Pax vobis, damai sertamu...
Di video bagian pertama, saya sudah menjelaskan bagaimana Gereja menanggapi bencana yang menimpa umat manusia. Gereja menanggapinya dengan merendahkan diri di hadapan TUHAN dan bertobat. Alkitab juga mengajarkan kita bahwa penderitaan dan bencana masuk ke dalam dunia akibat dosa manusia. Maka pertobatan adalah solusi pertama dan paling mendasar di samping solusi-solusi lain yang perlu dilakukan dalam menghadapi bencana yang mengancam kehidupan manusia.
Hanya TUHAN yang tahu dengan tepat mengapa Dia mengijinkan bencana wabah virus korona ini terjadi. Tapi berdasarkan iman kita percaya bahwa menanggapinya dengan pertobatan kapada TUHAN selalu menjadi pilihan yang bijak.
Dan seperti yang sudah saya jelaskan di video pertama, ada cukup banyak alasan mengapa pertobatan memang sudah selayaknya dilakukan dalam menghadapi bencana ini!
Amat sangat disayangkan, Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik justru mengambil sikap yang berbeda. Ia tidak mau mengajak dunia, khususnya umat Katolik, untuk melakukan pertobatan dalam menghadapi bencana ini. Padahal dalam kapasitasnya sebagai pemimpin Gereja Katolik, ajakannya pasti akan didengar tidak hanya oleh umat Katolik tapi juga oleh umat beriman lainnya.
Ketimbang memilih untuk mengajak umat bertobat dan memohon belaskasihan TUHAN seperti yang pernah dilakukan Paus Gregorius Agung di akhir abad ke 6, Paus Fransiskus malah menganggap bencana ini sebagai momen pertobatan ekologis dimana manusia perlu merenungkan dan mengubah sikapnya terhadap alam. Intinya, dalam pandangan Paus Fransiskus bencana ini adalah akibat dari kesalahan manusia terhadap alam, bukan hukuman TUHAN akibat dosa-dosa manusia. Ini ditekankannya secara konsisten dalam beberapa kali kesempatan sehingga bisa disimpulkan bahwa sikap itu adalah kebijakan yang sengaja dipilih oleh Paus dalam masalah ini.
Ini bener-benar nonsense!
Dosa-dosa manusia yang begitu besar dan mengancam keselamatan jiwa tidak dianggap penting, sebaliknya kerusakan alam yang hanya mengancam kehidupan fisik justru dianggap penting!
Sekalipun manusia mengubah sikap dan perlakuannya terhadap alam, dosa-dosa manusia yang merusak hubungannya dengan TUHAN akan tetap ada dan akan menjadi sumber penderitaan serta mengancam keselamatan jiwa-jiwa manusia! Sebaliknya, dengan bertobat pada TUHAN maka jiwa manusia akan diselamatkan dan rahmat TUHAN akan memulihkan segala kerusakan yang terjadi serta membuat kehidupan manusia akan penuh dengan berkat.
Seperti yang dikatakan oleh Uskup Athanasius Schneider, keadaan alam pasti akan dipulihkan oleh campur tangan Tuhan jika manusia bertobat dan berbalik pada TUHAN. Tapi Paus Fransiskus justru memilih untuk menolak pertobatan kepada TUHAN dan lebih peduli kepada alam.
Di masa lalu, saat bencana mendatangi Tanah Mesir, Firaun juga dengan tegar tidak mau percaya bahwa bencana tersebut adalah hukuman TUHAN bagi negerinya yang telah berabad-abad memperbudak bangsa Israel. Firaun memilih sikap itu karena dia tidak ingin bangsa Israel pergi dengan bebas dari negerinya dan membuat bangsa Mesir kehilangan budak-budak yang selama ini bekerja keras bagi mereka!
Akibatnya jelas, ketegaran Firaun membuat bencana hukuman TUHAN datang berkali-kali hingga akhirnya Firaun sendiri harus binasa di tengah laut.
Itu juga dapat terjadi pada kita sekarang jika bencana wabah virus korona yang terjadi tidak juga ditanggapi manusia dengan pertobatan. Setelah bencana ini selesai, kemungkinan besar akan segera disusul bencana lain yang kembali mengingatkan manusia untuk bertobat! Sama seperti apa yang pernah terjadi di Tanah Mesir....
