Transkrip video:
Salam damai dan sejahtera bagi kita semua...
Dalam Injil Tuhan Yesus berkata, "Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku." (Mat.10:38). Dalam pemahaman iman Kristen, salib selalu berkaitan dengan penderitaan. Maka dengan perkataan itu Tuhan kita mengajarkan para murid-Nya, yaitu kita semua yang mengaku Kristen, untuk siap dan bersedia menerima berbagai penderitaan seperti Tuhan kita sendiri telah menjalani penderitaan salib-Nya dengan rela.
Jika Tuhan kita menjalani penderitaan salib demi penebusan dosa dan keselamatan kita, demi apakah kita memikul salib atau menjalani penderitaan?
Rasul Paulus dalam suratnya mengatakan demikian:
Kita bahkan bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. (Rm:5:3-4).
Demikian juga dalam buku "Latihan Rohani," St. Ignatius dari Loyola mengatakan, "Jika Tuhan memberimu banyak penderitaan, itu adalah pertanda bahwa Ia memiliki rencana besar bagimu dan pasti menginginkan engkau menjadi orang kudus-Nya."
Maka dapat kita simpulkan bahwa penderitaan dalam perspektif iman Kristen berguna bagi pemurnian jiwa. Bagaikan emas yang dimurnikan dalam api, begitulah jiwa manusia juga harus diuji dalam penderitaan agar menjadi murni dan layak bagi Tuhan. Dan tentu saja sama seperti penderitaan yang dijalani Tuhan Yesus demi penebusan dosa kita, penderitaan yang kita alami juga memiliki dimensi silih, baik bagi dosa-dosa kita sendiri atau orang-orang yang kita kasihi.
Penderitaan sebagai sarana pemurnian dan silih ini tidak hanya berlaku bagi jiwa manusia saja, tapi juga bagi Gereja Katolik sebagai Mempelai Sang Kristus! Gereja Katolik juga harus menjalani "sengsara salib" agar dimurnikan dan menjadi layak bagi Kristus! Itu sebabnya sejak semula Tuhan membiarkan Gereja-Nya mengalami berbagai upaya penindasan, penganiayaan, serangan, dan perpecahan yang mengancam eksistensinya. Sekarang kita dapat melihat itu semua adalah bagian dari penderitaan yang memurnikan Gereja agar menjadi sarana keselamatan yang semakin kuat dan berbuah lebat.
Tapi sebagaimana Tuhan Yesus harus menjalani sengsara Kalvari sebagai puncak penderitaan-Nya, demikian juga Gereja sebagai Sang Mempelai juga akan mengalami puncak penderitaan yang sama. Dalam konteks inilah kita melihat kemurtadan besar sebelum kedatangan Yesus Kristus yang kedua, seperti yang sudah dinubuatkan Rasul Paulus dalam 2Tes.2:3, adalah penderitaan terbesar bagi Gereja Katolik yang sekaligus menjadi sarana puncak pemurnian bagi Sang Mempelai Kristus. Itulah masa Kalvari bagi Gereja Kristus!
Tuhan kita Yesus Kristus mengalami penderitaan Kalvari setelah pengkhianatan Yudas Iskariot, salah seorang dari dua belas Rasul pilihan-Nya. Begitu juga Gereja Katolik sebagai Mempelai Kristus akan mengalami nasib yang sama. Gereja Katolik juga akan memasuki masa Kalvarinya setelah mengalami pengkhianatan dari dalam.
Lalu dimanakah Gereja Katolik mengalami pengkhianatan yang membawanya pada masa Kalvari Gereja?
Jika kemurtadan besar itu belum terjadi, mungkin kita hanya bisa berasumsi seperti apakah pengkhianatan yang akan terjadi pada Gereja. Tapi sekarang kita sudah melihat berbagai penyimpangan dan kerusakan pada Gereja Katolik selama setengah abad terakhir, yang celakanya dilakukan oleh para hirarki dari pucuk pimpinan tertinggi.
