Kardinal Gerhard Muller: Uskup Tidak Berhak Melarang Misa Publik



Ada banyak tanggapan negatif atas petisi dari Uskup Agung Vigano yang meminta segera diakhrinya pelarangan Misa bagi publik. Saya belum memeriksa seluruh komentar yang masuk, namun dari semua komentar negatif yang sempat saya baca umumnya keberatan tersebut bersifat pragmatis dan sekuler. Pada intinya berputar sekitar sikap paranoid terhadap penularan wabah, tidak lebih.

Padahal ada alasan yang lebih mendalam dan melampaui alasan-alasan pragmatis. Itu berkaitan dengan makna Ekaristi bagi kehidupan Kristen dan juga masalah kedaulatan Gereja dalam penyelenggaraan tugasnya.

Berikut adalah pandangan dari Kardinal Gerhard Muller, salah satu penandatangan petisi, mengenai masalah tersebut. Ini bukan pandangan saya yang cuma seorang awam, tapi pandangan seorang Kardinal Gereja Katolik yang pernah menjadi prefek Kongregasi Ajaran Iman (CDF) di Vatikan di masa Paus Benediktus XVI.

Berikut terjemahan bebas kutipan wawancara Kardinal Gerhard Muller dengan suratkabar Daily Compass yang saya ambil dari situs lifesitenews..

Kardinal Gerhard Muller memulai wawancaranya dengan mengatakan ini:

“Virus ini merupakan tragedi bagi banyak orang. Tapi inilah alasan tepat Gereja memiliki tugas untuk menawarkan visi penderitaan dan keberadaan manusia, dalam perspektif kehidupan kekal, dalam terang iman. Penangguhan Misa publik adalah bentuk pengunduran diri dari tugas tersebut, itu akan mereduksi Gereja dan membuatnya bergantung pada negara. Hal ini tidak bisa diterima. " demikian menurut Kardinal Gerhard L. Müller dalam penilaiannya yang tegas tentang apa yang terjadi di Italia dan di banyak negara lain.

Selanjutnya wartawan bertanya pada Kardinal:
Yang Mulia, bagi banyak orang beriman penderitaan akibat wabah ini semakin bertambah dengan adanya larangan menghadiri Misa dan pencegahan untuk mengadakan pemakaman; yang lebih parah lagi, pelarangan ini dibenarkan oleh hierarki gerejawi...

Ini sangat serius, ini adalah cara pemikiran sekuler yang telah masuk ke Gereja. Adalah satu hal untuk mengambil tindakan pencegahan yang perlu untuk meminimalkan risiko penularan, dan hal yang lain untuk melarang liturgi. Gereja bukan lembaga yang tunduk pada negara, dan tidak ada uskup yang memiliki hak untuk melarang Ekaristi karena masalah ini. Selain itu, kami telah mendengar para imam dihukum oleh para uskup mereka karena merayakan misa hanya untuk beberapa orang, ini berarti mereka telah menganggap diri mereka sebagai pejabat negara. Padahal pemimpin tertinggi kita adalah Yesus Kristus, bukan Giuseppe Conte atau kepala negara lainnya. Negara memang memiliki tugasnya, tetapi gereja juga memiliki tugasnya sendiri.

Tanya:
Tampaknya banyak yang merasa sulit untuk mendamaikan kewajiban mereka pada negara dengan kebutuhan untuk menyelenggarakan ibadah publik kepada Tuhan.

Kita juga perlu beribadah secara publik karena kita tahu bahwa semuanya bergantung pada Tuhan. Tuhan adalah penyebab universal, dan ada penyebab sekunder yang melalui kebebasan kita. Kita, makhluk yang terbatas, tidak tahu berapa banyak dari apa yang terjadi bergantung pada kausalitas TUHAN dan seberapa banyak yang bergantung pada upaya kita sendiri: inilah mengapa kita perlu berdoa. Kita harus berdoa kepada Tuhan untuk mengatasi tantangan kehidupan pribadi dan sosial kita, tetapi tanpa melupakan juga dimensi transendental, yaitu visi kehidupan kekal dan persatuan yang intim dengan Allah Bapa dan dengan Yesus Kristus, bahkan dalam penderitaan kita. Kita dipanggil untuk memikul salib kita setiap hari, tetapi kita juga harus menjelaskan penderitaan mereka kepada umat beriman sesuai dengan petunjuk Injil. Larangan partisipasi dalam liturgi berlawanan arah dengan itu. Mengambil langkah-langkah eksternal tertentu memang tugas negara, tapi tugas kita adalah mempertahankan kebebasan dan kemandirian Gereja; dan juga keunggulan Gereja dalam dimensi spiritual. Gereja bukan lembaga yang berada di bawah negara.

