Kardinal Robert Sarah: Agar Gereja Kembali Penting!


Siapapun yang mencintai Gereja pasti sangat terluka ketika dunia ramai-ramai memvonis kegiatan ibadat di gereja-gereja sebagai tidak penting dan harus ditiadakan selama wabah berlangsung. Ini merupakan ungkapan tidak langsung dari persoalan yang sesungguhnya, yaitu di mata dunia Gereja sudah tidak penting lagi...

Ibarat garam yang sudah tidak asin, apalagi gunanya selain dibuang dan diinjak-injak!

Gereja menjadi tidak penting karena kesalahannya sendiri. Sejak Konsili Vatikan II, Gereja ditipu untuk membuka diri terhadap dunia. Demi semangat aggiornamento Gerejapun mulai mengadopsi nilai-nilai dan semangat dunia. 

Akibatnya Gereja lupa pada tugasnya untuk mewartakan Kerajaan yang tidak berasal dari dunia ini. Kini Gereja sudah terjebak dan turun derajatnya menjadi organisasi duniawi. Karya-karya karitatifnya tidak lebih baik dari LSM-LSM. Lembaga-lembaga pendidikannya juga sudah kehilangan nilai tambah dibandingkan yang lain. Bahkan injil 'baru' yang dibawanyapun menyuarakan pesan penyelamatan lingkungan yang merupakan bagian dari agenda kaum globalis.

Kini bencana wabah virus korona menyadarkan Gereja pada posisinya di mata dunia. Yaitu bahwa Gereja yang sejak setengah abad lalu berselingkuh dengan dunia, kini sudah menjadi tidak penting!

Adalah Presiden Donald Trump, bukan Paus Frasiskus, yang dengan lantang menolak anggapan kurang ajar ini. Dia menegaskan: Gereja dan segala kegiatannya PENTING!

Pernyataan ini seharusnya menyadarkan kaum hirarki Gereja untuk mengembalikan posisi Gereja menjadi sungguh-sungguh penting sebagaimana seharusnya. Gereja akan menjadi penting jika kembali menjalankan tugas unik yang tak dapat dilakukan oleh siapapun, yaitu menyelamatkan jiwa-jiwa dengan mewartakan iman, harapan dan kasih. Gereja menjadi penting ketika dia mewartakan Yesus Kristus yang bangkit dan mengalahkan kematian yang ditakuti dunia....

Berikut adalah tulisan dari Kardinal Robert Sarah yang saya kutip dari situs lifesitenews tentang penyakit kronis Gereja yang menganggap dirinya bagian dari dunia ini.


---------------

Apakah Gereja masih memiliki tempat di masa epidemi di abad ke-21? Berbeda dengan berabad-abad yang lalu, sebagian besar perawatan medis sekarang disediakan oleh negara dan tenaga kesehatan. Modernitas memiliki pahlawan sekuler berjubah putih (tenaga medis), dan mereka mengagumkan. Tidak perlu lagi batalion amal Kristen untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Apakah Gereja menjadi tidak berguna bagi masyarakat?

Covid-19 membawa umat Kristen kembali ke esensi. Memang, Gereja telah sejak lama memasuki hubungan yang menyimpang dengan dunia. Dihadapkan dengan masyarakat yang berpura-pura tidak membutuhkan mereka, orang-orang Kristen, melalui pedagogi, melakukan yang terbaik untuk menunjukkan bahwa mereka dapat berguna bagi masyarakat. Gereja telah menunjukkan dirinya sebagai seorang pendidik, ibu dari orang-orang miskin, "ahli dalam kemanusiaan" seperti yang dikatakan Paulus VI. Dan memang demikian. Tetapi sedikit demi sedikit, orang-orang Kristen makin melupakan alasan munculnya keahlian ini. Mereka lupa bahwa Gereja dapat membantu manusia menjadi lebih manusiawi, itu karena dia telah menerima dari Tuhan Sabda kehidupan kekal.

Gereja telah berkomitmen untuk berjuang demi dunia yang lebih baik. Gereja bertindak benar dengan mendukung ekologi, perdamaian, dialog, solidaritas, dan distribusi kekayaan yang adil. Semua perjuangan itu benar. Tetapi itu semua dapat membuat kita melupakan kata-kata Yesus: "Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini." Gereja memiliki pesan untuk dunia ini, tetapi itu karena dia memiliki kunci ke dunia lain. Orang-orang Kristen kadang-kadang menganggap Gereja sebagai bantuan yang diberikan Tuhan kepada umat manusia untuk meningkatkan kehidupannya di bumi. Dan mereka tidak kekurangan alasan, sehingga menganggap bahwa iman dalam kehidupan kekal memberi penerangan tentang cara yang tepat untuk hidup di jaman ini.