Misalnya adanya Misa blasteran Novus Ordo menggantikan Misa Latin Tradisional yang apostolik, doa bersama semua agama di Asisi tahun 1986, Paus mencium Quran yang jelas-jelas menyangkal ketuhanan Yesus, skandal dokumen "Human Fraternity" dan Rumah Keluarga Abraham di Abu Dhabi yang menyangkal Gereja Katolik sebagai satu-satunya sarana keselamatan, skandal Pachamama yang mencemarkan Basilika St. Petrus dengan penghormatan terhadap berhala, dan banyak lagi. Itu semua penyimpangan mencolok yang melibatkan Paus sebagai pimpinan tertinggi hirarki Gereja Katolik dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam seluruh sejarah Gereja!
Cukup dengan akal sehat kita bisa menyimpulkan itu semua adalah bagian dari proses kemurtadan besar yang sedang berlangsung secara terstruktur, sistematis, dan masif. Sebelum Konsili Vatikan II, itu semua mustahil dapat terjadi di Gereja Katolik. Tapi sekarang berbagai penyimpangan itu bahkan terjadi dengan persetujuan dan keterlibatan langsung dari Paus. Dan celakanya, semua penyimpangan itu masih akan terus berlangsung dan semakin buruk.
Mengapa itu bisa terjadi?
Satu-satunya jawaban logis adalah: telah terjadi perubahan pada doktrin dan ajaran Gereja Katolik setelah Konsili Vatikan II sehingga secara bertahap Gereja Katolik meninggalkan ajaran iman para Rasul dan menjadi Gereja Katolik "baru" yang memiliki ajaran iman berbeda.
Penyebabnya bisa dilacak pada salah satu dokumen Konsili Vatikan II, yaitu Dei Verbum 8:
Tradisi yang berasal dari para Rasul itu berkat bantuan Roh Kudus BERKEMBANG dalam Gereja.... Sebab dalam perkembangan sejarah, Gereja tiada hentinya MENUJU KEPENUHAN KEBENARAN ILAHI, sampai TERPENUHILAH PADANYA SABDA ALLAH.
Dalam teks tersebut dikatakan secara tersirat bahwa ajaran iman para Rasul masih terus berkembang atau berubah hingga pada waktunya nanti, entah kapan itu akan terjadi, Gereja akan sampai pada kepenuhan Sabda Tuhan. Dengan kata lain, Dei Verbum 8 mengajarkan adanya evolusi Sabda Tuhan yang terus-menerus dalam Gereja Katolik!
Pandangan ini 100% sesat dan bertentangan dengan semua yang telah diajarkan Gereja Katolik tentang Sabda Tuhan, yang sudah utuh diterima para Rasul dan tidak dapat berubah sampai kapanpun! Sempurnanya Sabda Tuhan yang diterima para Rasul juga ditegaskan dalam Konsili Vatikan I, yang mengatakan Roh Kudus sekalipun tidak menginspirasikan ajaran baru, tetapi menjelaskan dan memperdalam pengertian terhadap ajaran yang sudah diterima para Rasul. Bahkan dalam suratnya, Rasul Paulus telah mengutuk siapapun yang berani mengajarkan ajaran yang berbeda dari apa yang sudah diterima para Rasul (Gal.1:8-9).
Dei Verbum 8 yang secara implisit mengajarkan adanya perubahan atau evolusi terhadap ajaran para Rasul, tidak lain adalah implementasi dari bidat modernisme yang sudah dikutuk oleh Paus St. Pius X dalam "Pascendi Dominici Gregis." Dengan demikian sekarang kita tahu bahwa melalui semangat pembaharuan Konsili Vatikan II, para Paus beserta para Kardinal dan Uskup pendukung konsili telah mengkhianati Gereja Katolik dan menjerumuskannya dalam kemurtadan besar.
Selain menubuatkan terjadinya kemurtadan besar, Rasul Paulus juga menubuatkan adanya sisa umat yang setia (Rm.11:5). Kedua nubuat tersebut adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Jika kemurtadan besar adalah upaya iblis untuk menghancurkan Gereja, maka terbentuknya sisa umat adalah upaya Tuhan untuk menyelamatkan Gereja-Nya dari kemurtadan besar yang terjadi. Dalam sisa umat yang setia itulah janji Tuhan bahwa Gereja-Nya tak akan terkalahkan sampai akhir jaman akan tergenapi sempurna.