Tanya:
Ada banyak, termasuk para imam dan uskup, yang menyadari ada risiko besar terjadi kesalahpahaman terhadap makna liturgi karena misa online di TV dan streaming.

Bentuk-bentuk (misa virual) ini tidak dapat dianggap sebagai pengganti Misa. Tentu saja, jika Anda berada di penjara atau di kamp konsentrasi atau keadaan luar biasa lainnya, Anda dapat berpartisipasi secara spiritual dalam Ekaristi, tetapi itu bukanlah situasi normal. Tuhan menciptakan kita, jiwa dan raga. Tuhan menyertai umat-Nya sepanjang sejarah, Dia sungguh-sungguh membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir, Dia tidak melakukan pembebasan tersebut secara virtual. 

Yesus, Putra Allah, menjadi manusia, dan kami percaya pada kebangkitan tubuh. Itulah sebabnya mengapa kehadiran fisik mutlak diperlukan, untuk kita, bukan untuk Tuhan. Tuhan tidak membutuhkan sakramen, tapi kita membutuhkannya. Tuhan melembagakan sakramen untuk kita. Perkawinan tidak hanya bekerja secara spiritual, ada kebutuhan untuk penyatuan tubuh dan jiwa. Kita bukan idealis Platonis, kita tidak dapat mengikuti misa dari rumah, kecuali dalam keadaan khusus. Tidak, kita harus pergi ke gereja, bertemu dengan orang lain, dan mengkomunikasikan Firman Tuhan. Seluruh kosakata Gereja juga menunjukkan kebutuhan ini: Komuni suci; komuni berarti berkumpul; Gereja adalah umat Allah yang dipanggil secara bersama. Mazmur mengatakan: "Betapa bagus dan indahnya saudara-saudara dapat hidup bersama".

Tanya:
Ada beberapa teolog dan uskup yang menganggap makna Ekaristi dibesar-besarkan, dan bahwa Misa hari Minggu tidak perlu.

Ada juga seorang uskup seperti Victor Fernandez, yang bangga menjadi 'ghost-writer' bagi Paus Fransiskus, yang mengklaim bahwa kewajiban untuk pergi ke Misa pada hari Minggu adalah perintah yang diperkenalkan oleh Gereja. Ini adalah salah satu contoh dari formasi teologi yang rusak. Perintah ketiga memiliki dasarnya dalam hukum ilahi: itu mewajibkan orang-orang Yahudi untuk menguduskan hari Tuhan. Bagi kita orang Kristen, hari yang dikuduskan itu adalah hari Kebangkitan. 

Itu juga merupakan perintah yang Yesus berikan kepada kita: "Lakukan ini untuk mengenang Aku". Dan Santo Paulus berkata: "Setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan" (1 Kor 11:26). Itu adalah representasi nyata dan sakramental dari kematian Yesus yang menyelamatkan dan kebangkitan-Nya. Dalam misa kita berpartisipasi di dalam misteri paskah. Konsili Vatikan II memperjelas hal ini dalam Sacrosanctum Concilium dan Lumen Gentium. Namun ada beberapa uskup yang mengatakan bahwa sebagian umat beriman terlalu terikat dengan Ekaristi. Itu tidak masuk akal. Ekaristi adalah satu-satunya adorasi sejati kepada Tuhan melalui Yesus Kristus. Ini bukan sekedar salah satu dari banyak bentuk liturgi, tetapi semua bentuk liturgi memiliki dasar keberadaan mereka dalam Ekaristi. Semuanya menerima kekuatan dan konsistensinya dari Ekaristi.

Tanya:
Bisakah Anda melihat manifestasi serangan yang jelas terhadap Ekaristi?

Iya. Pikirkan saja orang-orang yang sebelum dan selama Sinode di Amazon mengatakan dengan tegas bahwa masyarakat adat benar-benar membutuhkan Ekaristi dan untuk ini perlu ditahbiskan laki-laki yang sudah kawin sebagai imam. Sekarang orang yang sama tanpa malu-malu mengatakan yang sebaliknya, bahwa kita tidak membutuhkan Ekaristi. Mereka beralasan seperti Protestan, mereka mengabaikan bahwa titik pusat kontroversi sejak awal Reformasi Protestan, adalah Ekaristi. Dan sekarang ada uskup yang menyebut diri mereka Katolik tapi tidak mengerti nilai sentral dari Ekaristi. Ini adalah skandal nyata: mereka itulah orang-orang yang kaku dan klerikalis sejati, bukan mereka yang menganggap serius kata-kata Yesus dan doktrin Gereja. Ini adalah cara berpikir sesat. Dan kekatolikan "modern" semacam ini adalah ideologi yang merusak diri sendiri. Ada kebutuhan, khususnya di Italia, bagi para uskup untuk mengikuti aturan St. Carlos Borromeus, dan siapa pun yang berada di Kuria harus mengambil Kardinal Robertus Bellarminus sebagai contoh.

