Transkrip:
Salam damai dan sejahtera...
Pada video ini saya akan menegaskan lagi kesimpulan akhir dari video sebelumnya. Dalam video tersebut saya katakan, pilihan Katolik dalam konteks hubungan dengan Protestan hanya dua ini:
1. Jika anda mendukung Konsili Vatikan II maka STOP menyebut Protestan sebagai bidat, karena Konsili Vatikan II sudah tidak menyebut mereka demikian.
2. Jika anda meyakini Protestan sebagai bidat karena mereka telah menyangkal ajaran iman Katolik, maka anda harus menolak Konsili Vatikan II dan membuangnya ke tempat sampah.
Crusader Network memilih pilihan kedua, menolak Konsili Vatikan II. Maka Crusader Network denghan bebas dapat mengatakan Protestan sebagai bidat karena memang mereka telah menyangkal sebagian ajaran iman Katolik. Dan juga menyebut Gereja Ortodoks sebagai skismatik sekaligus bidat. Mereka disebut skismatik menurut cara perpecahan mereka dengan Gereja Katolik, dan disebut bidat karena penyangkalan mereka terhadap beberapa ajaran iman Katolik, seperti filioque, doktrin Maria dikandung tanpa noda, dan lain-lain.
Kali ini saya akan memberikan alasan yang lebih mendasar mengapa para pendukung Konsili Vatikan II benar-benar tidak dapat lagi menyebut Protestan sebagai bidat, dan juga tidak dapat menyebut Gereja Ortodoks sebagai skismatik. Saya akan tunjukkan bahwa ini bukan sekedar perubahan gaya bahasa pastoral seperti yang dinarasikan oleh para pendukung konsili, tapi memang telah terjadi perubahan doktrin yang signifikan.
Ini erat kaitannya dengan agenda ekumenisme yang menjadi salah satu tujuan utama konsili sebagaimana tertulis eksplisit dalam salah satu dokumennya:
Mendukung pemulihan kesatuan antara segenap umat kristen merupakan salah satu maksud utama Konsili Ekumenis Vatikan II. (Unitatis Redintegratio 1).
Memulihkan kesatuan Kristen tentu saja bagus dan sejalan dengan kehendak Tuhan yang menginginkan semuanya menjadi satu (Yoh.17:11 dan juga Yoh.17:21). Tapi, apakah pemulihan kesatuan Kristen ini dilakukan dengan cara yang sejalan dengan ajaran Gereja?
Sayangnya tidak!
Seperti yang diungkapkan oleh Paus Pius XI dalam Mortalium Animos, upaya persatuan Kristen adalah: mempromosikan kembalinya semua gereja atau komunitas yang terpisah ke dalam Gereja Katolik dengan meninggalkan segala sesuatu yang telah membuat mereka terpisah darinya. Upaya persatuan seperti ini disebut juga sebagai "ecumenism of return" atau "ekumenisme kembali."
Gereja Katolik memandang dirinya sebagai Gereja Kristus, sekaligus "Mater et Magistra" (Bunda dan Pengajar) bagi semua Kristen. Hanya di dalam Gereja Katolik saja terdapat kepenuhan kebenaran, dan penyertaan Roh Kudus yang mengajarkan manusia untuk memahami seluruh kebenaran yang penuh itu. Mereka yang memisahkan diri dengan menyangkal sebagian ajarannya, disebut bidat atau heretik. Contohnya: arianisme, nestorianisme, dan tentu saja semua aliran Protestan. Mereka yang memisahkan diri karena menyangkal kepemimpinan Paus sebagai penerus Petrus, disebut skismatik. Contohnya adalah Gereja-gereja Ortodoks Timur.
Untuk kembali bersatu maka mereka yang bidat harus menerima kembali semua ajaran Gereja yang mereka sangkal, dan mereka yang skismatik harus kembali mengakui kepemimpinan Paus sebagai penerus Petrus. Itulah prinsip persatuan Kristen "ecumenism of return" yang dipegang teguh oleh Gereja Katolik sejak jaman bapa-bapa Gereja sampai sebelum Konsili Vatikan II.
Tapi setelah Konsili Vatikan II, pendekatan "ecumenism of return" ini sudah tidak dipakai lagi. Sebagaimana yang terungkap dalam dokumen Unitatis Redintegratio, Gereja Katolik mulai menggunakan pendekatan dialog dalam mendorong upaya persatuan Kristen. Pendekatan ini disebut "ecumenism of dialog" dan diadaptasi dari gerakan ekumenisme Protestan yang sudah dimulai sejak 1910. Gerakan ekumenisme ini diikuti juga oleh Gereja Ortodoks pada tahun 1948.
