Siapa Yang Meremukkan Kepala Ular (Kej. 3:15)


 

Transkrip video:

Salve...

Kalau ada yang bertanya, mengapa terus membahas video Dr. Deky Ngadas yang menyerang iman Katolik? Jawabannya sederhana: tanggapan tersebut bagus untuk katekese bagi kita sendiri dan sekaligus menegaskan bahwa iman Katolik itu 100% benar tanpa salah.

Kali ini kita akan membahas lagi cuplikan videonya yang membahas penolakan atas dogma Immaculata Conception, Bunda Maria Dikandung Tanpa Noda. Kita fokuskan pada bagian dimana dia menyatakan bahwa dogma tersebut telah ditetapkan dengan menggunakan referensi kutipan terjemahan Kitab Kejadian yang salah.

Berikut cuplikan videonya...

[video]

Intinya Dr. Deky Ngadas mengatakan bahwa dalam menetapkan dogma Immaculata Conception, Paus Pius IX telah menggunakan referensi yang salah, yaitu Kitab Kejadian berdasarkan terjemahan Vulgata dari St. Hieronimus. Dalam Kej.3:15 terjemahan Vulgata dikatakan bahwa yang meremukkan kepala ular adalah perempuan, padahal seharusnya keturunan perempuan.

Benarkah St. Hieronimus telah salah menterjemahkan Kitab Kejadian?

St. Hieronimus ditugaskan oleh Paus St. Damasus I untuk menterjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Latin. Dia tidak hanya menggunakan Septuaginta, Kitab Suci berbahasa Yunani sebagai rujukan, tetapi juga menyelidiki langsung naskah asli Ibrani di Yerusalem.

Pada Kitab Kejadian 3:15, St. Hieronimus melihat ketidaksesuaian konteks dalam terjemahan Septuaginta dimana dikatakan:

"Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; dia (laki-laki) akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya." (Kej.3:15).

Mengapa permusuhan yang ditetapkan Tuhan adalah antara perempuan dan ular tapi yang meremukkan kepala ular adalah keturunan perempuan? Ini ketidaksesuaian konteks yang janggal.

St. Hieronimus lalu membandingkan teks Septuaginta dengan naskah Ibrani kuno yang dipelajarinya langsung di Yerusalem. Dia mendapatkan bahwa teks Ibrani kuno ternyata tidak menetapkan bentuk gender yang spesifik. Dengan alasan ini St. Hieronimus memilih menggunakan kata 'ipsa,' yaitu bahasa latin untuk 'dia' dengan gender perempuan.

St. Hieronimus tidak bertindak sendiri. Tercatat Philo Judaeus, seorang filsuf Yahudi di abad pertama, Josephus Flavius, sejarawan romawi abad pertama, dan Moses Maimonides, filsuf Yahudi abad 12, juga menggunakan gender perempuan untuk teks tersebut. Jadi terjemahan St. Hieronimus yang menyatakan perempuan meremukkan kepala ular dapat dipertanggungjawabkan.

Tapi muncul keberatan, bagaimana dengan teks selanjutnya yang mengatakan "...engkau akan meremukkan tumitnya"? Bukankah itu merujuk pada penyaliban yang dialami oleh Yesus Kristus? Sayangnya, terjemahan itu juga akan menjadi masalah karena bertentangan langsung dengan teks Injil Yohanes yang mengatakan, "Tidak ada tulang-Nya yang akan dipatahkan." (Yoh.19:36).

Selain masalah bahasa, terjemahan teks tersebut sebagai perempuan yang meremukkan kepala ular juga punya dasar teologis yang sangat kuat.

Dosa pertama kali masuk karena ular menipu perempuan. Maka untuk membalikkan keadaan dengan sempurna, Tuhan menetapkan perempuanlah yang akan berseteru dengan ular dan meremukkan kepalanya. Jika yang meremukkan kepala ular adalah keturunannya, yaitu Yesus Kristus yang adalah Tuhan, maka itu akan menjadi sebuah kekalahan yang terhormat bagi iblis karena dia dikalahkan oleh Tuhan sendiri. Tapi jika yang mengalahkannya adalah perempuan, yang hanyalah ciptaan dengan kodrat lebih rendah dari dirinya, maka hal itu akan menjadi kekalahan memalukan yang menghancurkan kesombongan iblis karena dia harus kalah oleh perempuan, ciptaan yang dahulu berhasil ditipunya. 

Ini pola yang sama dengan terusirnya iblis dari surga oleh St. Mikael Malaikat Agung. Dengan mudah sesungguhnya Tuhan dapat langsung mengusir iblis dari surga ketika mereka memberontak. Tapi Tuhan menggunakan Malaikat Agung St. Mikael, seorang malaikat dengan peringkat yang rendah, untuk memimpin para malaikat surga berperang melawan Lucifer dan malaikat-melaikat pemberontak lainnya.

