Haruskah Kita Menerima Komuni Di Tangan Demi "New Normal"?


PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar secara bertahap sudah mulai dihentikan di berbagai daerah. Itu artinya beberapa keuskupan di Indonesia akan kembali mengadakan misa secara publik. Ini tentu patut kita syukuri.

Namun sayang sekali berita baik itu harus ternoda dengan kenyataan mengerikan dimana ada Uskup yang dengan terang-terangan melarang penerimaan komuni langsung ke mulut. Tentu alasannya adalah untuk memenuhi ketentuan dalam protokol new-normal.

Ini sebuah keputusan gegabah yang tidak dipertimbangkan masak-masak. Tidak ada bukti kuat yang menunjukkan penerimaan komuni melalui lidah berpotensi besar menularkan virus. Keputusan ersebut hanya berdasarkan asumsi dan prasangka...

Baru-baru ini lifesitenews memberitakan 21 orang dokter Austria telah meminta Konferensi Uskup Austria agar mencabut pelarangan komuni langsung melalui mulut. Dalam suratnya, mereka mengutip pernyataan Prof. Filippo Maria Boscia, Presiden Asosiasi Dokter Katolik di Italia yang mengatakan, "Sebagai dokter, saya yakin bahwa Komuni di tangan kurang higienis dan karena itu kurang aman daripada Komuni di mulut ... Yang pasti tangan adalah bagian tubuh yang paling terpapar patogen.”

Selain itu para imam Katolik tradisional yang selalu memberikan komuni langsung ke mulut dalam Misa Latin Tridentin sangat paham bahwa resiko tangan imam bersentuhan dengan lidah penerima komuni adalah sangat kecil. Kalaupun itu terjadi, imam dapat menghentikan sementara pemberian komuni dan mencuci tangannya atau menggunakan cairan sanitizer seperlunya sebelum melanjutkan kembali pemberian komuni.

Dari dua fakta tersebut saja kita tahu pelarangan pemberian komuni langsung di mulut dengan alasan mencegah penularan virus adalah non-sense! Itu adalah sikap paranoid yang berlebihan. Dengan demikian alasan higienis dan penularan virus tidak bisa dijadikan dasar bagi pelarangan penerimaan komuni langsung di mulut!

Pada tahun 2009 pernah terjadi kasus yang hampir sama, yaitu wabah virus H1N1 flu-babi. Saat itu seorang awam di Inggris, dimana keuskupannya melarang penerimaan komuni di mulut dengan alasan mencegah penyebaran wabah, mengirim surat ke Vatikan untuk mempertanyakan masalah ini. Kongregasi Ibadah Ilahi Dan Disiplin Sakramen (CDW) menjawab demikian:

"..setiap umat beriman berhak untuk menerima komuni langsung di lidah, dan tidak diijinkankan untuk menolak setiap pengikut Kristus yang tidak terhalang Hukum Gereja untuk menerima Ekaristi Suci"

Mengingat kondisi wabah virus korona pada prinsipnya kurang lebih juga sama dengan wabah virus H1N1 flu-babi pada tahun 2009, hari inipun sikap Vatikan tentang masalah ini seharusnya juga tetap sama. Singkatnya, umat berhak menerima komuni langsung di mulut sambil berlutut dan Uskup atau imam tidak dibenarkan untuk melarangnya, meski sedang ada dalam kondisi wabah penyakit.

Ada dua alasan penting mengapa umat Katolik sebaiknya menerima komuni langsung di mulut sambil berlutut dan tidak melalui tangan:

1. Sebagai ungkapan rasa hormat pada Ekaristi sebagai Tubuh Kristus.
2. Mencegah terjadinya sakrilegi, baik karena hosti harus disentuh oleh tangan yang tak terkonsekrasi, karena remah-remah yang tidak sengaja terbuang dan terinjak-injak, juga dari kemungkinan pencurian hosti untuk tujuan-tujuan ritual sesat.

Untuk alasan yang pertama, yaitu tentang rasa hormat pada Ekaristi Kudus, Kardinal Robert Sarah, Prefek CDW mengatakan demikian dalam sebuah bukunya,

"Mengapa memaksakan penerimaan komuni di tangan sambil berdiri? Mengapa bersikap kurang hormat terhadap kehadiran Tuhan? Semoga tidak ada imam yang memaksakan otoritasnya dalam masalah ini dengan melarang atau memperlakukan dengan buruk mereka yang menginginkan penerimaan komuni dengan berlutut dan langsung di lidah. Marilah kita datang pada Tuhan sebagai kanak-kanak dan dengan rendah hati menerima Tubuh Kristus dengan berlutut dan langsung di lidah. Orang-orang kudus sudah memberi contoh. Mereka adalah teladan yang disediakan Tuhan bagi kita."

Selain itu St. Thomas Aquinas juga menyinggung soal tidak menerima komuni dengan tangan sebagai ungkapan rasa hormat pada Sakramen Maha Kudus,

"..demi rasa hormat terhadap Sakramen, tidak ada yang boleh menyentuhnya selain yang sudah dikonsekrasi, maka tempat hosti dan piala harus dikonsekrasi, juga tangan imam harus dikonsekrasi, untuk menyentuhnya. Dengan demikian tidak dibenarkan siapapun untuk menyentuhnya, terkecuali jika diperlukan, misalnya jika hosti jatuh ke tanah, atau situasi darurat lain."

