Uskup Athanasius Schneider Tentang "PETISI UNTUK GEREJA DAN DUNIA"


Pax Vobis, salam damai bagi kita semua...

Video kali ini mengangkat artikel di website 'The Remnant' yang membahas tentang tanggapan Uskup Athanasius Schneider terhadap berbagai kritikan atas Petisi yang ditandatanganinya baru-baru ini.

Berikut terjemahan bebasnya....

"Sungguh menakjubkan menyaksikan bagaimana Gereja, lembaga politik dan media berusaha untuk memadamkan diskusi serta mendiskreditkan 'Petisi untuk Gereja dan Dunia' baru-baru ini dengan mencapnya sebagai teori konspirasi," demikian kata Uskup Schneider.

Menulis di harian terkemuka Jerman, 'Die Tagespost', pada tanggal 14 Mei, Uskup Auksilier Astana, Kazakhstan tersebut mengatakan reaksi dan bahasa para pengkritik Petisi mengingatkannya pada kehidupan di bawah rezim komunis Soviet, ketika “para pembangkang terhadap ideologi dan politik yang berkuasa dituduh terlibat dalam 'teori konspirasi' yang disebarkan oleh kapitalis Barat. "

Dengan demikian, menurut Uskup Schneider, keengganan para pengkritik untuk mempertimbangkan fakta dan data resmi tentang Covid-19 harus menjadi perhatian bagi siapa saja yang berpikir "secara mandiri" bahwa "kemungkinan suatu bentuk kediktatoran yang halus sedang ada di masyarakat kita."

'Petisi untuk Gereja dan Dunia', dirilis oleh Uskup Agung Carlo Maria ViganĂ² pada 7 Mei, ditandatangani oleh tiga kardinal, termasuk Kardinal Joseph Zen Ze-kiun, sembilan uskup dan beberapa teolog. Daftar awal lebih dari 80 penandatangan juga termasuk dokter, pengacara, jurnalis dan kepala asosiasi. Para penandatangan Amerika termasuk Michael Matt, Editor The Remnant, dan Steven Mosher, seorang ahli terkenal tentang China dan Presiden Population Research Institute.

Petisi tersebut meminta komunitas ilmiah untuk menyediakan obat yang sungguh-sungguh bagi Covid-19 tanpa dipengaruhi pertimbangan keuntungan komersial bagi perusahaan farmasi dan mengingatkan mereka bahwa mengembangkan atau menggunakan vaksin yang berasal dari janin yang hasil aborsi "secara moral tidak dapat diterima." Petisi juga mendesak para pemimpin pemerintah untuk memastikan bahwa warga negara tidak dikendalikan melalui "pelacakan kontak" atau metode pengawasan lainnya. Selain itu Petisi juga mendesak media untuk memberikan informasi yang akurat dengan memyediakan ruang pada "suara-suara yang tidak selaras dengan satu cara berpikir."

Petisi itu mendapat kecaman keras dari para uskup Jerman.

Dalam artikelnya untuk Die Tagespost, Uskup Schneider mengatakan bahwa “menghilangkan atau mendiskreditkan debat sosial dan suara-suara yang berbeda pendapat merupakan karakteristik utama dari rezim totaliter.”

"Hanya kediktatoran yang takut akan debat objektif ketika ada perbedaan pendapat," demikian katanya.

Dia juga mencatat bahwa petisi itu tidak menyangkal adanya epidemi dan kebutuhan untuk melawannya. Namun dia mengatakan petisi itu mengangkat kekhawatiran serius tentang peningkatan pengawasan dan vaksinasi wajib, sebuah proposal jahat yang saat ini sedang diperjuangkan melalui parlemen Jerman.

Uskup Schneider juga membahas upaya pemerintah untuk campur tangan dalam hal-hal yang berkaitan dengan Gereja, termasuk bagaimana Komuni Suci harus dibagikan. "Suatu hari nanti sejarah akan menyesali 'klerus-rezim' zaman kita yang dengan patuh menerima campur tangan negara," demikian katanya.

Berikut adalah terjemahan bebas dari komentar lengkap Uskup Athanasius Schneider,

'Petisi untuk Gereja dan Dunia': Sebuah Katalis untuk Debat yang Jujur

Pada 8 Mei 2020, sebuah dokumen berjudul "Petisi untuk Gereja dan Dunia: bagi umat Katolik dan semua orang yang berkehendak baik," diterbitkan. Para penandatangan awalnya termasuk, antara lain, tiga kardinal, sembilan uskup, sebelas dokter, dua puluh dua jurnalis dan tiga belas pengacara.