Pertanyaannya, mengapa Paus Fransiskus seolah sengaja menghindari pertobatan?
Hanya Tuhan yang tahu apa yang ada dalam pikiran Paus Fransiskus. Tapi karena keputusan tersebut dapat membahayakan jiwa kita dan banyak orang, maka secara obyektif kita perlu memikirkan apa saja yang mungkin menjadi penyebab dari keputusan Paus Fransiskus tersebut agar kita dapat mengambil sikap.
Jika kita melihat keterkaitan erat Paus Fransiskus dan sebagian hirarki Gereja Katolik paska konsili dengan agenda kaum globalis, maka cukup beralasan untuk mengasumsikan ini: pertobatan manusia akan merusak seluruh rencana kaum globalis untuk membangun tatanan dunia baru!
Jika manusia bertobat dan kembali kepada Tuhan maka mereka akan menolak aborsi, penggunaan kontrasepsi, homoseksualita, euthanasia, dan lain-lain. Itu jelas akan merusak semua program pengendalian populasi yang dibutuhkan kaum globalis untuk membangun peradaban baru.
Demikian juga jika umat Katolik bertobat maka suka atau tidak suka pilihan terbaik adalah membuang semangat Konsili Vatikan II yang telah menghasilkan begitu banyak buah-buah buruk dan kembali pada ajaran Gereja Katolik pra-konsili. Itupun akan menghancurkan rancangan kaum globalis yang berniat membangun agama global melalui semangat ekumenisme dan toleransi.
Dengan alasan itu maka pertobatan kepada TUHAN harus dihindari dengan segala cara agar agenda kaum globalis tidak terganggu. Sebagai gantinya Paus Fransiskus mengalihkan perhatian umat Katolik pada isu-isu lingkungan seperti pemanasan global dan lain-lain, dengan menganjurkan pertobatan ekologis!
Dalam iman kita percaya bahwa TUHAN menghendaki pertobatan manusia dari dosa-dosa, bukan pertobatan ekologis! Sebaliknya, pertobatan ekologis yang mengubah sikap manusia terhadap alam adalah bagian dari agenda kaum globalis untuk membangun peradaban dunia yang berkesinambungan.
Maka sungguh menyedihkan ketika Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik justru lebih mendengarkan kehendak manusia ketimbang mengikuti kehendak Tuhan! Padahal ada beberapa uskup dan kardinal yang sudah mendesak dengan keras akan perlunya pertobatan!
Tapi realitas ini menunjukkan satu hal penting, yaitu terpecahnya hirarki Gereja Katolik menjadi dua kubu. Yang satu adalah hirarki yang setia pada ajaran tradisional Gereja dan yang lain adalah hirarki progresif yang ingin mengubah ajaran Gereja agar sejalan dengan perkembangan jaman. Keduanya melayani kehendak yang berbeda. Mereka yang setia pada ajaran tradisional Gereja berusaha melayani kehendak TUHAN, saat ini jumlah mereka minoritas. Sementara mereka yang progresif berusaha berkompromi dengan keinginan dunia dan perkembangan jaman. Konsekuensinya, suka atau tidak suka mereka menjadi pendukung agenda kaum globalis. Berkat Konsili Vatikan II merekalah yang menjadi kelompok mainstream dalam Gereja Katolik saat ini.
Tidak mungkin ada perdamaian diantara keduanya karena masing-masing berusaha mendominasi dunia. Kelompok yang pertama ingin mendominasi dunia sejak 2000 tahun yang lalu sesuai dengan amanat agung TUHAN, "..jadikanlah semua bangsa sebagai murid-Ku...." (Mat.28:19). Mereka ingin manjadikan Sabda Tuhan sebagai dasar dari seluruh kehidupan manusia di dunia dan menempatkan Yesus Kristus sebagai Raja dari segala raja di bumi.
Sementara itu kelompok yang kedua ingin menjadikan manusia sebagai penguasa di bumi dan membangun peradaban manusia global yang berdasarkan hukum-hukum manusiawi. Mereka ingin membangun sebuah tatanan dunia baru tanpa Tuhan! Oleh karenanya mereka harus menolak Sabda Tuhan sebagai dasar kehidupan manusia dan menolak Yesus Kristus sebagai Raja di bumi!
