Transkrip:
Salam damai dan sejahtera bagi kita semua...
Baru saja saudara-saudara kita keturunan Tionghoa merayakan Imlek, tahun baru mereka. Dan sama seperti yang terjadi setiap tahun, kali ini berbagai paroki atau keuskupan juga ikut merayakan kemeriahan Imlek ini. Tidak hanya di luar gedung gereja, tapi juga di dalam gereja dengan liturgi Misa inkulturatif serba merah. Bahkan di beberapa tempat misa inkulturatif ini dimeriahkan dengan tari-tarian barongsay di depan altar Tuhan, seolah tempat dimana Sakramen Maha Kudus disemayamkan bukan lagi tempat yang kudus dan harus dihormati.
Bagi mereka yang datang ke gereja untuk menikmati kemeriahan perayaan imlek mungkin misa inkulturatif semacam itu menyenangkan. Tapi bagi mereka yang datang ke gereja untuk mengikuti perayaan kurban Misa dan menyembah Tuhan dalam kekudusan-Nya, misa inkulturatif seperti itu sangat mengganggu. Bahkan tidak hanya sekedar mengganggu, tapi juga mengundang kemarahan karena dilanggarnya kekudusan Tuhan di depan altar gereja. Sama seperti kemarahan Tuhan kita di Bait Allah ketika mendapati halaman Bait Allah dijadikan tempat perdagangan dan penukaran uang.
Misa Imlek bukan satu-satunya misa inkulturatif yang menimbulkan batu sandungan bagi banyak orang beriman. Di banyak daerah, misa inkulturatif dengan budaya-budaya lokal juga banyak dilakukan dengan problem yang kurang lebih sama: atas nama inkulturasi, kekudusan liturgi boleh dipinggirkan demi ekspresi budaya!
Itulah salah satu buah-buah buruk dari KV2!
Semangat konsili yang membuka diri bagi masuknya nilai-nilai duniawi atas nama semangat aggiornamento terbukti telah mengubah karakter Gereja Katolik secara mendasar. Gereja yang dulunya kristosentris kini berubah menjadi antroposentris, dari Gereja apostolik yang berpusat pada Kristus atau berpusat pada Tuhan menjadi Gereja konsili yang berpusat pada manusia! Dalam Gereja konsili yang berpusat pada manusia inilah, kita melihat proses inkulturasi yang mengabaikan kekudusan Tuhan dan menjadi batu sandungan bagi banyak orang beriman!
Apakah inkulturasi dalam Gereja itu selalu berbahaya dan harus ditolak?
Sama sekali tidak!
Gereja Katolik dalam sejarahnya juga melibatkan proses inkulturasi. Bahkan Misa Latin Tradisional dan juga misa-misa Katolik tradisional ritus-ritus lainnya, adalah hasil dari proses inkulturasi budaya yang terjadi selama berabad-abad. Pakaian liturgi imam, gedung gereja yang indah, patung-patung dan lukisan yang menghiasi gereja, bahkan berbagai prosesi atau perarakan di hari-hari raya tertentu, itu semua juga tidak lepas dari sentuhan inkulturasi. Jadi Gereja Katolik sama sekali tidak anti inkulturasi.
Tapi ada perbedaan yang mendasar dari proses inkulturasi di dalam Gereja Katolik sebelum konsili dan setelah konsili. Gereja Katolik sebelum KV2 adalah Gereja Katolik yang berpusat pada Tuhan dan menempatkan kekudusan Tuhan sebagai pusat kehidupan Gereja. Dalam konteks itu semua proses inkulturasi dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak melanggar atau menodai kekudusan Tuhan. Inkulturasi juga dilakukan dengan mempertimbangkan apa yang baik di mata Tuhan dan ditujukan demi kemuliaan-Nya. Itu kuncinya!
Dengan demikian semua elemen budaya yang masuk dipastikan selaras dengan semangat kekudusan yang ada di dalam Gereja! Dapat kita simpulkan, ketika kekudusan Tuhan menjadi pusatnya maka inkulturasi itu berbuah indah dan memperkaya Gereja.
Sebaliknya, dalam Gereja konsili pusatnya adalah manusia atau komunitas umat beriman. Dalam konteks itu maka fokus inkulturasi dalam Gereja bukan lagi kekudusan Tuhan tapi partisipasi umat dan ekspresi budayanya. Inkulturasi dilakukan dengan mempertimbangkan apa menjadi keinginan dan kebutuhan umat, bukan apa yang baik di mata Tuhan. Maka tidak perlu heran kalau berbagai ekspresi budaya itu ditampilkan dengan mengabaikan kekudusan Tuhan. Bahkan dalam banyak kasus elemen-elemen religius pagan yang najis ikut masuk dalam proses inkulturasi tersebut tanpa ada penolakan sama sekali. Salah satu contohnya, tari-tarian barongsay yang masuk ke dalam gedung gereja dan beraksi di depan altar. Itu tindakan sakrilegi atau pelanggaran atas kekudusan Tuhan, tapi bahkan uskup atau imam membiarkannya!
Kalau Paus Fransiskus bisa menghormati patung pagan Pachamama di dalam Basilika St. Petrus, tentu para uskup dan imam juga tidak perlu keberatan dengan adanya elemen-elemen religius pagan berbagai budaya lokal ikut memeriahkan liturgi di gereja mereka demi inkulturasi! Begitulah yang terjadi pada Gereja Konsili yang sudah kehilangan kekudusannya! Jadi dapat kita simpulkan ketika bukan lagi kekudusan Tuhan melainkan manusia yang menjadi pusatnya, maka inkulturasi itu akan berbuah pahit dan akan menghancurkan Gereja!
Melihat proses inkulturasi di Gereja yang semakin lama semakin parah, praktis kita tidak dapat berbuat apa-apa. Akan sia-sia kita menegur, memprotes atau bahkan marah terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi. Selama semangat konsili tetap ada di dalam Gereja, maka inkulturasi yang merusak itu akan terus ada dan akan semakin parah.
Solusinya cuma satu: tinggalkan semangat konsili dan kembalilah pada kekatolikan tradisional yang setia pada iman para Rasul serta berpusat pada Tuhan!
Terima kasih atas perhatian anda...
Viva Christo Rey!
0 Komentar