Video ini adalah bagian kedua dari tanggapan saya atas video Rm. Aba dari channel 'romo ndeso'. Secara khusus saya ingin menyoroti masalah yang sensitif, yaitu Konsili Vatikan II yang kebetulan juga diangkat dalam video Rm. Aba.
[video..]
Di dalam dokumen Konsili Vatikan II terdapat teks-teks yang sungguh Katolik dan diambil dari ajaran Bapa-bapa Gereja. Maka menyatakan seluruh teks dalam dokumen Konsili Vatikan II sebagai sesat tentu tidak tepat.
Namun bersamaan dengan ajaran-ajaran yang baik itu terselip didalamnya gagasan-gagasan bidaah modernisme yang dirancang sedemikian rupa sehingga dokumen Konsili Vatikan II bersifat ambigu. Artinya, dokumen Konsili Vatikan II dapat ditafsirkan secara konservatif sesuai ajaran iman Katolik tradisional, tapi di saat yang sama gagasan-gagasan modernis yang terselip di dalamnya juga bisa dipakai sebagai dasar bagi upaya pembaharuan dan sikap progresif yang merusak Gereja.
Nah, disinilah letak bahayanya...
Ajaran-ajaran yang baik tadi pada dasarnya hanya kulit untuk menghibur dan menenangkan kaum konservatif, sementara intinya justru ada pada gagasan modernis yang tersembunyi rapih di balik ajaran-ajaran yang baik tadi.
Apa yang kita kenal dengan istilah 'semangat Konsili Vaikan II' bukan berasal dari ajaran-ajaran baik yang sungguh-sungguh Katolik, tapi dari gagasan bidaah modernisme yang secara sengaja diselipkan ke dalam dokumen konsili.
Mengapa demikian?
Karena dalam seluruh sejarah Gereja Katolik sebelum KVII tidak pernah ada suatu konsili yang memunculkan semangat baru. Tidak pernah ada 'semangat Nicea', 'semangat Trente', atau 'semangat Konsili Vatikan I'. Alasannya jelas, Gereja Katolik sebelum dan sesudah konsili-konsili tersebut tetaplah Gereja Katolik yang sama dengan semangat yang sama, yaitu 'semangat Gereja Kristus'.
Tapi setelah Konsili Vatikan II kita diperkenalkan dengan semangat Gereja yang baru, yaitu 'semangat Konsili Vatikan II' yang secara sistematis ditujukan untuk mengganti semangat Gereja yang lama, yang tidak lain adalah 'semangat Gereja Kristus'. Jika Konsili Vatikan II tetap setia dengan ajaran Gereja Katolik yang lama dan tidak membawa semangat baru yang berbeda, tentu istilah 'semangat Konsili Vatikan II' tidak perlu ada. Sama seperti yang terjadi pada konsili-konsili lain dalam sejarah Gereja.
Dari fakta ini saja kita sudah bisa menarik kesimpulan bahwa Konsili Vatikan II memiliki karakter yang berbeda dari seluruh konsili yang pernah diadakan oleh Gereja Katolik di sepanjang sejarahnya. Cukup beralasan kalau kita katakan Konsili Vatikan II memang dirancang untuk mengubah Gereja Kristus!
Kita bisa berdebat dan berdiskusi panjang lebar soal ini, tapi yang jelas dari buah-buahnya kita tahu apa akibatnya ketika Gereja Katolik mengikuti 'semangat Konsili Vatikan II' yang baru dan meninggalkan 'semangat Gereja Kristus' yang lama.
Belum pernah dalam sejarah Gereja Katolik selama nyaris dua milenium seorang Paus mencium kitab suci agama lain yang di dalamnya terdapat penyangkalan ketuhanan Yesus Kristus secara eksplisit. Tapi itulah yang terjadi dengan Paus Yohanes Paulus II akibat semangat konsili.
Begitu juga belum pernah dalam sejarahnya Gereja Katolik mengadakan kegiatan doa bersama semua agama. Tapi itulah yang terjadi di masa kepausan Yohanes Paulus II di Asisi tahun 1986 yang kemudian sempat dilanjutkan juga oleh Paus Benediktus XVI. Semuanya dilakukan atas nama 'Semangat Konsili Vatikan II'.
Juga akibat dokumen 'Human Fraternity' yang dengan jelas dikatakan oleh Paus Fransiskus sudah sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II, Gereja Katolik kini menempatkan semua agama setara di mata Tuhan. Sebagaimana kita tahu, dokumen 'Human Fraternity' yang ditandatangani di Abu Dhabi tahun lalu mengatakan bahwa perbedaan agama dikehendaki oleh Tuhan. Ini sama saja dengan mengubur dalam-dalam semangat penginjilan, karena Gereja Katolik kini menganggap agama lain sudah menyembah Tuhan dengan benar menurut caranya masing-masing dan tidak memubutuhkan Kristus lagi.