Singkatnya, kelompok yang pertama ingin mewujudkan Kerajaan Allah di bumi sedangkan kelompok yang lain ingin membangun antitesisnya, yaitu menara babel alias tatanan dunia baru!
Dalam konteks ini tidak ada kelompok ketiga atau abu-abu. Kalau tidak masuk kelompok pertama, pasti menjadi bagian dari kelompok kedua. Ini seperti kata TUHAN sendiri, "Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku..." (Mat.12:30). Dengan demikian jika kita tidak memilih untuk setia pada ajaran Gereja, secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar, kita akan menjadi bagian dari kelompok pendukung agenda globalis yang menentang kehendak Tuhan!
Maka pilihan sikap kita dalam menghadapi situasi bencana wabah virus korona sekarang ini akan menentukan kelompok manakah yang kita ikuti. Apakah kita bersama TUHAN atau melawan TUHAN...
Jika kita memilih untuk mengutamakankan cara-cara rasional, ilmiah dan cara-cara duniawi lainnya, maka kita masuk pada skema yang dijalankan oleh kelompok kedua. Pada akhirnya skema ini akan menjebak kita ke dalam sistem totaliter demi melayani agenda global untuk membentuk tatanan dunia baru!
Cara-cara semi totaliter seperti 'lockdown', PSBB, adalah awalnya. Ini adalah suatu bentuk tirani medis dan sains. Semakin ketat sistem tirani ini dijalankan, semakin baik hasilnya. Akhirnya tanpa sadar kita terjebak pada pola pikir sesat bahwa sistem tirani adalah solusi yang tepat dalam menghadapi masalah di dunia yang kompleks. Akhirnya sistem tirani menjadi sesuatu yang normal dan wajar dalam masyarakat.
Jika cara-cara tirani sudah menjadi kewajaran yang baru, maka untuk selanjutnya penerapan sistem totaliter yang lebih keras siap diberlakukan dalam masalah-masalah yang lain di masa yang akan datang. Hingga suatu saat kita semua kehilangan kebebasan dan martabat sebagai manusia, seperti yang dialami setiap orang yang ada di bawah rezim totaliter! Ini adalah arah yang logis dan tidak terhindarkan jika kita hanya memilih solusi-solusi rasional dan duniawi saja.
Lalu bagaimana manusia dapat bebas dari jebakan agenda globalis yang mengarah pada sistem totaliter di masa depan?
Satu-satunya cara adalah dengan mengandalkan pertolongan TUHAN lebih dahulu sebelum mengambil tindakan-tindakan yang lain. Ini penerapan dari perintah Injil, "Carilah lebih dahulu Kerajaan Allah dan seluruh kebenarannya, maka semuanya akan ditambahkan..."
Tidak ada cara lain yang lebih baik!
Dan itu harus dimulai dengan pertobatan sebagai langkah pertama.
Hanya dengan cara itu maka TUHAN akan membuka dan menunjukkan jalan yang lebih baik bagi kita untuk mengatasi bencana wabah yang terjadi, tanpa harus memasung kebebasan dan martabat manusiawi kita. Ingatlah apa yang terjadi ketika Paus Gregorius Agung mengajak semua umat untuk bertobat dan memohon belaskasihan TUHAN. Wabah penyakit yang menyerang Italia pada waktu itu, lenyap begitu saja.
Apa yang pernah terjadi di masa lalu, juga dapat terjadi pada hari ini. Bukan tidak mungkin TUHAN akan membuat manusia mampu membangun kekebalan tubuh secara alami terhadap wabah penyakit ini, atau vaksin dan obat yang dibutuhkan berhasil ditemukan dan tersedia luas, atau wabah yang terjadi menghilang begitu saja. Tidak ada yang tidak mungkin bagi TUHAN....
Sayangnya, hirarki Gereja Katolik paska konsili yang mayoritas sudah terkompromi semangat duniawi tidak lagi memiliki iman supranatural sebagaimana yang dimiliki Gereja Katolik di masa lalu. Akibatnya mereka selalu berdalih untuk tidak lagi mengandalkan TUHAN. Dalam keadaan seperti ini kita tidak bisa berharap Paus Fransiskus mengajak seluruh dunia, khususnya umat Katolik, untuk bertobat sebagaimana rakyat kota Niniwe dahulu bertobat.