Perubahan paradigma ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah buku oleh Kardinal Walter Casper yang waktu itu adalah Presiden Dewan Kepausan untuk Persatuan Kristen:
"Ekumenisme yang baru, yang diilhami oleh Vatikan II, tidak lagi dipahami sebagai 'ekumenisme kembali', yaitu penyerapan kembali orang-orang Kristen yang berpisah ke dalam Gereja Katolik, tetapi sebagai 'ekumenisme dialog' yang bertujuan untuk membangun persekutuan penuh."
Persoalannya, untuk mengganti prinsip "ecumenism of return" menjadi "ecumenism of dialog" Gereja Katolik harus mengubah eklesiologinya. Atau dengan kata lain Gereja Katolik harus mengubah cara pandang terhadap makna, tujuan, serta peran Gereja di dunia. Karena dialog sejati membutuhkan kesetaraan, maka Gereja Katolik harus menurunkan statusnya sendiri dan sekaligus menaikkan status gereja-gereja atau komunitas-komunitas Kristen lain. Dengan kata lain, Gereja Katolik menampilkan dirinya lebih rendah dari keadaan sesungguhnya dan sekaligus menempatkan gereja atau komunitas Kristen lain lebih tinggi dari yang seharusnya.
Ini bisa terlihat dari perubahan definisi Gereja Kristus. Sebelum konsili, Gereja Kristus "adalah" Gereja Katolik. Dalam definisi klasik ini, satu-satunya Gereja Kristus adalah Gereja Katolik, dan di luarnya sama sekali bukan Gereja Kristus. Dari definisi klasik inilah berakar gagasan "extra ecclesiam nulla salus," di luar Gereja tidak ada keselamatan. Tapi setelah konsili definisi ini berubah menjadi Gereja Kristus "ada di dalam" Gereja Katolik. Ini definisi yang jauh lebih longgar. Definisi ini memberi peluang Gereja Kristus tidak hanya ada di dalam Gereja Katolik saja, tapi juga ada di gereja-gereja atau komunitas-komunitas Kristen lain. Bedanya, Gereja Katolik memiliki kepenuhan kebenaran Gereja Kritus sementara pada gereja-gereja atau komunitas-komunitas Kristen lain keberadaan Gereja Kristus itu tidak penuh.
Perhatikan apa yang dikatakan konsili:
...bahkan banyak sekali (unsur-unsur) yang sangat berharga, yang dapat ditemukan di luar kawasan Gereja Katolik yang kelihatan: Sabda Allah dalam Kitab Suci, kehidupan rahmat, iman, harapan dan cinta kasih, begitu pula kurnia-kurnia Roh kudus lainnya yang bersifat batiniah dan unsur-unsur lahiriah. Itu semua bersumber pada Kristus dan mengantar kepada-Nya, dan memang selayaknya termasuk Gereja Kristus yang tunggal. (Unitatis Redintegratio 3).
Jadi amat jelas bahwa gereja-gereja dan komunitas-komunitas Kristen menurut konsili juga termasuk Gereja Kristus karena mereka memiliki banyak unsur berharga yang juga dimiliki oleh Gereja Katolik.
Kita lihat lainnya:
Tidak sedikit pula upacara-upacara agama Kristen, yang diselenggarakan oleh saudara-saudari yang tercerai dari kita. Upacara-upacara itu dengan pelbagai cara dan menurut bermacam-ragam situasi masing-masing Gereja dan jemaat, sudah jelas memang dapat menyalurkan hidup rahmat yang sesungguhnya... (Unitatis Redintegratio 3).
Jadi, menurut konsili upacara-upacara Kristen non-Katolik ternyata juga bersifat otentik, yaitu dapat menyalurkan hidup rahmat.
Dan ini paling fatal:
Sebab Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan mereka sebagai upaya-upaya keselamatan... (Unitatis Redintegratio 3).
Dengan demikian gereja dan komunitas Kristen non-Katolik juga dapat menjadi sarana keselamatan. Konsekuensi logisnya, tidak ada lagi prinsip "extra ecclesiam nulla salus" yang selama ini dipegang teguh oleh Gereja Katolik, karena menurut konsili di gereja dan komunitas Kristen non-Katolik ternyata juga ada sarana keselamatan.