Tanya:
Dalam beberapa bulan terakhir kami telah mendengar para pemimpin keuskupan sering mengatakan bahwa tugas pertama adalah menjaga kesehatan.

Itu adalah Gereja sekuler borjuis, bukan Gereja yang hidup berdasarkan Firman Yesus Kristus. Yesus berkata ".. carilah Kerajaan Allah terlebih dahulu." Apa gunanya hidup, semua barang duniawi termasuk kesehatan, jika Anda kehilangan jiwa? Krisis ini telah menunjukkan bahwa banyak gembala kita berpikir seperti dunia, mereka lebih menganggap diri mereka sebagai pejabat sistem keagamaan sosial daripada sebagai imam Gereja yang merupakan persekutuan intim dengan Tuhan dan dengan semua orang. Kita harus selalu menggabungkan iman dan akal. Jelas kita bukan fideis, kita tidak seperti sekte-sekte Kristen yang mengatakan bahwa kita tidak membutuhkan obat-obatan, atau bahwa kita mempercayakan diri kita hanya kepada Tuhan. Sebaliknya, mempercayakan diri kepada Tuhan tidak bertentangan dengan penghargaan terhadap semua yang ditawarkan pengobatan modern. Tetapi pengobatan modern tidak menggantikan doa: keduanya adalah dua dimensi yang tidak boleh dipisahkan tetapi juga tidak tumpang-tindih.

Tanya:
Dikatakan oleh beberapa orang, sebagai pembenaran penangguhan Misa publik, bahwa jika kita menginfeksi orang lain maka kita bertanggung jawab atas kematian mereka.

Dokter juga menjalankan risiko ini, selalu ada risiko dalam setiap aktivitas manusia. Sudah pasti bahwa kita harus berhati-hati untuk tidak membahayakan kehidupan dan kesehatan orang lain, tetapi ini bukan nilai tertinggi. Sayangnya, situasi ini telah menunjukkan kepada kita bahwa banyak imam dan uskup yang berkualitas baik tidak memiliki dasar teologis untuk merenungkan situasi ini dan menawarkan penilaian yang sejalan dengan Injil dan doktrin Gereja.

Tanya:
Mungkin juga karena alasan inilah banyak uskup melecehkan permintaan umat beriman Italia untuk mengkonsekrasikan Italia kepada Hati Maria yang Tak Bernoda. 

Ada yang meremehkan aspek supranatural. Kita tenggelam dalam konsepsi naturalis yang berasal dari Abad Pencerahan. Gereja, Rahmat, dan sakramen tidak dapat dijelaskan menurut dimensi natural. Jantung agama Kristen kita adalah Allah transenden yang menjadi imanen dalam hidup kita, Dia adalah Yesus Kristus, manusia sejati dan Allah yang sejati, melalui Inkarnasi.

Tanya:
Hampir seolah-olah kita pasrah mengejar dunia yang hanya masuk akal secara natural, dan kita menyebutnya realisme.

Ini adalah ideologi pragmatisme. Hari ini, misalnya, muncul gagasan di Gereja bahwa ada kebutuhan akan uskup yang hanya imam saja, ini pragmatis. Sebaliknya uskup adalah pembawa Firman, ia harus mampu merefleksikan Firman. Santo Paulus dan Santo Petrus tidak bodoh, para bapa Gereja tidak pragmatis, mereka merefleksikan iman Kristen dan seluruh implikasinya. Pengajar iman yang baik harus mampu menjelaskan situasi seperti sekarang berangkat dari iman, dalam pengertian supernatural, bukan dengan naturalisme. Sekali lagi, kedua dimensi itu harus disatukan: kita tidak dapat mereduksi keberadaan manusia menjadi sekadar alam, dan pada saat yang sama juga tidak berpikir - seperti yang dikatakan oleh kaum Marxis - bahwa agama Kristen hanya peduli dengan kehidupan setelah kematian. Di dalam Yesus Kristus kita memiliki kesatuan antara kehidupan setelah mati dan kehidupan duniawi. Seorang Kristen yang baik harus tahu bagaimana menjadi seorang dokter dan ilmuwan yang hebat, tetapi sekaligus juga tidak bertentangan dengan iman pada Tuhan. Ada integrasi antara iman dan akal, antara kepercayaan pada Tuhan dan kompetensi dalam ilmu-ilmu alam.


Demikian tadi kutipan dari wawancara Kardinal Gerhard Muller dengan suratkabar Daily Compass.

Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Viva Christo Rey...

Posting Komentar

0 Komentar