Sungguh menakjubkan melihat bagaimana perwakilan dari gereja, lembaga politik dan media, sejalan dengan arus pemikiran tunggal yang berlaku, dengan suara bulat berusaha untuk mendiskreditkan keprihatinan yang diungkapkan dalam Petisi, dan memadamkan setiap diskusi lebih lanjut, dengan berargumen itu hanyalah "teori konspirasi." Saya ingat bentuk reaksi dan bahasa yang serupa di bawah kediktatoran Soviet, ketika para pembangkang dan kritik terhadap ideologi dan politik yang berlaku dituduh terlibat dalam "teori konspirasi" yang disebarkan oleh kapitalis Barat.

Para kritikus Petisi menolak untuk mempertimbangkan bukti, seperti tingkat kematian resmi (untuk periode waktu yang sama) dari musim flu 2017-2018, dibandingkan dengan epidemi Covid-19 saat ini di Jerman. Faktanya, tingkat kematian yang terakhir jauh lebih rendah. Ada negara-negara dengan langkah-langkah keamanan dan pencegahan virus korona yang moderat, dengan penerapan yang baik, tidak memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi. Jika sekadar pengakuan fakta dan diskusi tentang hal itu dicap sebagai "teori konspirasi," maka siapapun yang dapat berpikir secara mandiri memiliki alasan yang baik untuk khawatir tentang kemungkinan bahwa bentuk-bentuk kediktatoran yang halus sedang eksis di masyarakat kita. Seperti diketahui, menghilangkan atau mendiskreditkan debat sosial dan suara-suara yang berbeda merupakan karakteristik utama dari rezim totaliter, yang senjata utamanya melawan para pembangkang bukanlah argumen faktual, melainkan retorika yang demagogik dan populer. Hanya kediktatoran yang takut pada debat objektif ketika ada perbedaan pendapat.

Petisi tidak menyangkal adanya epidemi dan kebutuhan untuk melawannya. Namun, beberapa langkah keamanan dan pencegahan telah melibatkan penerapan bentuk pengawasan menyeluruh terhadap masyarakat. Dengan dalih epidemi, tindakan semacam itu melanggar kebebasan sipil yang mendasar dan tatanan demokratis Negara. Proposal mengenai vaksinasi wajib, tanpa ada alternatif lain bagi vaksin yang disetujui oleh negara, yang pastinya akan membatasi kebebasan pribadi, juga sangat berbahaya. Langkah-langkah dan proposal semacam itu akan membiasakan warga negara dengan bentuk-bentuk tirani yang teknokratis dan terpusat - dan keberanian sipil, pemikiran independen dan, di atas segalanya, segala bentuk perlawanan sedang dilumpuhkan.

Salah satu aspek dari langkah-langkah keamanan dan pencegahan yang telah diterapkan secara seragam di hampir semua negara adalah pelarangan ibadah publik yang drastis. Larangan semacam itu hanya ada pada masa penganiayaan Kristen yang sistematis. Namun, yang baru adalah bahwa di beberapa tempat, otoritas negara bahkan menetapkan norma-norma liturgi untuk Gereja, seperti cara membagikan Komuni Suci. Ini adalah campur tangan yang jelas terhadap hal-hal yang merupakan wewenang Gereja. Suatu hari nanti, sejarah akan meratapi “klerus-rezim” zaman kita yang dengan patuh menerima campur tangan negara. Sejarah selalu menyesalkan bahwa, pada saat krisis besar, mayoritas tetap diam dan suara-suara yang berbeda dibungkam. Oleh karena itu, Petisi Bagi Gereja dan Dunia setidaknya harus diberikan kesempatan yang adil untuk memulai debat yang jujur, tanpa takut akan tekanan sosial dan hukuman moral, sebagaimana layaknya masyarakat demokratis.

13 Mei 2020
+ Athanasius Schneider, 
Uskup Auksilier Keuskupan Agung Santa Maria di Astana

Demikian tadi terjemahan bebas dari tanggapn Uskup Athanasius Schneider, yang saya terjemahkan secara bebas dari website The Remnant.

Terima kasih atas perhatian anda...
Viva Christo Rey... 

Posting Komentar

0 Komentar