Dengan memahami ini maka pilihan kita sangat jelas:
Menolak Konsili Vatikan II yang mengarahkan Gereja Katolik pada kemurtadan besar, dan memilih untuk menjadi sisa umat yang tetap setia pada ajaran iman para Rasul.
Pilihan itu bahkan ditegaskan Tuhan Yesus dalam Kitab Wahyu:
"Pergilah kamu, hai umat-Ku, pergilah dari padanya supaya kamu jangan mengambil bagian dalam dosa-dosanya, dan supaya kamu jangan turut ditimpa malapetaka-malapetakanya. Sebab dosa-dosanya telah bertimbun-timbun sampai ke langit, dan Allah telah mengingat segala kejahatannya." (Why.18:4-5).
Konsili Vatikan II telah membuat Gereja Katolik Sang Mempelai Kristus berubah menjadi Babel besar, sang perempuan pelacur yang mencemarkan dirinya dengan keinginan-keinginan dunia yang sesat. Tuhan ingin kita keluar dari Babel besar dan menjadi sisa umat-Nya yang setia sebagaimana yang sudah dinubuatkan Rasul Paulus.
Menjadi sisa umat adalah pilihan yang benar tapi sekaligus juga berat. Dalam konteks kemurtadan besar yang sedang terjadi, memilih menjadi sisa umat juga berarti berkomitmen untuk ikut menjalani masa Kalvari Gereja yang merupakan ujian terberat bagi Gereja Katolik sebelum kedatangan Yesus Kristus yang kedua.
Lalu bagaimana kita harus bersikap sebagai sisa umat dalam menjalani masa Kalvari Gereja ini?
Dalam iman kita percaya Tuhan pasti sudah memberikan petunjuk bagi kita untuk melalui masa Kalvari Gereja yang berat. Dalam hal ini, sengsara Kalvari yang dialami oleh Tuhan kita dapat menjadi tipologi bagi sengsara Kalvari yang dialami oleh Gereja!
Dalam sengsara Kalvari-Nya, Tuhan kita mengalami penderitaan terberat ketika Dia ditinggalkan Bapa-Nya dan berseru, "Eli, Eli, lama sabakhtani?" yang artinya "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Sejak kekekalan sebelum segala sesuatu diciptakan, Tuhan kita Yesus Kristus sebagai Putra Allah selalu ada dalam persatuan kasih sempurna dengan Sang Bapa. Tapi dalam sengsara salib-Nya, Bapa meninggalkan Yesus Kristus untuk menjalani penderitaan itu sendirian.
Di masa lalu, Allah meminta Abraham untuk mengurbankan Ishak anak tunggalnya. Tapi pengurbanan itu tidak jadi terlaksana karena permintaan itu hanyalah ujian bagi iman Abraham dan sekaligus tipologi atau bayangan dari kurban penebusan yang sesungguhnya, yaitu kurban salib Kristus yang terjadi di Kalvari dua ribu tahun lalu.
Dalam kurban salib itulah, bagaikan Abraham yang mengurbankan Ishak anak tunggalnya, Allah Bapa sungguh-sungguh mengurbankan Putra-Nya yang tunggal dengan cara meninggalkan Tuhan kita Yesus Kristus untuk berjuang sendiri menjalani seluruh penderitaan salib-Nya. Tetapi meskipun harus menjalani penderitaan maha berat karena ditinggalkan Bapa-Nya, Tuhan kita tetap setia menjalani penderitaan salib itu sampai akhir dan berhasil mempersembahkan kurban terbesar demi penebusan manusia kepada Bapa-Nya.
Ini menjadi kunci bagaimana kita sebagai sisa umat harus menjalani masa Kalvari Gereja Kristus!
