Transkrip video:
Salam damai dan sejahtera bagi kita semua..
Seperti yang sudah kami sampaikan sebelumnya, Konsili Vatikan II menandai sebuah era baru di dalam Gereja Katolik yang melalui semangat pembaharuannya telah menimbulkan banyak buah buruk dan mengarahkan Gereja Katolik pada kemurtadan besar seperti yang dinubuatkan oleh Rasul Paulus dalam 2Tes.2:3.
Tapi sebenarnya gagasan sesat seperti liberalisme, modernisme, dan indiferentisme yang berupaya mengubah ajaran Gereja Katolik sudah muncul jauh sebelum Konsili Vatikan II. Bedanya, sebelum Konsili Vatikan II semua gagasan sesat untuk mengubah ajaran Gereja selalu ditentang keras oleh para Paus.
Misalnya, Paus Gregorius XVI pada tahun 1832 mengeluarkan ensiklik "Mirari Vos" yang menentang gagasan indiferentisme, individualisme, dan liberalisme. Lalu Paus Pius IX pada tahun 1864 mengeluarkan "Syllabus of Errors" yang mengutuk berbagai gagasan sesat yang bermunculan di kalangan teolog dan sebagian uskup. Selanjutnya Paus St. Pius X pada tahun 1907 mengeluarkan dokumen "Pascendi Dominici Gregis" yang sangat anti-modernisme. Dan terakhir Paus Pius XII pada tahun 1950 dengan ensikliknya "Humani Generis" berusaha mengingatkan Gereja tentang bahaya modernisme dan perlunya kesetiaan pada ajaran iman para Rasul.
Tapi setelah Konsili Vatikan II segalanya menjadi terbalik. Dengan didukung teks sesat Dei Verbum 8 yang mengajarkan evolusi Sabda Tuhan dan tradisi iman para Rasul, para Paus konsili secara tidak langsung, tersirat, dan bertahap, mempromosikan gagasan-gagasan sesat yang terus berupaya mengubah ajaran Gereja Katolik dengan alasan klasik 'aggiornamento'.
Beruntung Tuhan sudah menjanjikan Gereja-Nya tak akan terkalahkan oleh gerbang alam maut. Di abad 4 ketika Gereja Katolik nyaris dikuasai ajaran bidat arianisme, muncul St. Athanasius yang berjuang keras mempertahankan ajaran iman para Rasul. Demikian juga ketika melalui Konsili Vatikan II ajaran bidat modernisme yang bertujuan untuk membangun ekumenisme nyaris menguasai Gereja Katolik, muncul seorang St. Athanasius baru yaitu Mgr. Marcel Lefebvre yang nyaris berjuang seorang diri melawan para Paus, Kardinal serta Uskup pendukung konsili.
Dengan kesetiaan yang luar biasa pada Gereja Katolik, Mgr. Lefebvre menolak segala pembaharuan konsili dan dengan setia meneruskan ajaran iman para Rasul melalui imam-imam tradisional SSPX yang didirikannya. Salah satu tanda kesetiaan itu ditunjukkan melalui keteguhannya untuk terus mengadakan Misa Latin Tradisional bersama dengan pengajaran iman Katolik tradisional.
Mgr. Marcel Lefebvre meninggal dunia sebagai pejuang ortodoksi ajaran Gereja Katolik pada tanggal 25 Maret 1991, tepat pada hari raya Bunda Maria menerima kabar gembira. Kini, semangatnya untuk menjaga kesetiaan pada iman para Rasul diteruskan oleh para Uskup dan imam-imam SSPX yang tersebar di seluruh dunia.
Jika Konsili Vatikan II dan para pendukungnya adalah tanda yang kelihatan dari pemenuhan nubuat terjadinya kemurtadan besar dalam 2Tes.2:3, maka Mgr. Marcel Lefebvre dan SSPX yang didirikannya adalah tanda yang kelihatan dari pemenuhan nubuat adanya sisa umat dalam Rm.11:5.
