Gereja Konsili Dan Inkulturasi Berbuah Sakrilegi

 


Transkrip:

Salam damai dan sejahtera bagi kita semua...

Beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 15 Februari terjadi skandal yang sangat memalukan di Katedral St. Patrick, New York. Skandal tersebut berupa upacara pemakaman bagi seorang aktivis transgender atheis yang meninggal dunia. Masih untung Misa Requiem tidak jadi dilangsungkan. Tapi bagaimana pun berbagai sakrilegi dan penghinaan terhadap Gereja berupa penampilan, perilaku dan teriakan kata-kata yang tidak pantas sudah terlanjur terjadi pada kegiatan yang diadakan di dalam katedral tersebut.

Pihak katedral sendiri mencoba lepas tangan dengan mengatakan mereka tidak tahu siapa yang menjadi obyek dari upacara tersebut karena pihak penyelenggara tidak memberikan keterangan yang jelas. Ini alasan yang sulit diterima mengingat yang meninggal dunia adalah seorang aktivis transgender terkenal dan fakta itu sebenarnya sudah disampaikan sebelumnya.

Terlepas dari itu semua tentu menjadi pertanyaan besar, bagaimana mungkin skandal yang sangat memalukan itu bisa terjadi?

Sakrilegi yang begitu besar dan penghinaan yang begitu merendahkan terhadap Gereja pada skandal tersebut bukan hal yang muncul secara tiba-tiba. Akal sehat kita mengatakan bahwa hal itu hanyalah konsekuensi logis dari pembiaran terhadap berbagai sakrilegi dan penghinaan yang terus-menerus terjadi di berbagai tempat di Gereja Katolik pasca-konsili, yang semakin lama semakin parah.

Masih ingat skandal Pachamama di Vatikan? 
Itu termasuk salah satunya!

Skandal Pachamama di Basilika St. Petrus Vatikan adalah salah satu sakrilegi dan penghinaan terhadap Gereja yang dibiarkan terjadi oleh hirarki dan bahkan terus diupayakan pembenarannya. Demikian juga tari-tarian barongsay pada Misa Imlek di depan altar Katedral St. Yosep Pontianak yang tentunya didukung oleh Bapa Uskup! Dan masih banyak lagi berbagai sakrilegi lain yang terjadi di berbagai gereja maupun katedral Katolik yang semuanya dibenarkan bahkan didukung demi semangat KV2!

Dengan demikian skandal upacara pemakaman transgender atheis di Katedral St. Patrick New York hanyalah salah satu konsekuensi yang seharusnya sudah dapat diduga dari berbagai sakrilegi yang selama ini dibiarkan terus terjadi.

Salah satu pembiaran sakrilegi yang paling umum terjadi adalah melalui proses inkulturasi. Disini yang dimaksud adalah inkulturasi dalam arti luas, bukan hanya budaya-budaya tradisional umat yang diadaptasi ke dalam liturgi gereja, tapi juga budaya populer dan perilaku sosial atau gaya hidup dari umat yang menuntut untuk diakomodasi dan diadaptasi ke dalam liturgi gereja!

Inkulturasi tidak hanya terbatas pada Misa berbahasa Jawa, Misa dengan tradisi Toraja, Misa Imlek dengan tradisi Tionghoa, atau Misa bernuansa tradisi Papua dengan imam yang mengenakan koteka, tapi juga Misa karismatik dengan teriakan puji-pujian yang ramai dan bahasa roh yang membingungkan, Misa dengan kostum haloween, atau bahkan juga Misa OMK yang dilengkapi hiburan musik band ala kebaktian protestan. Itu semua adalah bagian dari inkulturasi, yaitu upaya untuk mengakomodasi dan mengadaptasi kultur umat, entah apapun itu, ke dalam liturgi gereja! 

Semua proses inkulturasi itu, sedikit atau banyak, biasanya memang melibatkan sakrilegi. Namun sayangnya itu semua dibiarkan terjadi oleh hirarki konsili dan para klerus yang sudah kehilangan kepekaan terhadap kekudusan. 

Dalam konteks ini maka skandal yang terjadi di Katedral St. Patrick New York juga termasuk sebagai upaya inkulturasi yang berujung sakrilegi. Itu terjadi akibat dari tuntutan kaum LGBT agar kultur dan gaya hidup mereka diakomodasi dan diterima oleh Gereja! Termasuk diantaranya penampilan, teriakan kata-kata tidak pantas serta perilaku vulgar mereka, yang bagi Gereja adalah tindakan sakrilegi!

Menanggapi sikap negatif Gereja terhadap sakrilegi tersebut mungkin akan muncul protes dari para pendukung kaum LGBT, misalnya: mengapa ekspresi gaya hidup kaum LGBT di dalam katedral dianggap sakrilegi sementara tari-tarian barongsay dalam Misa Imlek di katedral atau imam yang mempersembahkan Misa bernuansa tradisi Papua di pedalaman dengan menggunakan koteka bukan sakrilegi? Akibatnya, setelah berjalannya waktu dan semakin kuatnya tuntutan semangat inklusif, mungkin saja inkulturasi gaya hidup LGBT ke dalam liturgi, lengkap dengan perilaku dan kata-kata vulgar mereka tidak lagi dianggap sebagai sakrilegi dan akan diterima sebagai kemajuan, keterbukaan, dan kewajaran oleh Gereja konsili! 