Kita juga bisa membandingkan kedua cara penerimaan Sakramen Ekaristi ini dengan type-nya di Perjanjian Lama, tepatnya di Kitab Kejadian.

Sikap Habel yang memberikan persembahan terbaik dari hewan ternaknya, yaitu anak sulung dari kambing-dombanya kepada Tuhan adalah 'type' atau perlambang dari sikap orang yang menerima Sakramen Maha Kudus dengan cara terbaik untuk menghormatinya, yaitu dengan berlutut dan menerimanya langsung di lidah.

Sedangkan sikap Kain yang memberikan persembahan seadanya dari hasil buminya adalah 'type' dari sikap mereka yang menerima Sakramen Maha Kudus dengan cara seadanya, yaitu dengan melalui tangan dan sambil berdiri.

Kita tahu Tuhan menerima persembahan Habel tapi mengabaikan persembahan Kain.

Demikian juga sekarang kepada kita tersedia dua cara untuk menerima Sakramen Ekaristi. Cara yang terbaik, yaitu dengan langsung di lidah sambil berlutut, dan cara yang kurang baik, yaitu menerimanya dengan tangan sambil berdiri. Tentu kita tahu mana yang berkenan bagi Tuhan dan mana yang tidak. Lalu mengapa kita tidak mau memilih cara yang terbaik dan berkenan kepada-Nya? Layakkah Ekaristi, pemberian terbaik dari Tuhan kepada manusia diterima dengan cara seadanya sedangkan ada cara yang lebih baik untuk menerimanya? Tentu tidak...

Untuk alasan yang kedua, yaitu mencegah terjadinya sakrilegi kita juga bisa belajar dari Perjanjian Lama. Dalam Kitab Samuel dan juga Tawarikh tercatat Uza yang mencoba menyelamatkan Tabut Perjanjian karena lembu-lembu yang membawanya tergelincir, langsung terbunuh karena murka Tuhan. Meskipun bermaksud baik, tapi karena Uza tidak berhak menyentuh Tabut Perjanjian, Uza harus menerima hukuman dari Tuhan akibat dia menyentuh Tabut Perjanjian (2Sam.6:3-8, 1Taw.13:7-11).

Sakramen Ekaristi jauh lebih kudus dari Tabut Perjanjian. Maka tangan-tangan yang tidak terkonsekrasi tentu tidak layak menyentuhnya. Karenanya setiap kali komuni kita terima melalui tangan, meskipun dengan maksud baik untuk mematuhi protokol kesehatan, kita telah melakukan sakrilegi seperti Uza.

Selain itu penerimaan komuni melalui tangan berpotensi besar menimbukan remah-remah hosti yang tidak sengaja jatuh ke telapak tangan dan tercecer di lantai lalu terinjak-injak. Meskipun itu hanyalah remah-remah hosti yang kecil, itu tetaplah Tubuh Kristus! Dan dengan membuat remah-remah hosti tanpa sengaja tercecer dan terinjak-injak jelas itu suatu sakrilegi yang sangat mengerikan. Adalah lebih baik mencegah sakrilegi ketimbang mencegah penularan virus!

Berikut adalah klip video dari sebuah eksperimen menggunakan hosti yang belum terkonsekrasi..

[video]

Dari eksperimen tadi kita bisa melihat betapa mudahnya remah-remah hosti terjatuh di telapak tangan kita dan selanjutnya tanpa sengaja bisa tercecer ke lantai gereja dan terinjak-injak. Karena kita sungguh percaya hosti yang sudah terkonsekrasi adalah Tubuh Kristus, tentu kita tidak ingin hal itu terjadi akibat kelalaian kita...

Dengan kedua alasan ini maka sebaiknya kita tidak lagi menerima Sakramen Ekaristi melalui tangan, tapi menerimanya langsung melalui lidah dengan cara berlutut.

Dari sejarah Gereja sampai dengan abad ke 4 memang ada praktek penerimaan Sakramen Ekaristi melalui tangan. Setidaknya itu dicatat oleh St. Cyril dari Yerusalem yang hidup di abad 4. Namun dalam perjalanan sejarahnya Gereja terus memperbaiki cara-cara penerimaan Komuni dengan tujuan untu mengekspresikan rasa hormat yang lebih baik terhadap Sakramen Ekaristi dan juga mencegah terjadinya sakrilegi-sakrilegi.

Menurut Uskup Athanasius Schneider dalam bukunya "Dominus Est", setidaknya di abad 6 tradisi untuk menerima komuni langsung melalui mulut sambil berlutut sudah diterapkan secara luas di Gereja. Bahkan Sinode Kordoba tahun 839 mengecam sekte "Casiani" karena menolak untuk menerima Komuni Suci melalui mulut. Sikap ini kemudian diperkuat lagi pada Sinode Rouen pada tahun 878 yang memberikan sanksi kepada mereka, uskup ataupun imam, yang menerimakan Komuni di tangan.

