Transkrip:
Salam damai dan sejahtera...
Tampaknya kontroversi polemik soal penyaliban masih terus berlangsung dan suhunya semakin meningkat. Perbedaannya bahkan makin terpolarisasi karena kedua pihak masing-masing mendapatkan dukungan. Pandangan bahwa penyaliban adalah rencana Bapa di surga mendapatkan dukungan dari banyak pendeta Protestan, sementara yang meyakini penyaliban sebagai rencana iblis didukung oleh kebanyakan apologet Kristen dan juga seorang episkop Gereja Ortodoks. Dukungan-dukungan ini bisa dipastikan membuat kedua kubu akan semakin teguh untuk bertahan pada pendapat masing-masing. Dan sekarang kontroversi konyol ini sudah sampai pada level tantangan untuk melakukan perdebatan secara langsung dan terbuka.
Inilah tragedi klasik kegaduhan polemik Protestan yang sedang dipertontonkan di depan mata semua orang...
Di era medsos sekarang, kontroversi polemik soal penyaliban ini dengan cepat meluas dan menimbulkan kebingungan pada banyak orang Protestan. Akibatnya, tantangan debat tersebut kini berubah menjadi buah simalakama. Jika tantangan debat ini diabaikan maka publik akan menilai protestantisme tidak punya keberanian dan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan doktrin penting yang muncul diantara mereka. Tetapi kalau debat ini dilaksanakan, kita semua sudah tahu hasilnya akan negatif. Tanpa adanya otoritas tunggal, maka perdebatan ini hanya akan berakhir ketika satu pihak mulai merasa lelah dan bosan sehingga keduanya sepakat untuk tidak sepakat. Dengan demikian, dilaksanakan ataupun tidak, tantangan debat ini akan membuat protestantisme semakin babak belur dan telanjang di hadapan banyak orang.
Orang akan melihat bagaimana perbedaan pendapat subyektif dalam Protestan tak pernah bisa diselesaikan dengan suatu kesepakatan yang obyektif. Sebaliknya, berbagai polemik doktrin Protestan umumnya berakhir dengan perpecahan baru. Dampaknya, sekarang semua orang bisa mengetahui secara langsung bagaimana Protestan terus membelah diri tanpa akhir hingga menjadi puluhan ribu gereja dengan doktrin yang berbeda-beda.
Dan lucunya, ada pendeta Protestan yang justru menganggap adanya polemik perbedaan doktrin Protestan ini sebagai suatu kemewahan yang patut dihargai. Dia membandingkannya dengan Amerika Serikat yang menjadi negara besar dan kuat karena memberikan ruang bagi kebebasan berpendapat. Tapi ada satu hal yang dilupakan pak pendeta ini: sistem demokrasi di Amerika Serikat punya mekanisme yang jelas untuk menyelesaikan perbedaan pendapat itu, misalnya melalui voting. Sebaliknya, protestantisme sama sekali tidak memiliki mekanisme yang baku dan efektif untuk menyelesaikan perbedaan pendapat secara tuntas. Akibatnya, selama berabad-abad perbedaan doktrin yang muncul di kalangan Protestan hampir selalu berakhir dengan perpecahan demi perpecahan. Dengan demikian adanya polemik dan perbedaan pendapat di Protestan bukanlah sebuah kemewahan sebagaimana diasumsikan oleh pak pendeta, melainkan kutukan yang terpaksa mereka terima sebagai bagian dari DNA Protestan yang tidak dapat hilang.
Selain itu salah besar kalau menganggap di Gereja Katolik perbedaan pendapat itu tidak diberi tempat. Tanpa adanya ruang bagi perbedaan pendapat, maka teologi dalam Gereja Katolik akan statis dan tidak pernah berkembang. Nyatanya, di Gereja Katolik justru muncul tokoh-tokoh besar yang memperkaya iman Katolik seperti St. Agustinus, St. Anselmus, St. Thomas Aquinas, St. Katarina dari Siena, St. Teresa dari Avila, St. Yohanes dari Salib, dan lain-lain. Itu semua hanya mungkin jika perbedaan pendapat yang bersifat memperdalam dan memperkaya pemahaman terhadap ajaran iman para Rasul diberi ruang yang cukup di dalam Gereja Katolik.
Kembali ke soal polemik penyaliban...
Dari polemik ini sekarang semua orang tahu bahwa Protestan memandang penyaliban Yesus Kristus yang begitu berharga itu hanya sebagai bahan diskusi dan debat yang ujung-ujungnya akan menghasilkan perpecahan demi perpecahan. Inilah kedangkalan nyata dari protestantisme yang mengubah karya agung Tuhan menjadi sekedar teori, narasi, atau bahkan plot dari momen sejarah masa lalu!
Bandingkan hal ini dengan Gereja Katolik yang menjadikan penyaliban Yesus Kristus sebagai sumber rahmat surgawi yang hidup dan memurnikan serta menguduskan umat Tuhan melalui liturgi, sakramen, dan berbagai devosi. Disinilah letak ironisnya, jika bagi Gereja Katolik Salib Kristus adalah berkat yang mendatangkan rahmat surgawi, sebaliknya bagi Protestan salib Kristus adalah kutuk yang menghasilkan perpecahan.
Pertanyaannya, bagaimana Protestan bisa terjatuh pada bencana rohani yang sekonyol ini? Bagaimana mungkin momen karya keselamatan terbesar dari Tuhan justru menjadi bencana bagi Protestan?
Kuncinya terletak pada penolakan Protestan terhadap Bunda Maria!