Salah satu dampak dari perjuangan Mgr. Marcel Lefebvre adalah dikeluarkannya Motu Proprio Summorum Pontificum pada tahun 2007 oleh Paus Benediktus XVI yang kembali menghidupkan Misa Latin Tradisional di Gereja Katolik. Meski tidak banyak didukung para Uskup, termasuk Uskup-uskup Indonesia yang kebanyakan modernis, Misa Latin Tradisional mulai dikenal oleh orang-orang Katolik terutama kaum muda. Dengan melihat berbagai buah buruk dari Misa blasteran Novus Ordo, banyak orang Katolik yang ingin setia pada imannya memilih untuk mengikuti Misa Latin Tradisional yang lebih sakral dan membangun semangat kekudusan.
Semangat kembalinya sebagian orang-orang Katolik pada Misa Latin Tradisional tentu sangat menggembirakan dan layak didukung. Tapi harus diingat bahwa faktor pembeda utama dari sisa umat bukanlah liturgi Misa, tapi ajaran iman. Ini perlu ditekankan karena ada komunitas Katolik yang konsisten menyelenggarakan Misa Latin Tradisional tapi di saat yang sama mereka tetap menerima pembaharuan Konsili Vatikan II, misalnya FSSP dan ICRSS.
FSSP atau Persaudaraan Imam Santo Petrus didirikan tahun 1988 oleh Paus Yohanes Paulus II untuk menampung ex-anggota SSPX yang keluar setelah Mgr. Lefebvre mentahbiskan uskup-uskup SSPX. Mereka yang tergabung dalam FSSP tetap dapat mengadakan Misa Latin Tradisional dan mengajarkan ajaran iman tradisional dengan syarat mereka menerima pembaruan Konsili Vatikan II. Sementara itu ICRSS atau Institut Kristus Raja Imam Agung didirikan pada tahun 1990 dengan semangat yang kurang lebih sama dengan FSSP, yaitu meneruskan penggunaan Misa Latin Tradisional dan ajaran iman tradisional tetapi menerima pembaharuan Konsili Vatikan II. Jelas FSSP dan ICRSS tidak sejalan dengan semangat Mgr. Marcel Lefebvre yang setia penuh pada iman tradisional dengan menolak pembaharuan Konsili Vatikan II.
Dalam asumsi FSSP dan ICRSS, pembaharuan Konsili Vatikan II dapat ditafsirkan sejalan dengan ajaran iman tradisional. Tentu saja ini ilusi yang tidak masuk akal! Bagaimana mungkin ajaran iman para Rasul yang tetap dan tidak boleh berubah dapat diperdamaikan dengan Konsili Vatikan II, yang melalui Dei Verbum 8 justru mengajarkan evolusi Sabda Tuhan dan tradisi para Rasul? Itu jelas kontradiktif!
Karena mereka tidak mungkin menolak Konsili Vatikan II, FSSP atau ICRSS pada akhirnya akan meninggalkan ajaran iman para Rasul yang tradisional dan ikut bersama semua pendukung Konsili Vatikan II berjalan menuju kemurtadan besar. Selain itu seperti yang dikatakan Paus St. Felix III, "Tidak menentang kesesatan adalah sama dengan mendukungnya," maka dengan menolak menyatakan kekeliruan Konsili Vatikan II, sesungguhnya mereka telah ikut mendukung Konsili Vatikan II dan semua kesesatannya.
Dengan alasan ini maka komunitas tradisional pendukung konsili seperti FSSP atau ICRSS tidak dapat kita golongkan sebagai bagian dari sisa umat. Sekali lagi harus diingat, ciri pembeda utama dari sisa umat adalah kesetiaan penuh pada iman para Rasul, bukan sekedar liturgi Misa Latin Tradisional.
Jadi jika kita ingin menjadi bagian dari sisa umat, pilihan kita jelas yaitu mengikuti teladan Mgr. Marcel Lefebvre yang setia tanpa kompromi pada iman tradisional para Rasul, menolak pembaharuan Konsili Vatikan II, tapi sekaligus tetap mengakui otoritas Paus dan seluruh hirarki Gereja Katolik.