Perkembangan ini menunjukkan penerimaan Ekaristi langsung di mulut dengan berlutut adalah hasil dari upaya Gereja dalam bimbingan Roh Kudus untuk mengekspresikan cara terbaik dalam menerima Tubuh Kristus dengan sikap rendah hati dan penuh hormat. Itulah cara terbaik yang sejauh ini dapat dilakukan manusia untuk menerima anugerah terbesar yang diberikan Tuhan.

Pada tahun 1500-an penerimaan Komuni di tangan kembali diperkenalkan oleh Martin Bucer, seorang reformis Protestan dengan tujuan untuk menghilangkan kepercayaan pada Ekaristi sebagai Tubuh Kristus yang masih melekat pada orang-orang Protestan di masa itu. Ini terjadi karena kaum Protestan memang berusaha keras membentuk jati-dirinya dengan memisahkan diri dari teologi Katolik, termasuk dari dogma transubstantiasi. 

Tapi di Gereja Katolik cara penerimaan Ekaristi yang merusak rasa hormat dan penuh sakrilegi itu tentu saja tidak digunakan. Dalam katekismus yang diterbitkan oleh Paus St. Pius X pada tahun 1908 misalnya, tertulis hanya satu cara umat Katolik menerima Ekaristi, yaitu menerimanya langsung di mulut dengan berlutut.

Celakanya, di Gereja Katolik komuni melalui tangan kembali diperkenalkan sejak Konsili Vatikan II sebagai pembangkangan terhadap tradisi Gereja. Pembangkangan ini dimulai di Belanda, lalu menyebar ke Jerman dan Perancis sebelum akhirnya sekarang menyebar ke seluruh dunia. Perubahan berhasil dilakukan karena sejalan dengan semangat aggiornamento untuk memperbaharui Gereja sesuai perkembangan jaman, atau tepatnya sesuai keinginan dunia!. 

Hasilnya, cara ini sukses membuat umat Katolik terkikis imannya dan sedikit demi sedikit mulai meragukan dogma transubstantiasi. Tahun lalu dalam sebuah jajak pendapat yang diadakan oleh Pew Research Center, diketahui bahwa 70% umat Katolik di Amerika Serikat tidak lagi percaya bahwa Hosti yang sudah dikonsekrasi adalah Tubuh Kristus. Belum ada data bagaimana keadaannya di tempat lain, tapi kemungkinan keadaannya juga parah. Harus diingat, kehidupan Gereja Katolik di Amerika Serikat bisa dikatakan lebih baik dari rata-rata negara barat lainnya. Inilah buah-buah buruk yang ikut dipengaruhi oleh perubahan sikap umat dalam menerima Ekaristi.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa penerimaan Komuni langsung di mulut sambil berlutut adalah karya Roh Kudus dalam Gereja yang dimaksudkan sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam terhadap Sakramen Ekaristi dan untuk menjaga iman Katolik. Sebaliknya penerimaan Komuni di tangan sambil berdiri adalah hasil dari karya roh pembangkang atau pemberontak yang bertujuan untuk mengikis rasa hormat terhadap Sakramen Ekaristi dan merusak iman Katolik.

Sekarang pilihan ada di tangan kita, apakah kita ingin membangun iman Katolik seperti yang diteladankan orang-orang kudus atau ingin merusaknya seperti yang dilakukan kaum pemberontak?

Jika kita ingin menghormati Tuhan secara layak dalam menerima Ekaristi, tidak ingin terjatuh dalam dosa sakrilegi, dan ingin menjaga iman Katolik tetap seperti semula, satu-satunya pilihan bagi kita adalah menerima Ekaristi langsung di mulut sambil berlutut.

Tapi dengan adanya surat edaran beberapa Uskup yang melarang penerimaan Ekaristi melalui lidah dengan alasan mencegah penyebaran virus tentu ini menjadi masalah. Apa yang harus kita lakukan dalam situasi ini?

Dalam situasi demikian kita bisa menunjukkan pada imam atau uskup, surat dari Vatikan tahun 2009 yang menyatakan umat memiliki hak untuk menerima komuni melalui mulut sambil berlutut, dan sebaliknya imam atau uskup tidak boleh melarang umat untuk menerima komuni dengan cara demikian. Anda bisa mendownload surat tersebut, linknya ada di keterangan video.

Apabila imam atau uskup masih tetap melarang dengan berbagai alasan, maka cara yang terbaik adalah cukup menerima Komuni secara spiritual seperti yang terjadi saat PSBB. Selanjutnya, persatukan penderitaan kita yang hanya dapat menerima Komuni secara spiritual tersebut dengan penderitaan Kristus di kayu salib. Itu cara berbaik....

Kita tidak bisa dipaksa untuk tidak menghormati Tuhan secara layak dan melakukan sakrilegi. Dan yang jelas, kita tidak ingin terlibat dalam agenda untuk menghancurkan Gereja Kristus.



Viva Christo Rey....

Posting Komentar

0 Komentar