Yang masih bisa kita harapkan adalah menjadi bagian dari 5 orang benar di Kota Sodom dan Gomorah yang akan meredakan hukuman Tuhan! Tidak perlu menuntut orang lain, kita sendiri dapat berusaha menjadi sisa-sisa umat yang setia dan menyatakan pertobatan kita pada TUHAN. Semoga dengan cara ini TUHAN berkenan menunjukkan belaskasih-Nya dengan segera mengakhiri bencana ini, atau menunjukkan jalan terbaik serta memberi kita kekuatan untuk menghadapinya.
Seperti yang sudah saya sebut di video bagian pertama, kita sebagai umat telah ikut bersalah terhadap TUHAN melalui cara kita dalam menjalani ibadat Misa. Tanpa kita sadari selama ini kita telah melakukan berbagai sakrilegi, dan juga tidak lagi menghargai kekudusan ibadat Misa sebagaimana seharusnya.
Sebagai bagian dari pertobatan kita, itu semua harus diubah dan kita tinggalkan.
Maka setelah ibadat Misa kelak dapat diselenggarakan kembali secara publik, kita bisa meminta Uskup dan para imam untuk memenuhi apa yang pada tahun 2016 pernah diminta oleh Kardinal Robert Sarah, Prefek Kongregasi Ibadah Ilahi Dan Disiplin Sakramen. Yaitu untuk mengadakan Misa secara ad-orientem atau imam menghadap altar. Ini langkah pertama untuk mengembalikan TUHAN sebagai pusat satu-satunya dalam ibadat Misa dan sekaligus memulihkan esensi Misa sebagai upacara korban!
Jika ini berhasi dilakukan, kita bersyukur pada Tuhan. Tapi jika belum berhasil, tetaplah bersabar dan berdoa agar suatu saat itu bisa terjadi.
Selanjutnya kita bisa mulai dari diri sendiri dan mengajak orang-orang dekat kita untuk tidak lagi menerima komuni dengan tangan, tapi langsung di mulut dan sambil berlutut. Kemudian membiasakan kembali penggunaan mantila bagi perempuan saat mengikuti ibadat Misa. Kita juga bisa mengembalikan disiplin liturgi dengan tidak membenarkan adanya misdinar dan lektor perempuan. Dan yang penting, kita bisa mulai mentradisikan kembali kebiasaan menerima Sakramen Tobat sebelum Misa.
Jangan peduli pada apa kata orang, jangan takut untuk berbeda dengan 'mainstream'. Semua orang kudus pasti berbeda dengan 'mainstream' dan kita memang dipanggil untuk menjadi kudus.
Itulah hal-hal kecil yang bisa kita lakukan sebagai bagian dari pertobatan kita untuk memperbaiki cara kita mengikuti Misa. Itu juga langkah awal sebelum kita dapat meninggalkan Misa Novus Ordo seluruhnya dan kembali pada Misa Latin Tradisional. Dengan cara ini kita ikut ambil bagian dalam memperbaiki keadaan Gereja Katolik yang kita cintai...
Memang dosa kita pasti ada banyak, tidak cuma dalam hal mengikuti Misa. Tapi ini perlu menjadi prioritas untuk dibenahi sebelum yang lainnya. Prinsipnya, perbaiki dulu hubungan kita dengan TUHAN, yang lain akan menyusul!
Ibarat sungai yang tercemar, tidak ada gunanya kita memperbaiki kerusakan dan pencemaran yang terjadi di bagian lain jika pencemaran dan kerusakan yang terjadi di bagian hulu atau di mata air tidak dibenahi. Memperbaiki cara kita melakukan ibadat Misa seperti memperbaiki sungai di bagian hulu atau di mata air. Dengan memperbaikinya, iman umat akan bertumbuh, dan selanjutnya kehidupan rohani umat juga akan berubah menjadi lebih baik. Lex orandi lex credendi lex vivendi, cara kita berdoa mempengaruhi cara kita beriman dan mempengaruhi cara kita menjalani hidup.
Semoga Tuhan menolong kita dan segera melepaskan kita dari bencana ini...
Viva Christo Rey.
0 Komentar