Sekarat dalam keputusasaan dan kesepian

Covid-19 mengungkapkan penyakit berbahaya yang menggerogoti Gereja, yaitu berpikir bahwa dia adalah "dari dunia ini." Gereja ingin merasa sah di matanya sendiri dan sesuai dengan kriterianya sendiri. Tetapi suatu kenyataan yang benar-benar baru, telah muncul. Kejayaan modernitas telah runtuh dalam menghadapi kematian. Virus ini mengungkapkan bahwa, terlepas dari kepastian dan keamanannya, dunia di bumi ini tetap takluk oleh ketakutan akan kematian. Dunia dapat menyelesaikan krisis kesehatan, dan juga tentu dapat menyelesaikan krisis ekonomi. Tetapi itu tidak akan pernah memecahkan teka-teki kematian. Hanya iman saja yang punya jawabannya.

Mari kita ilustrasikan hal ini dengan lebih konkret. Di Perancis, seperti di Italia, masalah panti jompo untuk orang-orang tua telah menjadi poin penting. Kenapa begitu? Karena itu langsung mengangkat pertanyaan tentang kematian. Haruskah penghuni lanjut usia dikurung di kamar mereka dengan risiko mati putus asa dan kesepian? Atau haruskah mereka tetap berhubungan dengan keluarga mereka, sambil mempertaruhkan kematian akibat virus? Kita tidak tahu bagaimana menjawabnya.

Negara, yang terjebak dalam sekularisme yang memilih prinsip untuk mengabaikan harapan dan menyingkirkan persoalan religius ke wilayah pribadi, dikutuk untuk diam. Bagi Negara, satu-satunya solusi adalah melarikan diri dari kematian fisik dengan segala cara, bahkan jika itu berakibat kematian moral. Jawabannya hanya bisa didapat dari iman, yaitu menemani lansia menuju kemungkinan kematian secara bermartabat, dan di atas semua itu, memberikan harapan akan hidup yang kekal.

Epidemi telah menghantam masyarakat Barat pada titik paling rentan mereka. Mereka telah diatur untuk menyangkal kematian, menyembunyikannya, dan mengabaikannya. Kini kematian masuk melalui pintu depan! Siapa yang belum melihat kamar mayat raksasa di Bergamo atau Madrid? Itu adalah gambar-gambar dari masyarakat yang belum lama ini menjanjikan manusia kekal dengan menambah umur.

Melupakan ketakutan

Janji-janji teknologi memungkinkan manusia untuk melupakan rasa takut sesaat, tetapi pada akhirnya mereka membuktikan itu hanya ilusi ketika kematian terjadi. Bahkan filsafat hanya mengembalikan martabat manusia pada akal budinya ketika ia diliputi oleh absurditas kematian. Tetapi tidak berdaya untuk menghibur hati dan memberi makna pada apa yang tampaknya secara definitif telah kehilangan makna.

Dalam menghadapi kematian, tidak ada respons manusia yang bisa bertahan. Hanya harapan hidup abadi yang bisa melampaui skandal kematian. Tapi siapa orang yang berani mengabarkan harapan? 

Diperlukan Sabda Tuhan yang diwahyukan untuk berani percaya pada kehidupan kekal. Dibutuhkan kata-kata iman untuk berani memiliki harapan bagi diri sendiri dan keluarga. Karena itu Gereja Katolik dipanggil kembali pada tanggung jawab utamanya. Dunia mengharapkan dari Gereja iman yang akan memungkinkannya untuk mengatasi trauma dari pertemuan tatap muka dengan kematian yang baru saja dialaminya. Tanpa pernyataan yang jelas tentang iman dan harapan, dunia dapat tenggelam dalam rasa bersalah yang ganjil atau kemarahan yang tak tertahan pada absurditas kondisinya. Hanya Gereja yang dapat memampukan dunia untuk memberi makna pada kematian orang-orang yang dicintai, yang meninggal dalam kesendirian, dan dimakamkan dengan tergesa-gesa.

Tetapi jika demikian, Gereja harus berubah. Gereja harus berhenti untuk takut menyebabkan kejutan dan melawan arus. Gereja harus berhenti memikirkan dirinya sendiri sebagai institusi duniawi. Gereja harus kembali pada tujuan eksistensinya, yaitu iman. Gereja ada di dunia untuk memproklamirkan bahwa Yesus telah menaklukkan maut melalui kebangkitan-Nya. Inilah inti dari pesannya: “Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sia juga pemberitaan kami; sia-sia jugalah imanmu ... dan kita adalah yang paling malang di antara semua manusia ”(1 Korintus 15: 14-19). Sisanya hanyalah konsekuensi dari ini.

Masyarakat kita akan keluar dari krisis yang melemah ini. Mereka akan membutuhkan psikolog untuk mengatasi trauma karena tidak bisa menemani orang tua dan orang yang sekarat ke makam mereka, tetapi lebih dari itu, mereka akan membutuhkan imam untuk mengajar mereka berdoa dan berharap. Krisis ini mengungkapkan bahwa masyarakat kita, tanpa sadar, sangat menderita akibat kejahatan spiritual: mereka tidak tahu bagaimana memberi makna pada penderitaan, keterbatasan, dan kematian.

----------------------

Demikianlah tulisan Kardinal Robert Sarah yang saya kutip dari lifesitenews.

Terima kasih atas perhatiannya...
Viva Christo Rey....

Posting Komentar

0 Komentar