Transkrip:
Salam damai dan sejahtera...
Seminggu yang lalu, tepatnya hari Selasa 29 Juli 2025, media Katolik 'Lifesitenews' menurunkan berita tentang riset terbaru yang diadakan oleh National Bureau of Economic Research (NBER). Lembaga ini cukup kredibel dan tidak memiliki kepentingan dalam konflik internal Gereja Katolik, oleh karenanya hasil yang disajikan dalam laporan riset mereka sepenuhnya berdasarkan fakta apa adanya, tanpa bias kepentingan.
Dalam laporannya NBER menyatakan bahwa sejak Konsili Vatikan II berakhir pada tahun 1965, telah terjadi penurunan yang signifikan dan terus-menerus pada jumlah kehadiran dalam Misa di negara-negara mayoritas Katolik. Penurunan ini tercatat relatif lebih besar dibanding kehadiran pada kebaktian di berbagai gereja-gereja lain.
Berikut adalah terjemahan dari kutipan langsung 'Lifesitenews':
Dengan meneliti tingkat kehadiran ibadah keagamaan di 66 negara sejak tahun 1920, Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) menemukan bahwa "dibandingkan dengan negara-negara lain, negara-negara Katolik mengalami penurunan yang stabil dalam tingkat kehadiran ibadah keagamaan bulanan orang dewasa yang dimulai segera setelah Vatikan II" pada tahun 1965, tahun terakhir konsili. Negara-negara Katolik didefinisikan sebagai negara-negara dengan populasi Katolik 50% atau lebih dan mencakup negara-negara seperti Irlandia, Italia, Austria, Prancis, Brasil, Filipina, dan Meksiko.
Harus diingat bahwa setelah Konsili Vatikan II berakhir, Gereja Katolik masih menggunakan Misa Latin Tradisional karena Misa Novus Ordo baru digunakan setelah tahun 1970. Kesimpulannya penurunan ini tidak terkait dengan Misa Novus Ordo tapi pada perubahan yang dibawa oleh Konsili Vatikan II itu sendiri.
Jadi meski Misa Tridentin masih dipertahankan pada saat itu, namun perubahan semangat Konsili Vatikan II yang dibawa para imam atas perintah uskup-uskup mereka sudah masuk ke dalamnya. Akibatnya, terjadilah kemerosotan penghayatan iman pada Gereja Katolik yang tercermin dalam kemerosotan jumlah kehadiran umat dalam Misa. Ini membawa kita pada kesimpulan sederhana tapi penting: masalah yang muncul di Gereja Katolik bukan berasal dari penggunaan Misa Novus Ordo, tapi dari Konsili Vatikan II. Misa Novus Ordo yang baru muncul kemudian hanya memperburuk masalah dan membuat kerusakan yang dibawa Konsili Vatikan II semakin tidak dapat dibendung lagi.
Sebagai kelanjutan dari Summorum Pontificum oleh Paus Benediktus XVI, sekarang ini muncul upaya untuk memulihkan penggunaan Misa Latin Tradisional yang didukung beberapa Kardinal seperti Kardinal Raymond Burke, Kardinal Robert Sarah, dan lain-lain. Upaya ini juga diikuti banyak umat terutama kaum muda di berbagai keuskupan. Meski itu upaya yang bagus dan layak kita dukung, upaya tersebut sama sekali tidak menyentuh akar masalah. Itu seperti menyembuhkan penyakit akibat kanker dengan antibiotik dan penahan rasa sakit, upaya itu tidak akan menghentikan kanker yang terus merusak. Mereka, kaum tradisionalis abal-abal ini, hanya mengobati kerinduan estetik dan romantisme suasana sakral yang sudah hilang di Misa Novus Ordo, tapi tidak akan banyak mengubah keadaan Gereja Katolik yang terus semakin merosot oleh modernisme, ekumenisme, dan sinodalitas.
Akar masalahnya ada pada perubahan merusak yang dibawa oleh Konsili Vatikan II. Saat ini, di luar SSPX yang sejak awal tidak mau menerima Konsili Vatikan II, hanya ada dua uskup yang menyadari adanya masalah pada Konsili Vatikan II. Mereka adalah Uskup Athanasius Schneider yang menyatakan ada beberapa teks yang harus dikoreksi dalam dokumen-dokumen konsili, dan Uskup Agung Vigano yang tegas menyatakan dokumen-dokumen Konsili Vatikan II harus dilupakan sama sekali.
Seharusnya, dengan berbagai buah-buah buruk yang terjadi setelah hampir 60 tahun penerapan hasil-hasil Konsili Vatikan II dan ditambah dengan berbagai penelitian statistik, termasuk yang terbaru dari NBER ini, sudah cukup menyadarkan orang Katolik bahwa Konsili Vatikan II memang bermasalah. Sayangnya tidak banyak orang Katolik yang berani menyatakan kebenaran ini.
Konsili Vatikan II ini seperti bank besar yang mengalami masalah sistemik tapi dianggap terlalu besar untuk gagal. Karena takut nama baiknya rusak jika kesalahan sistemik itu diakui dan diperbaiki, bank tersebut terus ditolong dan ditalangi pemerintah sampai akhirnya pemerintah tidak sanggup lagi menolong dan bank tersebut hancur dengan menyeret pemerintah serta banyak orang ikut menanggung akibatnya.
Begitu juga dengan Konsili Vatikan II. Saya yakin para Uskup dan Kardinal di Gereja Katolik cukup punya iman dan akal sehat untuk menyadari Konsili Vatikan II dengan berbagai buah-buah buruknya yang terus bermunculan, memang bermasalah. Tapi mereka tidak mau mengakuinya karena tidak berani melihat konsekuensi besar yang harus diterima jika Konsili Vatikan II terpaksa dinyatakan bermasalah. Mereka lupa bahwa Petrus yang diangkat sebagai kepala para Rasul juga pernah melakukan beberapa kali kesalahan, maka Paus dan magisterium juga dapat melakukan kesalahan seperti Petrus. Dan mereka juga lupa bahwa kesesatan yang terjadi dalam Gereja Katolik pasca-konsili yang melibatkan hirarki pada pucuk tertinggi adalah bagian dari kemurtadan besar yang sudah dinubuatkan oleh Rasul Paulus (2Tes.2:3).
Memang benar, Tuhan sudah berjanji bahwa Gereja-Nya tidak akan terkalahkan oleh gerbang alam maut. Tapi Gereja Katolik yang sudah jatuh dalam kesesatan akibat konsili jelas bukan lagi bagian dari Gereja Kristus yang tidak terkalahkan itu. Cukup dengan akal sehat kita pasti memahami hal ini.
Jadi dimanakah Gereja Kristus yang tak terkalahkan itu?
Gereja Kristus yang tak terkalahkan itu ada pada bagian dari Gereja Katolik yang tetap setia pada ajaran iman para Rasul, yaitu sisa umat yang juga sudah dinubuatkan oleh Rasul Paulus (Rm.11:2-5). Itulah orang-orang Katolik tradisionalis non-sedevakantis, yang bukan cuma setia mengikuti Misa Latin Tradisional saja tapi lebih dari itu setia pada ajaran iman para Rasul dengan menolak tunduk pada semangat Konsili Vatikan II.
Terima kasih atas perhatian anda...
Viva Christo Rey!
0 Komentar