereka menyeberangi pegunungan Pyrenees dan menaklukkan Narborne untuk mendirikan kekuasaan kaum Berber Maghribi atau bangsa Moors di wilayah Gotik Gaul. Pada tahun 721 upaya mereka menaklukkan Aquitane mengalami kegagalan ketika Duke Odo atau Adipati Odo, penguasa Aquitane, melakukan serangan kejutan yang menghancurkan pasukan muslim dan menewaskan pemimpinnya, As-Samh bin Malik.
Pada tahun 732, pasukan muslim yang dipimpin gubernur Al Andalus, Abdul Rahman Al-Ghafiqi, kembali berupaya menyerang wilayah Aquintane, Perancis. Belajar dari kekalahan sebelas tahun sebelumnya, pasukan muslim mempersiapkan dengan baik penyerangan mereka. Kali ini mereka berhasil menaklukkan Odo di pertempuran Sungai Garonne dan memaksanya menyingkir ke Utara untuk meminta bantuan pada Charles, pemimpin Frank. Selama misi penyerangan itu pasukan muslim merampok dan menjarah kota-kota yang dilewatinya, menghancurkan gereja-gereja, serta menangkap banyak penduduknya untuk dijadikan budak. Mereka juga menghancurkan biara kuno St. Hillarius.
Sebenarnya pada masa itu Odo sedang berseteru dengan Charles, namun karena tidak punya pilihan lain maka iapun meminta bantuan pada seterunya itu. Odo yang sudah pernah menghadapi pasukan muslim beberapa tahun sebelumnya berusaha meyakinkan Charles bahwa pasukan muslim tidak hanya berhenti untuk menguasai Aquintane saja, tapi akan terus menginvasi wilayah-wilayah lainnya termasuk wilayah Frank yang dikuasai Charles. Setidaknya pasukan muslim diketahui sedang mengincar kota Tours yang kaya sebagai sasaran berikutnya.
Setelah mempelajari situasi yang dihadapinya, Charles setuju untuk membantu Odo dengan syarat Odo mau mengakui kekuasaan Charles. Odo setuju dengan syarat tersebut dan Charles langsung memobilisasai pasukannya untuk menghadang pasukan muslim yang sedang bergerak untuk menguasai kota Tours.
Dari apa yang diceritakan oleh Odo, Charles menyadari bahwa ia ada dalam posisi seperti Daud melawan Goliath. Pasukan Al-Ghafiqi yang datang berjumlah sangat besar, lebih dari 50 ribu orang dan sebagian besar berupa pasukan kavaleri berkuda yang bersenjata lengkap. Sementara itu Charles hanya memiliki pasukan infantri dan tidak memiliki pasukan berkuda sama sekali. Kuda dalam pasukannya hanya digunakan oleh para perwira dan pemimpin pasukan seperti Charles untuk mengorganisir pertempuran, bukan untuk menyerang lawan.
Dalam medan perang yang terbuka di masa itu, pasukan infantri tidak punya kesempatan untuk menang melawan pasukan kavaleri yang bersenjata lengkap. Itu terbukti saat pasukan Odo harus kalah menghadapi serbuan pasukan kavaleri Al-Ghafiqi dalam sekali serangan.
Tapi Charles yang hidupnya ditempa dalam banyak pertempuran adalah jenderal perang yang sangat cerdas. Ia punya strategi yang jitu untuk menghadapi pasukan muslim yang jauh lebih kuat. Ketimbang menghadapi pasukan kavaleri muslim di tanah terbuka, ia memilih menggerakkan pasukannya untuk menghadang pergerakan pasukan muslim di selatan kota Tours melalui bukit dan hutan. Setelah dekat dengan posisi pasukan lawan, ia lalu memerintahkan pasukannya untuk mengambil formasi bertahan di dataran tinggi yang penuh dengan pepohonan dan memancing Al-Ghafiqi untuk menghadapinya disana.
Melihat manuver yang dilakukan Charles, Al-Ghafiqi langsung tersadar bahwa ia sedang menghadapi musuh yang cerdas dan mengerti cara bertempur. Karena tidak ingin bertempur di medan yang menguntungkan lawannya, Al-Ghafiqi memilih untuk menanti serangan pasukan Charles di tanah terbuka. Tapi sebaliknya Charles juga tidak terpancing dan ia memerintahkan pasukannya tetap sabar menunggu lawan bergerak lebih dahulu untuk menyerang mereka.
Akhirnya kedua pasukan tetap diam saling menunggu di posisi masing-masing selama berhari-hari. Kesempatan itu digunakan dengan baik oleh Charles untuk memperkuat pertahanan dan mempersiapkan medan pertempuran yang sulit dan sempit sehingga keuntungan jumlah kekuatan pasukan yang dimiliki Al-Ghafiqi kelak tidak akan banyak berarti.
Kekuatan pasukan Frank di bawah pimpinan Charles yang siap menghadapi pertempuran saat itu ada sekitar 30 ribu pasukan infantri. Sementara yang harus dihadapi adalah 50-60 ribu pasukan muslim yang sebagian besar adalah pasukan kavaleri berkuda dengan senjata lengkap seperti tombak panjang untuk pertempuran jarak jauh dan pedang untuk pertempuran jarak dekat.
Pada hari ketujuh kesabaran Al-Ghafiqi habis. Ia tidak dapat menunggu lebih lama lagi karena khawatir akan datangnya musim dingin yang pasti akan menyulitkan pasukannya. Pada tanggal 10 Oktober 732, ia memutuskan untuk menyerang posisi pasukan Frank.
Ini keputusan yang keliru!