Ada dua cara untuk menjadi sisa umat:
Pertama, bergabung dengan komunitas SSPX yang didirikan oleh Mgr. Marcel Lefebvre jika itu memungkinkan. Dengan bergabung, kita bisa mengikuti Misa Latin Tradisional secara rutin dan juga dapat menerima sakramen-sakramen Gereja lainnya dalam ritus dan rumusan yang benar tanpa tercemar pembaharuan Konsili Vatikan II.
Sayangnya di Indonesia komunitas SSPX saat ini baru ada di Jakarta. Dengan demikian masih banyak orang-orang Katolik di kota-kota lain di Indonesia yang rindu untuk menjadi sisa umat namun tidak dapat bergabung dengan komunitas SSPX.
Cara yang kedua adalah dengan menjadi sisa umat yang independen. Pada tahun 2019, data jumlah imam-imam SSPX adalah sekitar 700 orang. Tentu ini tidak memadai untuk melayani kebutuhan sisa umat di seluruh dunia. Tapi tidak adanya kesempatan untuk bergabung dengan komunitas SSPX bukan halangan untuk menjadi sisa umat. Kita bisa menjadi sisa umat dimana saja dengan menerapkan prinsip setia pada iman para Rasul, menolak Konsili Vatikan II dan semua pembaharuannya, serta tetap mengakui otoritas Paus serta hirarki Gereja Katolik yang sah.
Disini kita bisa menerapkan teladan Daniel yang hidup di pembuangan tanah Babel sebagai tipologi sisa umat.
Daniel tetap taat dan mengabdi pada raja-raja Babel yang pagan, demikian juga kita tetap mengakui otoritas Paus dan hirarki Gereja Katolik yang mendukung konsili. Sama seperti Daniel yang menolak perintah raja Babel untuk mencemarkan imannya dengan penyembahan berhala, demikian juga kita menolak perintah siapapun untuk mentaati ajaran Konsili Vatikan II yang menyesatkan, karena kita harus lebih taat kepada Tuhan dari pada kepada manusia.
Daniel menolak untuk makan santapan dari hidangan raja karena ia tidak ingin menajiskan dirinya dengan makanan yang dilarang dalam iman Yahudi. Ia memilih untuk makan sayur/kacang-kacangan dan minum air. Begitu juga ketimbang kita mengikuti Misa blasteran Novus Ordo yang tercemar, lebih baik kita menggantinya dengan menguduskan diri melalui devosi-devosi Katolik seperti Doa Rosario, Doa Mazmur Yesus, dan lain-lain. Jadikan penderitaan kita yang tidak dapat menerima Tubuh Kristus melalui Misa Kudus sebagai proses malam gelap yang harus kita lalui dengan rela demi pemurnian kita sebagai sisa umat-Nya.
Atau kita juga dapat mengikuti tipologi Daniel yang tidak dapat berdoa di Bait Allah di Yerusalem karena ia sedang berada di tanah Babel. Inilah yang dilakukan Daniel untuk memenuhi kewajibannya:
Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya. (Dan.6:11).
Demikian juga kita yang tidak dapat mengikuti Misa Latin Tradisional secara langsung bisa membuka laptop atau komputer desktop, lalu mengikuti Misa Latin Tradisional secara online dan menerima Sakramen Ekaristi secara spiritual.
Mengingat keterbatasan komunitas SSPX di dunia saat ini, tampaknya menjadi sisa umat secara independen akan menjadi pilihan terbaik bagi banyak orang yang rindu untuk menjadi sisa umat namun tidak memiliki akses untuk bergabung dengan komunitas SSPX. Tentunya akan sangat baik jika sisa umat independen ini juga memiliki sebuah wadah yang dapat mempersatukan mereka. Melalui wadah ini mereka dapat berbagi pengalaman, saling menguatkan, mendapatkan katekese, dan juga tentunya mengadakan kegiatan doa bersama secara rutin. Semoga saja wadah semacam itu dapat diwujudkan.
Terima kasih atas perhatian anda.
Viva Christo Rey!
0 Komentar