Transkrip:
Salam damai dan sejahtera....
Demi semangat ekumenisme konsili, Gereja Katolik mengorbankan banyak hal, mulai dari harga diri hingga kebenaran. Itulah yang terjadi sejak Konsili Vatikan II hingga hari ini di Gereja Katolik. Di awal video kita sudah melihat bagaimana seorang pendeta Kristen memohon dunia untuk membuka mata terhadap fakta genosida kelompok ekstrim muslim terhadap orang-orang Kristen yang terjadi di Nigeria sejak tahun 2009 hingga hari ini. Tidak itu saja, para Uskup Katolik di Nigeria juga sudah menyatakan keprihatinan yang sama selama bertahun-tahun.
Tapi apa kata Vatikan?
Kardinal Pietro Parolin, Sekretaris Negara Vatikan, sebagaimana dikutip dari infovaticana tanggal 21 Oktober 2025, menyangkal hal tersebut dengan mengatakan apa yang terjadi bukanlah konflik agama, melainkan konflik sosial, yaitu perselisihan antara kelompok penggembala dan petani. Pernyataan ini sekedar menyuarakan kembali narasi resmi dari pemerintah Nigeria yang selama bertahun-tahun selalu menyangkal genosida tersebut.
Ini sangat memalukan!
Setelah menjual harga diri dengan tunduk pada permintaan kaum intelektual muslim untuk memberikan ruangan khusus sholat di perpustakaan apostolik Vatikan, kini Vatikan ikut menggadaikan kebenaran dengan sengaja menutupi kekejaman genosida yang dilakukan kelompok ekstrimis islam di Nigeria. Jatuhnya martabat Gereja Katolik ke tempat yang rendah ini hanya bisa dijelaskan oleh satu hal, yaitu pengaruh semangat Konsili Vatikan II.
Dokumen Nostra Aetate mengatakan bahwa Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di agama-agama lain. Gereja juga mendorong orang-orang Katolik untuk mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani, moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka. Bahkan dalam Lumen Gentium lebih jauh dikatakan bahwa muslim dan Katolik menyembah Tuhan yang sama. Sikap keterbukaan dan pengakuan terhadap kebenaran pada agama-agama lain ini jelas bertentangan dengan prinsip "extra ecclesiam nulla salus" yang dipegang teguh oleh Gereja Katolik sejak jaman para Rasul. Sikap itu juga mematikan semangat penginjilan yang diperintahkan Tuhan Yesus.
Perubahan sikap Gereja Katolik pasca-konsili ini tidak terlepas dari tuntutan dunia modern untuk mengupayakan kehidupan yang damai di tengah keberagaman agama, bangsa dan budaya. Menghadapi tuntutan itu, Gereja Katolik pasca-konsili menunjukkan kecenderungannya untuk mengadopsi prinsip-prinsip DEI (Diversity, Equity, Inclusion) agar tetap relevan dengan dunia modern yang plural dan terus berkembang. Demi itu Gereja Katolik telah mengkhianati ajaran iman para Rasul dan sekaligus merendahkan martabatnya sendiri sebagai Gereja Kristus, satu-satunya sarana keselamatan bagi manusia.
Pertanyaannya, haruskah Gereja Katolik mengkhianati ajaran iman para Rasul demi hidup berdampingan dengan damai dalam masyarakat yang plural dan demi tetap relevan dengan kemajuan jaman?
Sama sekali tidak!
Bukankah orang-orang kristen pada gereja perdana juga harus hidup berdampingan dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang pagan? Tapi toh mereka tidak mengkhianati ajaran iman para Rasul agar dapat tetap eksis hidup berdampingan dengan mereka. Bahkan mereka rela menjadi martir ketimbang harus mengkhianati iman Kristen mereka. Sayangnya, semangat kemartiran ini sekarang telah dikhianati oleh Konsili Vatikan II yang memilih jalan kompromi.
Satu hal harus dicatat, kesetiaan iman orang-orang Kristen di masa gereja perdana justru berbuah indah ketika akhirnya agama Kristen diakui sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi. Seandainya orang-orang Kristen pada masa itu memilih sikap kompromi seperti yang dilakukan Gereja konsili, Gereja Katolik pasti sudah bubar sejak abad pertama. Justru karena kesetiaan iman orang-orang kristen inilah meka Gereja Katolik terus berkembang dari jaman ke jaman.
Contoh sikap tetap setia pada iman saat menjalani hidup di tengah agama-agama lain juga ada di Perjanjian Lama. Daniel dan teman-temannya yang harus menjalani pembuangan di Babel telah menunjukkan kesetiaan iman tanpa kompromi di tengah-tengah kaum pagan dan budaya mereka. Bahkan mereka rela menerima hukuman dibakar hidup-hidup atau dimasukkan ke kandang singa demi kesetiaan iman mereka. Kesetiaan Daniel dan teman-temannya pada iman Yahudi ternyata tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk hidup berdampingan dalam damai dengan bangsa-bangsa lain. Justru berkat anugerah Tuhan yang tercurah karena kesetiaan iman mereka, Daniel dan teman-temannya mendapatkan kedudukan yang terhormat di dalam Kerajaan Babel.
Baik gereja perdana maupun kisah Nabi Daniel di Perjanjian Lama, keduanya menunjukkan bahwa kesetiaan iman tanpa kompromi bukanlah penghalang untuk hidup berdampingan dengan penganut agama-agama lain. Ya, itu memang bukan pilihan yang mudah. Tapi itulah pilihan yang benar dan dikehendaki Tuhan.
Jadi pilihan yang diambil Konsili Vatikan II dengan bersikap kompromi dan mengkhianati ajaran iman para Rasul adalah sikap yang salah dan tidak berasal dari Tuhan. Seandainya Gereja Katolik memilih untuk tetap setia pada ajaran iman para Rasul di tengah jaman modern yang semakin jauh dari Tuhan ini, berkat Tuhan pasti akan tercurah dan menjadi kekuatan bagi Gereja untuk hidup berdampingan dengan damai serta menjadi garam dunia yang memberi arah peradaban.
Sebaliknya, ketidaksetiaan Gereja Katolik pasca-konsili telah membuat garam itu menjadi tidak asin lagi sehingga membuatnya pantas untuk dicampakkan dan diinjak-injak orang. Jadi kita tidak perlu heran mengapa Gereja Katolik sekarang sudah kehilangan martabatnya sebagai satu-satunya Gereja Kristus. Sikap kompromi dan pengkhianatan terhadap ajaran iman para Rasul oleh Konsili Vartikan II adalah penyebabnya.
Sekarang menjadi tugas bagi kita yang sadar akan kesalahan Gereja Katolik pasca-konsili, untuk menjaga eksistensi Gereja Kristus yang tak terkalahkan itu dengan tetap setia pada ajaran iman para Rasul, seperti yang diteladankan oleh gereja perdana dan juga oleh Daniel dan teman-temannya.
Terima kasih atas perhatian anda...
Viva Christo Rey!








Kindle Unlimited Membership Plans
0 Komentar