Itu tadi sekedar gambaran bagaimana proses inkulturasi ala KV2 bisa menjadi semakin liar dan tak terkendali. Tidak perlu heran jika sakrilegi yang terjadi di Gereja Katolik akan semakin parah dari waktu ke waktu!

Begitulah buah-buah KV2 yang terus-menerus merusak dan menghancurkan Gereja!

Para pendukung inkulturasi ala KV2 seharusnya belajar dari apa yang disampaikan Tuhan di Kitab Suci tentang kurban yang dilakukan Kain dan Habel! Habel yang adalah seorang gembala memberi persembahan anak kambing dombanya yang terbaik dan Tuhan menerima persembahan itu. Sementara Kain yang seorang petani memberi persembahan sebagian dari hasil pertaniannya, tapi Tuhan mengabaikan persembahan itu.

Mengapa Tuhan menerima persembahan Habel dan menolak persembahan Kain?

Alasannya karena Tuhan menghendaki persembahan berupa hewan yang bernyawa! Ini bisa dilihat dari kisah di Taman Eden ketika Adam dan Hawa telanjang dan bersembunyi akibat mereka telah memakan buah terlarang, Tuhan memberi mereka pakaian dari kulit binatang sebagai ganti daun ara yang mereka gunakan sebelumnya (Kej.3:21). Itu artinya, ada binatang yang harus dibunuh akibat kesalahan Adam dan Hawa! Dari situlah kita tahu bahwa Tuhan menghendaki persembahan dari mahluk yang bernyawa!

Dengan demikian persembahan yang diberikan Habel sudah sesuai dengan apa yang diinginkan Tuhan, sementara persembahan yang diberikan Kain, meski itu adalah persembahan yang terbaik menurut Kain, tidak sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya! Ini gagasan penting yang harus menjadi pelajaran bagi kita.

Semua liturgi Gereja seharusnya dilakukan menurut tipologi semangat persembahan Habel, yaitu dilaksanakan menurut apa yang dikehendaki dan berkenan bagi Tuhan! Sayang sekali para pendukung KV2 gagal memahami prinsip sederhana ini! Liturgi di Gereja Konsili justru memilih tipologi semangat persembahan Kain, yaitu dilaksanakan menurut apa yang baik dan cocok menurut umat! Itulah kesalahan mendasar dari paradigma Gereja Konsili yang telah menjadikan manusia atau umat beriman sebagai pusat hidup Gereja!

Kesalahan ini semakin terlihat dalam liturgi-liturgi inkulturatif yang sudah menjadi gejala umum di Gereja konsili! Hirarki dan para klerus konsili dengan mudahnya mengadaptasi dan mengubah-ubah liturgi untuk mengakomodasi serta memasukkan unsur-unsur budaya lokal demi alasan partisipasi umat. Sebaliknya apa yang berkenan bagi Tuhan dan apa yang dikehendaki Tuhan dalam liturgi praktis tidak lagi menjadi prioritas! Bagi Gereja Konsili, apa yang menyenangkan dan baik bagi umat lebih penting ketimbang apa yang dikehendaki Tuhan. Atau dengan kata lain, manusia lebih penting ketimbang Tuhan!

Itulah kesalahan fatal dan mendasar dari para pendukung konsili!

Di dalam Gereja Katolik tradisional dimana liturgi dilaksanakan dengan penghargaan yang tinggi terhadap kekudusan Tuhan dan menurut apa yang berkenan bagi Tuhan, maka Tuhan sungguh menerima liturgi tersebut sebagai persembahan yang layak dan Ia berkenan hadir di dalamnya! Gereja seperti itu adalah Gereja yang penuh kuasa Tuhan dan punya kekuatan perubahan sebagai garam dunia!

Sebaliknya di dalam Gereja Konsili dimana liturgi dilaksakan menurut apa yang baik dan menyenangkan manusia, Tuhan tidak berkenan menerimanya seperti ketika Ia menolak kurban Kain! Tuhan bahkan enggan hadir di Gereja yang lebih mengutamakan keinginan manusia ketimbang kehendak Tuhan! Gereja seperti itu sudah kehilangan kekudusan dan kuasa adikodratinya. Gereja semacam itu sama seperti garam yang sudah tidak asin lagi, yang memang pantas untuk dibuang serta diinjak-injak orang! Wajarlah kalau berbagai sakrilegi dan penghinaan terus terjadi di Gereja konsili!

Bagi mereka yang mencintai Tuhan dan Gereja-Nya, tentu tidak ingin keadaan ini terus berlanjut. Memperbaiki liturgi Novus Ordo agar dilaksanakan dengan lebih hormat, atau melarang ini dan itu tidak akan banyak berguna selama semangat konsili yang mengubah paradigma Gereja terus diterima. 

Satu-satunya cara untuk memperbaiki Gereja dari berbagai kerusakannya saat ini adalah mencabut sumber penyakitnya, yaitu menolak KV2 dan membuangnya ke tempat sampah untuk selamanya. Selanjutnya kita kembali pada Gereja Katolik tradisional yang masih menghargai kekudusan Tuhan dan selalu mendahulukan apa yang berkenan dan dikehendaki Tuhan ketimbang apa yang diinginkan manusia.

Terima kasih atas perhatian anda...

Viva Christo Rey!

Posting Komentar

0 Komentar