Kalau mereka termasuk sebagai bagian dari Gereja Kristus, dapat menyalurkan hidup rahnat, dan dapat menjadi sarana keselamatan, maka tidak ada lagi alasan untuk menyebut mereka sebagai bidat dan skismatik. Dengan demikian tidak ada alasan juga bagi mereka untuk kembali ke dalam Gereja Katolik.
Pertanyaannya, jika tidak kembali ke dalam Gereja Katolik bagaimana persatuan Kristen bisa diwujudkan?
Dalam paradigma "ecumenism of dialog" persatuan Kristen memang bukan berarti kembali ke dalam Gereja Katolik, tetapi membangun semangat persatuan di dalam berbagai perbedaan (yang tetap dihargai keberadaannya) dengan menciptakan berbagai kesepakatan alias kompromi. Singkatnya, membangun persatuan ala "Bhinneka Tunggal Ika," yaitu meskipun berbeda-beda doktrin namun tetap satu Gereja Kristus. Tentu saja ini logika yang absurd karena tidak mungkin di dalam Gereja Kristus terdaoat doktrin yang berbeda atau bahkan bertentangan. Tapi itulah logika sesat yang sedang dibangun oleh konsili.
Selanjutnya kita akan lihat beberapa contoh kesepakatan yang dibuat demi ekumenisme, diantaranya:
Berbagai kesepakatan bersama dengan Gereja-gereja Ortodoks Timur yang dimulai tahun 1965 dan masih terus berlangsung sampai sekarang, Pernyataan Balamand dengan Gereja Ortodoks tahun 1993 yang menolak proselitisme dan menekankan persatuan melalui dialog, Deklarasi Bersama Tentang Doktrin Pembenaran tahun 1999 dengan Federasi Lutheran Dunia, dan lain-lain.
Jadi sangat jelas bahwa gagasan persatuan Kristen dengan kembali ke dalam Gereja Katolik itu sudah ditinggalkan sama sekali. Sejak konsili, persatuan Kristen itu dicapai dengan membangun kesepakatan-kesepakatan alias kompromi dengan semangat untuk menyetujui atau setidaknya menghargai segala perbedaan yang ada. Maka tidak perlu heran jika Paus Fransiskus pernah mengatakan bahwa proselitisme itu nonsense, sekarang kita paham pernyataan itu memang sejalan dengan semangat ekumenisme Konsili Vatikan II. Boleh saja para pengacara konsili mengatakan bahwa ekumenisme yang didasarkan pada kompromi itu ekumenisme palsu, tapi faktanya itulah ekumenisme yang dipilih oleh Gereja Katolik setelah Konsili Vatikan II.
Jadi sudah jelas bahwa penolakan untuk menyebut bidat dan skismatik kepada Protestan dan Ortodoks bukan sekedar perubahan bahasa pastoral, tapi bagian dari perubahan doktrin eklesiologi Gereja Katolik setelah konsili demi agenda ekumenisme.
Bahkan untuk menegaskan Protestan juga memiliki saluran hidup rahmat yang menyelamatkan dan mereka bukan bidat, Gereja Katolik mengintegrasikan teologi perjamuan kudus yang berasal dari ibadat Protestan sebagai teologi yang mendasari liturgi Misa Novus Ordo. Kalau orang Katolik sekarang mengikuti Misa Novus Ordo dengan imam yang menghadap umat, itu adalah bukti paling nyata adanya teologi perjamuan yang diambil dari ibadat Protestan. Itu sebabnya channel Crusader Network menyebut Misa Novus Ordo sebagai misa blasteran.
Selanjutnya, tidak lama setelah konsili berakhir Gereja Katolik juga memasukkan gerakan karismatik yang berasal dari Protestan. Gereja Katolik membiarkan gerakan ini tumbuh serta berkembang subur di berbagai keuskupan. Itu adalah akibat dari pernyataan konsili yang mengatakan unsur-unsur kegiatan rohani di Protestan juga dapat menyalurkan hidup rahmat, dan mereka bukan bidat.
Jadi bisa dibayangkan betapa munafiknya orang-orang Katolik yang menyebut Protestan sebagai bidat tapi masih mengikuti Misa blasteran Novus Ordo setiap minggu dan membiarkan gerakan karismatik Katolik tumbuh bebas di keuskupan mereka.
Kalau mau konsisten menyebut Protestan sebagai bidat, maka buanglah Konsili Vatikan II ke tempat sampah, jangan ikut Misa blasteran Novus Ordo, dan tolak gerakan karismatik Katolik.
Terima kasih atas perhatian anda...
Viva Christo Rey!
0 Komentar