Dan yang pasti tidak bisa kita lupakan, pencemaran pusat Gereja Katolik oleh berhala Pachamama di Vatikan yang juga terjadi tahun lalu. Tidak hanya di Taman Vatikan, tapi juga di Basilika Santo Petrus! Itu semua terjadi di depan Paus Fransiskus dan banyak uskup serta kardinal.
Jika kita mau jujur, kita pasti mengakui berbagai skandal tersebut adalah buah-buah yang tidak terhindarkan dari 'semangat Konsili Vatikan II'.
Jika ditanya apa yang salah dengan dokumen-dokumen Konsili Vatikan II? Uskup Athanasius Schneider sudah menyebut kekeliruan itu ada dalam dokumen Dignitatis Humanae, sementara Uskup Agung Vigano juga menyebut masalahnya ada di dokumen Lumen Gentium dan juga Nostra Aetate.
Saya sendiri dalam kapasitas sebagai eks-muslim yang pernah mengenal iman Islam dan sudah membuat banyak video yang berbicara tentang Islam, melihat ada satu kalimat yang bermasalah dalam Lumen Gentium.
Ini kutipannya, "Namun rencana keselamatan juga merangkum mereka, yang mengakui Sang Pencipta; diantara mereka terdapat terutama kaum muslimin, yang menyatakan bahwa mereka berpegang pada iman Abraham, dan bersama kita bersujud menyembah Allah yang tunggal dan maharahim, yang akan menghakimi manusia pada hari kiamat."
Benarkan kita dan muslim menyembah Tuhan yang sama seperti dinyatakan dalam dokumen tersebut? Berdasarkan apa yang saya ketahui tentang Islam, saya katakan dengan tegas "TIDAK!". Mustahil Allah Tritunggal yang kita sembah dan kita muliakan sama dengan Allah SWT yang disembah muslim dan menyangkal ketuhanan Yesus. Jadi menurut saya ini suatu kesalahan fatal.
Cukup dari kesalahan fatal ini saja kita punya alasan untuk mengatakan dokumen-dokumen Konsili Vatikan II tidak dibuat dalam bimbingan Roh Kudus, karena mustahil Roh Kudus melakukan kesalahan fatal semacam itu. Menurut Fr. Gregory Hesse, seorang teolog kepausan, satu-satunya karya Roh Kudus dalam Konsili Vatikan II adalah membuatnya tidak infallible.
Mungkin para pendukung konsili berdalih sebagian besar isi dokumen baik dan hanya sedikit saja yang bermasalah. Untuk mereka yang berpendapat demikian sebaiknya merenungkan apa yang dikatakan Paus Leo XIII dalam ensiklik Satis Cognitum, "Tidak ada yang lebih berbahaya daripada para bidaah yang mengakui hampir seluruh doktrin, namun dengan satu kata, seperti setetes racun, menginfeksi iman yang nyata dan sederhana yang diajarkan oleh Tuhan kita dan diwariskan oleh Tradisi Kerasulan."
Sedikit ajaran bidaah modernis yang terselip dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan II sudah cukup untuk meracuni keseluruhan dokumen dan menghasilkan buah-buah buruk yang terbukti merusak Gereja Katolik
Para pendukung konsili juga tidak bisa berdalih bahwa yang salah adalah orang-orang yang menerapkan semangat konsili, bukan Konsili Vatikan II itu sendiri. Harus diingat skandal-skandal yang saya sebut tadi dilakukan oleh para Paus.
Jadi memang Konsili Vatikan II itulah yang bermasalah.
Berdasarkan alasan tersebut saya sepakat dengan Uskup Agung Vigano bahwa dokumen-dokumen Konsili Vatikan II adalah sumber dari semua kerusakan yang terjadi dalam Gereja Katolik selama setengah abad terakhir. Itulah celah yang melaluinya asap setan masuk ke dalam Gereja seperti yang dikatakan oleh Paus Paulus VI. Karenanya, demi keselamatan banyak jiwa dan pulihnya kembali Gereja Kristus sebaiknya kita melupakan dokumen itu selamanya. Kita tutup celah yang menjadi jalan masuk asap setan itu untuk selamanya.
Demikianlah kurang lebih pandangan saya mengenai Konsili Vatikan II dan alasan mengapa saya menolaknya. Masih banyak lagi yang perlu saya sampaikan soal Konsili Vatikan II tapi tidak mungkin diutarakan seluruhnya di video ini. Saya akan menyampaikannya pada video-video lain.
Untuk Romo Aba, saya berterima kasih banyak atas kritikan romo terhadap video-video saya. Meski saya tidak selalu setuju, bagaimanapun saya sangat menghargai kritikan romo dan menganggapnya sebagai pagar yang membuat saya harus berhati-hati dalam melangkah dan bertutur.
Saya percaya kita sama-sama mencintai Gereja Katolik dan berusaha mengungkapkannya dalam karya kita masing-masing. Kiranya Roh Kuduslah yang membimbing kita dalam seluruh karya-karya kita demi kemuliaan Tuhan kita Yesus Kristus.
Vva Christo Rey.
0 Komentar