Transkrip:
Salam damai dan sejahtera...
Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan dengan berita Perpustakaan Kepausan Vatikan memberikan sebuah ruangan khusus bagi muslim untuk melakukan sholat, lengkap dengan karpet sembahyang. Menurut Fr. Giacomo Cardinali, Wakil Prefek Perpustakaan Kepausan, ruangan itu diberikan atas permintaan banyak akademisi muslim yang berkunjung ke perpustakaan tersebut.
Bagi sebagian orang Katolik yang akalnya kurang sehat akibat terkontaminasi racun liberalisme, mereka menganggap tindakan ini sebagai langkah maju dari Gereja Katolik untuk memberi teladan semangat toleransi dan kebebasan beragama. Bagi mereka, muslim dan Katolik menyembah Tuhan yang sama. Jadi apa salahnya memberi kaum muslim ruang untuk berjumpa dengan Tuhan menurut cara mereka?
Tapi bagi sebagian orang Katolik yang konservatif, ini sangat mengejutkan dan menimbulkan perasaan seperti dikhianati. Bagi mereka, tindakan seperti ini tidak sepantasnya dilakukan.
Supaya kita tidak terjebak menyikapi masalah ini secara emosional, mari kita bedah bagaimana seharusnya kita melihat persoalan ini dari sudut pandang iman Katolik.
Harus kita akui dengan jujur bahwa setelah Konsili Vatikan II pandangan Gereja Katolik terhadap agama-agama lain memang berubah. Gereja Katolik pasca-konsili bersikap inklusif dengan melihat ada kebenaran dan kekudusan dalam agama-agama lain. Bahkan Lumen Gentium 16 tegas mengatakan rencana keselamatan juga menjangkau umat Islam dan mereka menyembah Tuhan yang sama dengan orang-orang Katolik. Dengan kata lain Gereja Katolik pasca-konsili mengakui ada keselamatan dalam agama-agama lain.
Semangat inklusif KV2 ini semakin ditegaskan melalui berbagai aplikasinya seperti kegiatan doa bersama semua agama yang digagas Paus Yohanes Paulus II di Asisi tahun 1986, Paus Yohanes Paulus II yang mencium Quran pada tahun 1999, dokumen 'Human Fraternity' tahun 2019 yang menyatakan Tuhan menghendaki keberagaman agama, dan Paus Fransiskus yang menyatakan semua agama adalah jalan menuju kepada Tuhan.
Jika pandangan Gereja Katolik pasca-konsili sudah se-liberal itu terhadap agama-agama lain, maka pemberian sebuah ruangan khusus untuk berdoa bagi muslim hanyalah konsekuensi logis dari sikap Gereja Katolik sendiri. Apalagi baru-baru ini Paus Leo XIV menyatakan bahwa kebebasan beragama adalah hak fundamental yang berakar pada martabat manusia dan Gereja Katolik selalu membela kebebasan beragama bagi setiap orang. Dengan demikian sama sekali tidak ada alasan prinsipil bagi Gereja Katolik untuk menolak permintaan sekelompok intelektual muslim yang membutuhkan ruangan khusus untuk melaksanakan sholat.
Supaya kita mengerti betapa absurdnya sikap itu, mari kita pahami apa makna doa yang diucapkan muslim saat mereka sholat...
Dalam sholat ada kutipan dari surat Al Fatihah yang dalam bahasa Indonesia berbunyi demikian:
"Tunjukkanlah Kami Jalan Yang Lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang telah Kau berikan nikmat, BUKAN JALANNYA ORANG-ORANG YANG KAU MURKAI Dan BUKAN PULA JALANNYA ORANG-ORANG YANG SESAT..."
Orang-orang yang dimurkai adalah sebutan Islam bagi kaum Yahudi sedangkan orang-orang yang
sesat adalah sebutan Islam bagi kaum Kristen. Dengan demikian melalui ayat Al Fatihah tadi, Muslim
dalam shalatnya secara implisit selalu merendahkan iman Kristen. Jadi, dengan memberikan ruangan untuk sholat di Perpustakaan Kepausan Vatikan, sebenarnya Gereja Katolik pasca-konsili telah memberi ruang bagi muslim untuk menghina dan merendahkan iman Kristen di pusat Gereja Katolik. Lihatlah betapa absurdnya sikap itu...