Seandainya Al-Ghafiqi secerdas Charles, ia tentu akan memancing pertempuran di medan terbuka dengan memilih melanjutan perjalanan menuju Tours melalui jalan besar. Manuver seperti ini akan memaksa Charles untuk menyerang mereka di tempat terbuka yang akan menguntungkan pasukan kavaleri! Tapi kini justru Al-Ghafiqi yang terpancing untuk menggali kuburnya sendiri dengan bertempur di medan yang sudah dipersiapkan dengan baik oleh lawannya!
Melihat pasukan muslim memulai serangannya, Charles segera memerintahkan pasukannya untuk membentuk formasi phalanx warisan legiun romawi yang kokoh bagaikan batu karang untuk menahan serangan pasukan kavaleri muslim.
Di medan berbukit yang menanjak dan penuh pepohonan tentu saja pasukan kavaleri kehilangan banyak keuntungan. Mereka tidak bisa bergerak cepat dan berkelompok, sehingga serangan-serangannya menjadi tidak efektif. Akibatnya pasukan kavaleri muslim yang bergerak lambat justru menjadi bulan-bulanan serangan panah dan tebasan pedang pasukan Frank yang bertahan di posisi mereka dengan disiplin tinggi.
Sebuah sumber sejarah di masa itu menulis demikian, "Orang-orang utara tetap tak bergerak seperti tembok, bertahan dalam kesatuan yang kokoh seperti gletser di daerah dingin, dan dalam sekejap mata memusnahkan orang-orang Arab dengan pedang."
Beberapa serangan pasukan berkuda muslim memang sempat menembus pertahanan ketat pasukan Frank. Tapi tidak lama kemudian mereka terkepung di wilayah yang asing dan langsung dihabisi oleh pasukan infantri Frank.
Karena yakin dengan kekuatan jumlah pasukannya yang lebih besar, Al-Ghafiqi memerintahkan pasukannya untuk terus menggempur posisi pasukan Frank secara bergelombang meski sudah banyak korban yang jatuh di pihaknya. Tapi Charles punya rencana yang brilian. Ia memerintahkan Odo dan pasukannya untuk mengambil jalan memutar dan menyerang perkemahan pasukan muslim dari arah belakang.
Karena nyaris seluruh pasukan difokuskan untuk menggempur pasukan Charles, perkemahan pasukan muslim tidak terjaga dengan baik. Odo dan pasukannya langsung menyerang para penjaga, membebaskan budak-budak yang ada, dan membakar sebagian tenda-tenda perkemahan serta perbekalan muslim.
Melihat tenda terbakar dan para budak lepas dengan membawa barang-barang jarahan, pasukan muslim menjadi panik dan sebagian berusaha kembali menyelamatkan harta jarahan mereka. Gerakan mundur yang spontan dari sebagian pasukan membuat pasukan muslim lain yang tak terkoordinasi dengan baik mengira ada perintah untuk mundur dan merekapun mulai ikut-ikutan mundur.
Melihat pasukannya menjadi kacau, Al-Ghafiqi segera turun ke medan pertempuran untuk menenangkan pasukan dan mengendalikannya. Namun tindakan itu berakibat fatal! Tidak lama setelah itu Al-Ghafiqi langsung terkepung oleh pasukan Frank dan tewas terbunuh. Bagi pasukan muslim, tewasnya AL-Ghagfiqi memberikan pukulan besar dan membuat moral mereka jatuh. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh pasukan Frank yang langsung membantai pasukan muslim yang mulai bergerak mundur dengan kacau.
Karena tidak ingin pasukannya terjebak untuk bertempur di ruang terbuka, Charles memerintahkan pasukannya untuk kembali pada posisi bertahan setelah pasukan muslim mundur seluruhnya dari medan pertempuran. Charles kembali menata pasukannya untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan pasukan muslim di hari berikutnya.
Namun keesokan harinya pasukan muslim tidak muncul lagi. Ternyata sejak malam hari mereka telah kembali pulang ke Al Andalus dengan membawa sisa-sisa jarahan yang masih bisa diselamatkan. Tewasnya Al-Ghafiqi pemimpin mereka dan ribuan pasukan di hari pertama pertempuran membuat pasukan muslim tidak punya semangat lagi untuk melanjutkan peperangan dan memilih kembali pulang ke Al Andalus. Korban tewas di pasukan muslim dalam pertempuran tersebut mencapai 10 ribu orang, sementara di pihak pasukan Frank tercatat 1500 orang tewas.
Hari itu Eropa terselamatkan dari bencana sejarah!
Sejak saat itu pasukan muslim tidak pernah lagi menyerang Eropa dari arah barat dengan kekuatan yang besar. Setelah pertempuran di Tours ini Charles masih menghadapi beberapa pertempuran dengan muslim yang juga dimenangkannya di tahun 736 dan 737, namun dalam skala yang lebih kecil.
Kemenangan Charles di pertempuran Tours membuatnya memperoleh gelar "Martel" (palu gada) karena kemampuannya memukul pasukan muslim yang kekuatannya jauh lebih besar dan bersenjata jauh lebih lengkap. Sejak saat itu orang memanggilnya sebagai Charles Martel.
Kemenangan tersebut menjadi sangat penting bagi sejarah Eropa, bukan saja karena telah menghindarkan Eropa dari invasi jihad Islam di masa itu, namun juga karena dengan kemenangan tersebut Charles Martel memiliki pengaruh yang sangat besar di Eropa.
Kelak seorang cucunya, Charlemaigne atau Karel Agung, menjadi raja pertama dari Kekaisaran Romawi Suci pelindung Gereja dengan gelar Raja Charles I. Ia mempersatukan Eropa dalam satu kekuatan besar yang menghentikan banyak peperangan diantara kerajaan-kerajaan Eropa sehingga membuat Eropa mulai dapat membangun dirinya dalam bidang pendidikan, kebudayaan, seni, dan iman.