St. Yohanes dari Salib, seorang doktor teologi mistik Gereja, melihat penderitaan Tuhan kita yang ditinggalkan Bapa-Nya sebagai tipologi dari proses "malam gelap" yang akan dilalui oleh setiap jiwa dalam upaya untuk meraih kekudusan. Dalam keadaan yang disebutnya sebagai "malam gelap bagi jiwa" seseorang akan kehilangan segala penghiburan rohani, tidak merasakan sama sekali kehadiran Tuhan dan bahkan seolah Tuhan telah meninggalkannya. Dalam situasi malam gelap itulah iman, harapan, dan kasih seseorang pada Tuhan mendapatkan ujian terberatnya: apakah dia masih tetap percaya, berharap, dan mengasihi Tuhan ketika dia tidak lagi bisa merasakan kehadiran dan kasih Tuhan?
St. Antonius yang Agung mengalami situasi malam gelap ini ketika dia harus berjuang sendirian melawan iblis yang menyerangnya secara fisik dan spiritual sepanjang malam, namun dia berhasil tetap bertahan sampai akhirnya Tuhan Yesus datang menolong.
Bahkan Mgr. Marcel Lefebvre, pelopor dan sekaligus Bapa sisa umat Gereja Kristus, juga mengalami situasi malam gelapnya ketika ia dan keempat orang Uskup yang ditahbiskannya di-ekskomunikasi oleh Paus Yohanes Paulus II. Namun keadaan itu tidak membuat Mgr. Marcel Lefebvre patah semangat dan meninggalkan Gereja Katolik. Sampai akhir hidupnya, Mgr. Marcel Lefebvre tetap mengakui Paus Yohanes Paulus II sebagai pemimpin Gereja Katolik dan ia meninggal dunia sebagai seorang Katolik sejati yang setia memperjuangkan iman para Rasul dan tradisi apostolik.
Sebagai sisa umat, di masa Kalvari Gereja kita juga akan mengalami situasi malam gelap sebagai bagian dari penderitaan yang harus kita jalani. Kita akan merasakan ditinggalkan Gereja, bahkan mungkin juga Tuhan, sebagai bagian dari ujian kesetiaan kita pada iman para Rasul sebagaimana yang dikehendaki Tuhan.
Banyak orang Katolik yang sudah menyadari berbagai kerusakan di Gereja Katolik akibat Konsili Vatikan II. Mereka ingin menolak segala pembaharuan konsili dan menjadi sisa umat Tuhan yang setia. Tapi yang menjadi pertanyaan, bagaimana mereka dapat menerima sakramen-sakramen Gereja yang benar sementara gereja-gereja Katolik di sekeliling mereka semuanya adalah pendukung Konsili Vatikan II yang hanya melaksanakan misa blasteran Novus Ordo? Dapatkah mereka setia pada iman para Rasul tapi tetap mengikuti misa blasteran Novus Ordo demi sakramen-sakramennya?
Sebagian orang Katolik, termasuk mereka yang ingin setia pada iman para Rasul, berpandangan bahwa tidak masalah menerima Sakramen Ekaristi di misa blasteran Novus Ordo sejauh itu valid, karena yang penting adalah Sakramen Ekaristinya yang adalah Tubuh Kristus. Ini adalah logika keliru khas kaum bidat yang sering berkata, "Tidak penting gereja apa yang kita ikuti, yang penting percaya Yesus maka kita akan selamat!" Mengacu pada doktrin di luar Gereja tidak ada keselamatan, kita tahu ada perbedaan besar antara percaya pada Tuhan Yesus di Gereja Katolik dan di gereja-gereja bidat!
Hal yang sama juga berlaku bagi sakramen-sakramen Gereja!
Sakramen-sakramen Novus Ordo adalah sakramen-sakramen Gereja Katolik yang sudah disesuaikan dengan semangat pembaharuan sesat Konsili Vatikan II. Dengan kata lain, semua sakramen-sakramen Novus Ordo, meskipun mungkin tetap valid, sudah tercemar dan tidak layak diterima oleh mereka yang setia pada iman para Rasul. Sama seperti semua sakramen-sakramen di Gereja Ortodoks yang tetap valid tapi kita sebagai Katolik tidak dapat menerimanya karena sakramen-sakramen tersebut bukanlah sakramen Gereja Kristus! Demikian juga sakramen-sakramen Novus Ordo juga tidak layak kita terima karena sakramen-sakramen tersebut bukan lagi sakramen Gereja Kristus!