Dan satu hal lagi...
Hampir bisa dipastikan tempat itu akan selamanya menjadi ruangan sholat bagi muslim. Jika Gereja Katolik berani membatalkan keputusan itu, sangat besar kemungkinannya tindakan tersebut akan dipandang sebagai provokasi atau penghinaan terhadap Islam yang akan mengundang kerusuhan atau perusakan terhadap gereja-gereja Katolik di berbagai tempat.
Gereja Katolik sebelum KV2 punya sikap yang berbeda!
Gereja Katolik sebelum KV2 menentang gagasan kebebasan beragama sebagaimana yang dipahami setelah KV2. Paus Pius IX dalam Quanta Cura dan 'Syllabus of errors' menolak gagasan kebebasan beragama secara sipil, yang berarti semua orang bebas untuk memeluk agama apapun yang diyakininya.
Bagi Gereja Katolik, kebebasan beragama tidak berarti bebas memeluk agama apa saja karena Tuhan tidak pernah memberi hak pada manusia untuk memeluk agama yang sesat. Memberi kebebasan setiap orang untuk memeluk agama apapun yang diyakininya sama saja dengan mengatakan semua agama benar. Jelas itu pandangan yang salah!
Sebaliknya, kebebasan beragama menurut Gereja Katolik berarti setiap orang punya kebebasan untuk mengimani dan menjalankan agama yang benar, yaitu agama Katolik. Selain itu kebebasan beragama juga berarti setiap orang bebas dari paksaan untuk memeluk agama tertentu, termasuk kebebasan dari paksaan untuk memeluk iman Katolik. Itulah pengertian kebebasan beragama yang diajarkan Gereja Katolik sebelum KV2. Dengan pandangan seperti itu, Gereja Katolik tetap konsisten dengan sikapnya sebagai satu-satunya agama yang benar tapi sekaligus juga tidak memaksa orang memeluk iman Katolik di luar keinginan mereka sendiri.
Jika Gereja Katolik masih setia pada ajaran sebelumnya, kita bisa yakin ruangan sholat tidak akan pernah diberikan di dalam Perpustakaan Kepausan Vatikan. Bukan itu saja, bahkan kaum muslim tidak akan punya keberanian untuk memintanya. Mereka menaruh rasa hormat yang tinggi pada Gereja Katolik yang punya prinsip tegas sebagai satu-satunya agama yang benar. Sebaliknya, Gereja Katolik pasca-konsili yang inklusif sudah tidak lagi memiliki martabat dan harga diri sehingga penganut agama lain berani meminta tempat khusus untuk menghina dan merendahkan iman Kristen.
Gereja Katolik sebelum konsili bagaikan seorang putri bangsawan. Tidak ada orang yang berani berbicara dan bertindak tanpa rasa hormat kepadanya. Tapi sebaliknya Gereja Katolik pasca-konsili bagaikan perempuan pelacur. Semua orang dapat meraba-raba tubuhnya dan memperlakukan dirinya sesuka hati tanpa rasa hormat. Perempuan pelacur adalah gambaran simbolik yang digunakan Kitab Wahyu untuk merujuk pada Gereja yang sudah tidak setia dan menjual dirinya. Seperti itulah Gereja Katolik pasca-konsili yang mengabaikan ajaran iman para Rasul demi mengikuti nilai-nilai duniawi.
Apa yang dapat kita simpulkan?
Pemberian ruangan khusus untuk sholat bagi muslim di Perpustakaan Kepausan Vatikan adalah cermin hilangnya harga diri dan martabat Gereja Katolik pasca-konsili. Bahkan di pusat Gereja Katolik sekalipun, mereka sudah tidak punya keberanian untuk menolak permintaan penganut agama lain agar diberi tempat untuk menghina iman Katolik. Dan itu semua adalah buah dari semangat pembaharuan KV2 yang telah menjual diri dengan menukar ajaran iman para Rasul dengan nilai-nilai pluralisme agar sejalan dengan semangat dunia.
Jangan biarkan kejadian seperti ini terulang lagi. Mari kita pulihkan martabat Gereka Katolik dengan membuang KV2 dan kembali kepada ajaran Gereja Katolik yang asli sesuai ajaran iman para Rasul.
Terima kasih atas perhatian anda...
Viva Christo Rey!
0 Komentar