Dengan demikian memang sudah rencana Tuhan bahwa yang berseteru melawan ular dan meremukkan kepalanya adalah perempuan.

Terjemahan Vulgata ini juga berdampak besar pada peran Bunda Maria dalam Gereja. Terbukti devosi terhadap Bunda Maria di Gereja Katolik jauh lebih berkembang ketimbang di gereja-gereja Timur yang menggunakan teks Septuaginta sebagai rujukan. Kesadaran bahwa Bunda Maria telah ditetapkan Tuhan sebagai Hawa yang baru untuk mengalahkan iblis membuat perannya menjadi begitu penting dalam peperangan spiritual dan perjuangan menghadapi semua musuh-musuh Gereja. 

Kisah Yoshua dan orang-orang Israel yang mengusung Tabut Perjanjian untuk mengelilingi Kota Yerikho dan meruntuhkan tembok kota menjadi tipologi yang sempurna dari peran Bunda Maria dalam peperangan rohani yang dihadapi Gereja. Dengan tipologi tersebut maka bersama Bunda Maria yang tidak lain adalah Tabut Perjanjian yang baru, Gereja Katolik berjuang mengalahkan musuh-musuhnya. 

Doa Rosario yang diajarkan Bunda Maria kepada St. Dominikus sebagai senjata rohani untuk mengalahkan bidat albigensian adalah pembuktian dari peran Bunda Maria dalam mengalahkan musuh-musuh Gereja. Demikian juga kemenangan ajaib dalam Perang Laut Lepanto tahun 1571 yang diyakini berkat pertolongan Bunda Maria, menjadi pembuktian sejarah dari peran penting Bunda Maria. Dapat kita katakan bahwa peran Bunda Maria dalam mendampingi Gereja untuk berperang melawan semua musuh-musuhnya adalah khas Gereja Katolik dan tidak ditemukan dalam tradisi gereja lain. Itu semua buah dari teks Vulgata yang menyatakan perempuan akan meremukkan kepala ular! Tanpa teks Vulgata itu, mungkin Gereja Katolik tidak pernah punya Doa Rosario yang begitu berharga. Cukup dari buah-buahnya kita bisa tahu bahwa teks Vulgata itu benar!

Selain itu ada pembenaran yang bersifat supranatural...

Pada masa penaklukan benua Amerika di abad 16, orang-orang Aztec pada waktu itu menganut kultus sesat yang melibatkan kurban manusia kepada dewa-dewa mereka, yang salah satunya digambarkan dengan sosok ular. Kepada Juan Diego, seorang petani sederhana suku Aztec yang baru saja menjadi Kristen, pada tahun 1531 Bunda Maria menampakkan diri dan meninggalkan mujizat penting berupa lukisan dirinya pada tilma milik Juan Diego. Pada penampakan itu Bunda Maria memperkenalkan dirinya sebagai "Coatlaxopeuh" yang dalam bahasa setempat berarti "dia yang menginjak-injak ular." Ini adalah peristiwa supranatural penampakan Bunda Maria yang otentik dan kemudian kita kenal sebagai penampakan Bunda Maria dari Guadalupe.

Pengakuan Bunda Maria dari Guadalupe ini menjadi konfirmasi supranatural bahwa terjemahan Vulgata yang resmi digunakan oleh Gereja Katolik adalah benar. Jika Bunda Maria sendiri sudah mengatakannya, maka argumen apapun yang bertentangan dengan itu menjadi tidak berarti sama sekali. Dengan demikian tidak ada alasan mengatakan bahwa Paus Pius IX telah menggunakan terjemahan Kitab Suci yang keliru ketika menetapkan dogma Immaculata Conception.

Lalu bagaimana dengan terjemahan Kitab Suci latin Nova Vulgata yang menurut Dr. Deky Ngadas diperintahkan oleh Paus St. Pius X dan mengoreksi Kej.3:15 dalam terjemahan Vulgata yang lama? Disini Dr. Deky Ngadas salah! Kitab Suci terjemahan Nova Vulgata baru diterbitkan setelah Konsili Vatikan II pada tahun 1979 oleh Paus Yohanes Paulus II.

Memang benar, dalam Nova Vulgata teks Kej.3:15 dikoreksi sehingga menjadi sama dengan terjemahan yang digunakan Protestan. Tapi semua orang Katolik tradisional tahu bahwa sejak Konsili Vatikan II telah terjadi berbagai pembaharuan dan perubahan yang menyesatkan demi agenda ekumenisme. Salah satunya adalah perubahan teks Kitab Suci ini.

Dan sebagaimana orang-orang Katolik tradisional menolak Konsili Vatikan II, kita juga menolak Kitab Suci terjemahan latin Nova Vulgata. Dengan demikian kita masih tetap menggunakan teks latin Vulgata yang mengatakan perempuan, yaitu Bunda Maria sebagai Hawa kedua, yang akan meremukkan kepala ular!

Terima kasih atas perhatian anda...

Viva Christo Rey!

Posting Komentar

0 Komentar