Lho kok bisa?
Dari teks Injil kita mengetahui bahwa Yohanes adalah murid yang paling dikasihi Tuhan Yesus. Tidak ada penjelasan yang spesifik dan eksplisit mengapa Tuhan Yesus mengasihi Yohanes. Tapi, secara implisit Injil sebenarnya sudah mengungkapkan alasannya.
Ketika semua murid-murid lain meninggalkan Yesus Kristus yang sedang menjalani penderitaan di kayu salib, Yohanes tetap setia menemani bersama Bunda Maria. Sementara di Taman Getsemani pada malam sebelumnya, Yohanes sebenarnya termasuk yang ikut melarikan diri bersama para Rasul lainnya. Saat mengalami momen ketakutan itulah, Yohanes memilih untuk datang pada Bunda Maria. Dan bersama Bunda Maria, Yohanes kembali memiliki keberanian untuk menemani Tuhan Yesus menjalani penderitaan salib.
Jadi kebersamaan Yohanes dan Bunda Maria di bawah salib Kristus menunjukkan adanya kedekatan relasi di antara keduanya, yang tidak ada pada murid-murid Yesus lainnya. Adanya kedekatan relasi dengan Bunda Maria itulah yang menyebabkan Tuhan Yesus lebih mengasihi Yohanes dibanding para Rasul lainnya. Padahal Yohanes sendiri mencatat dalam injilnya bahwa Petrus adalah orang yang paling mengasihi Yesus di antara para Rasul lainnya (Yoh.21:15).
Demikian juga karena kedekatan relasinya dengan Bunda Maria, maka diantara semua rasul-rasul yang tengah mengalami ketakutan setelah penangkapan Yesus di Taman Getsemani, hanya Yohanes yang dipilih dan dikuatkan oleh Bunda Maria untuk mendampingi penderitaan Yesus Kristus di kayu salib. Selanjutnya, berkat keikutsertaan Yohanes menemani penderitaan Tuhan Yesus di kayu salib itu, maka Yohanes menjadi satu-satunya Rasul yang tidak perlu menjalani pemurnian melalui kemartiran. Yohanes sudah menjalani kemartiran tanpa darah saat ia mendampingi Yesus Kristus menjalani penderitaan sampai wafat di kayu salib. Dari sini kita bisa melihat bagaimana relasi dengan Bunda Maria menjadi kunci penting untuk membuka rahmat surgawi berlimpah yang berasal dari Salib Kristus.
Kedekatan relasi dengan Bunda Maria ini juga yang menjadi kunci penting bagi Gereja Katolik dalam memahami misteri penyaliban Yesus Kristus sebagai puncak karya keselamatan, sebagai ungkapan kasih terbesar dari Tuhan kepada manusia, dan sekaligus menjadikannya sebagai sumber rahmat surgawi yang berlimpah.
Tapi hal yang sebaliknya justru terjadi pada Protestan...
Meski awalnya para reformator menghormati Bunda Maria seperti semua orang Katolik pada umumnya, doktrin-doktrin sesat Protestan membuat relasi ini perlahan tapi pasti memudar dan berbalik menjadi penolakan. Orang-orang Protestan sekarang pada umumnya menolak semua dogma Maria seperti gelar Maria sebagai Bunda Allah, menolak status keperawanan abadi Maria, menolak Bunda Maria dilahirkan tanpa noda, dan juga menolak diangkatnya Bunda Maria ke surga.
Masalahnya, penolakan itu juga berarti penghinaan terhadap Bunda Maria. Dari sini, sedikit banyak sudah bisa kita bayangkan bagaimana tindakan Tuhan Yesus terhadap mereka yang telah menghina Bunda-Nya. Setidaknya, Tuhan Yesus akan menutup banyak berkat yang seharusnya tersedia bagi mereka yang percaya kepada-Nya.
Itulah sebabnya Protestan bisa dipastikan akan selalu gagal memahami penyaliban Yesus Kristus dan tidak akan memperoleh berkat surgawi yang bersumber darinya selama mereka terus menolak Bunda Maria. Soal pemahaman terhadap salib, mungkin Protestan masih akan membantah dengan berbagai argumen. Tapi tentang ketidakmampuan mereka menjadikan Salib Kristus sebagai sumber rahmat surgawi, mereka sama sekali tidak punya dalih dan argumen apapun! Dalam hal ini mereka benar-benar NOL BESAR!
Protestan itu seperti sekumpulan orang yang sibuk berdebat tentang makanan enak yang dihidangkan di atas meja. Mereka berdebat tentang dari bahan apa makanan itu dibuat, siapa yang membuatnya, bagaimana membuatnya, dan berapa harganya sambil terus menahan lapar. Sebaliknya, orang Katolik tidak begitu tertarik untuk berdebat tentang makanan tersebut, mereka datang dan duduk di sekeliling meja makan lalu menikmati makanan yang tersedia sampai puas. Itulah perbedaan sikap antara orang Protestan dan Katolik terhadap Salib Kristus.
Pertanyaan untuk orang Protestan, apakah anda ingin seumur hidup tidak pernah menikmati anugerah surgawi yang tersedia melalui Salib Kristus? Jika anda menggunakan akal sehat tentu tidak akan mau. Maka tinggalkan iman Protestan yang sia-sia itu, dan kembalilah ke dalam Gereja Katolik yang penuh dengan berkat Salib Kristus.
Terima kasih atas perhatian anda...
Viva Christo Rey!








Kindle Unlimited Membership Plans
0 Komentar