Teladanilah Daniel dan kawan-kawannya yang menolak makanan dari hidangan raja karena mereka tidak ingin menajiskan diri dengan makanan yang tercemar dan diharamkan oleh hukum Yahudi. Demi kesetiaan pada iman, mereka memilih makan kacang-kacangan dan air yang terbukti membuat badan mereka lebih kuat ketimbang pemuda-pemuda Yahudi lain yang memakan makanan dari hidangan raja!
Apakah itu berarti orang-orang Katolik yang memilih menjadi sisa umat tapi hidup di lingkungan Novus Ordo tidak bisa lagi menerima sakramen-sakramen Gereja? Jawabannya ya, memang demikian seharusnya! Itulah situasi malam gelap yang harus dijalani oleh sisa umat, dimana kita ditinggalkan oleh Gereja dan tidak dapat menerima sakramen-sakramen demi kesetiaan iman kita. Itu penderitaan dan ujian yang dikehendaki Tuhan dan harus kita jalani sebagai sisa umat-Nya.
Tuhan kita berkata, "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah." (Luk.9:62). Maka marilah kita teguh pada tekad kita untuk menjadi sisa umat dengan tidak menoleh ke belakang hanya demi sakramen-sakramen Novus Ordo yang sudah tercemar. Mari kita ikuti teladan Tuhan kita yang tetap setia menjalani penderitaan salib meski ditinggalkan Bapa-Nya. Mari kita tetap setia menjadi sisa umat-Nya meski untuk itu kita terpaksa tidak dapat menerima sakramen-sakramen Gereja.
St. Paulus dari Thebes yang hidup sejaman dengan St. Antonius Agung, pergi mengasingkan diri ke padang gurun selama 90 tahun demi menghindari penganiayaan dan kemurtadan. Selama 90 tahun itu ia hidup sendiri di padang gurun tanpa pernah sekalipun menerima sakramen-sakramen Gereja. Namun Gereja tetap mengakuinya sebagai orang kudus yang layak dijadikan teladan iman!
Jadi dalam situasi khusus, sesungguhnya kita tetap punya kesempatan meraih kekudusan meski tanpa sakramen-sakramen Gereja. Nah, situasi kemurtadan besar yang terjadi di Gereja Katolik sekarang ini dapat dikategorikan sebagai situasi khusus yang dimaksud. Dengan demikian hambatan yang kita alami dalam menerima sakramen-sakramen Gereja tidak perlu menjadi penghalang bagi kesetiaan kita sebagai sisa umat! Terimalah kondisi itu dengan rela sebagai malam gelap yang harus kita lalui. Itulah bagian dari proses pemurnian iman yang harus kita jalani sebagai sisa umat-Nya.
Tentu kita masih ingat dengan apa yang terjadi pada Dismas, salah seorang penjahat yang disalibkan bersama Tuhan Yesus. Dia seorang penjahat yang di mata hukum layak untuk mendapat hukuman mati. Bahkan pada mulanya dia juga ikut mencela Tuhan Yesus bersama penjahat lainnya. Tapi akhirnya dia sampai pada kesadaran untuk melakukan hal yang benar, dia membela Tuhan Yesus dan percaya penuh kepada-Nya. Kita semua tahu, hari itu juga dia bersama Tuhan masuk ke dalam surga meski dia tidak pernah menerima satu sakramen pun selama hidupnya!
Dengan memilih menjadi sisa umat di masa kemurtadan besar ini, sesungguhnya kita melakukan pembelaan terhadap Tuhan kita Yesus Kristus dan Gereja-Nya melebihi apa yang dilakukan oleh Dismas di kayu salib. Yakinlah bahwa Tuhan Yesus akan mengingat kita, meski kita terpaksa tidak dapat menerima sakramen-sakramen Gereja demi kesetiaan kita pada iman para Rasul.
Terima kasih atas perhatian anda...
Viva Christo Rey!
0 Komentar