Menemukan AGAMA Yang PALING BENAR (part 4) | Kemurtadan BESAR Dan SIsa Umat Di Gereja Katolik


Transkrip video:

Salam damai dan sejahtera bagi kita semua...

Di video bagian ketiga sudah amat jelas bahwa Tuhan kita hanya mendirikan Gereja-Nya satu kali untuk selamanya. Dan satu-satunya Gereja yang eksistensinya tidak terputus sejak jaman para Rasul hingga hari ini adalah Gereja Katolik. Dengan demikian semua gereja-gereja lain, baik itu Gereja-gereja Ortodoks maupun denominasi Protestan yang jumlahnya ribuan itu bukanlah Gereja Kristus.

Sebagai satu-satunya Gereja yang didirikan Tuhan kita, Gereja Katolik memiliki ciri sebagai Gereja yang SATU, KUDUS, KATOLIK, dan sekaligus APOSTOLIK. Ciri-ciri ini juga tidak dimiliki oleh gereja-gereja lainnya secara utuh, termasuk oleh Gereja-gereja Ortodoks.

Tetapi sejak Konsili Vatikan II yang diselenggarakan 60 tahun lalu, terjadi perubahan besar di Gereja Katolik. Aggiornamento atau pembaharuan mengikuti jaman yang digunakan sebagai motto dari konsili menjadi pendorong dari semua perubahan-perubahan yang terjadi pasca-konsili. Dengan semangat tersebut, Gereja Katolik mulai mengedepankan sikap dialogis dan toleransi ketika berhadapan dengan dunia sekuler dan agama-agama lain.

Sekilas, berbagai perubahan yang terjadi sesuai dengan semangat aggiornamento. Perubahan-perubahan tersebut bermaksud mengubah wajah Gereja Katolik menjadi institusi Kristen yang modern, terbuka, humanis, toleran, dan selaras dengan perkembangan jaman. Namun dengan berjalannya waktu buah-buahnya yang buruk mulai bermunculan. Seperti maraknya berbagai sakrilegi dan penyimpangan dalam liturgi, hilangnya semangat penginjilan, dan pelanggaran terang-terangan terhadap ajaran Tuhan seperti kegiatan doa bersama semua agama, Paus yang mencium Quran, penghormatan terhadap berhala Pachamama di Basilika St. Petrus, Paus yang ikut aktif dalam upacara pagan, dan banyak lagi. 

Sejauh ini pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak pernah dianggap sebagai kesalahan dan bahkan cenderung terus berlanjut semakin parah. Tidak bisa tidak itu semua merupakan buah dari perubahan yang terjadi sejak Konsili Vatikan II. Dengan kata lain, berdasarkan buah-buah yang dihasilkannya Konsili Vatikan II terbukti telah membawa pengaruh buruk pada Gereja Katolik! Untuk selanjutnya Gereja Katolik yang terpapar semangat Konsili Vatikan II ini kita sebut sebagai Gereja Konsili.

Akar masalah dari pengaruh buruk yang terjadi di Gereja Konsili bisa ditarik pada gagasan aggiornamento yang menjadi karakter dalam Konsili Vatikan II. Gagasan pembaharuan Gereja untuk mengikuti jaman ternyata menjadi pintu masuk yang sempurna bagi bidat modernisme, yaitu paham yang kurang lebih mengatakan bahwa doktrin kebenaran itu tidak absolut karena selalu berkembang dan berubah mengikuti kemajuan jaman. Paham sesat ini sudah dikecam oleh Paus St. Pius X dalam ensiklik "Pascendi Dominici Gregis." Paus St. Pius X bahkan menyebut modernisme sebagai "gabungan dari semua bidat" karena paham ini tidak menyerang pokok-pokok iman tertentu seperti halnya gerakan-gerakan bidat sebelumnya, tetapi menyerang keseluruhan doktrin iman dengan cara menghilangkan sifat absolutnya.

Masuknya bidat modernisme ke dalam Konsili Vatikan II ini tampak dari adanya gagasan-gagasan baru di dalam dokumen Konsili Vatikan II yang akhirnya menjadi sumber dari banyak buah-buah buruk yang terjadi pada Gereja Konsili. Salah seorang bapa konsili, yaitu Mgr. Marcel Lefebvre mengidentifikasi ada tiga gagasan baru yang penting dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan II. Ketiganya adalah ekumenisme, kebebasan beragama, dan kolegialitas.

Yang dimaksud dengan ekumenisme adalah membangun persatuan (Kristen) melalui semangat dialog, kompromi, dan toleransi. Lalu kebebasan beragama mengajarkan bahwa setiap orang berhak untuk memeluk agama apapun. Sementara dengan kolegialitas, pimpinan tertinggi Gereja tidak hanya Paus tetapi juga kumpulan Uskup. 

Dari gagasan ekumenisme, kita bisa melihat buahnya berupa Misa Novus Ordo. Misa tersebut memang dirancang dengan sengaja menghilangkan unsur-unsur yang sangat Katolik, dan bersamaan dengan itu justru memasukkan unsur-unsur ibadat Protestan. Misalnya, Misa Novus Ordo mengadopsi teologi Perjamuan Kudus dari ibadat Protestan dengan imam yang menghadap umat dan doa persembahan yang diadaptasi dari doa perjamuan makan Yahudi. Sementara Misa Apostolik yang sudah berabad-abad digunakan sejak Gereja Perdana dan oleh Paus St. Pius V dibakukan dalam Misa Latin Tridentin, didasarkan pada teologi korban Kalvari. Secara simbolik ini terlihat dari imam yang bersama umat menghadap altar.

Maka tidak salah jika Misa Novus Ordo yang sekarang digunakan di semua paroki Gereja Konsili, kita sebut sebagai misa blasteran Katolik-Protestan. Tidak hanya itu, bersama dengan perubahan liturgi Misa, rumusan sakramen-sakramen juga ikut diubah sesuai dengan amanat Konsili Vatikan II.

Selanjutnya, ekumenisme dan kebebasan beragama yang diajarkan oleh Konsili Vatikan II juga menjadi dasar dari dibenarkannya kegiatan doa bersama semua agama, Paus mencium Quran, skandal berhala Pachamama, dan lain-lain. Di Gereja Katolik pra-konsili skandal-skandal seperti itu mustahil terjadi dan dibenarkan, karena terang-terangan melanggar hukum pertama Sepuluh Perintah Allah, "Jangan ada allah-allah lain di hadapan-Ku."

Sementara itu gagasan kolegialitas membuat karakter hirarkis-monarkis dari Gereja Katolik hilang dan bergeser menjadi semakin demokratis bagaikan institusi sekuler. Inilah yang menjadi dasar dari diadakannya "Sinode Untuk Sinodalitas 2021-2023" yang bertujuan untuk merumuskan kembali ajaran-ajaran Gereja dengan cara mendengarkan masukan dari umat. Bandingkan dengan Gereja Katolik pra-konsili dimana ajaran Gereja sepenuhnya berasal Tuhan dan diteruskan oleh Paus serta magisterium. Dapat kita katakan Gereja Katolik pra-konsili menerima kebenarannya dari atas, sementara Gereja Konsili menerima kebenarannya dari bawah. Itu sama sekali bukan hal yang bagus!

Sayang sekali tidak banyak orang Katolik yang menyadari bahwa perubahan yang dibawa Konsili Vatikan II bersifat fatal. Perubahan tersebut telah membuat Gereja Katolik kehilangan fungsinya sebagai sarana untuk menguduskan manusia dan dunia. 

Mengapa demikian?

Gereja Katolik menjadi sarana pengudusan manusia berkat rahmat Tuhan yang disalurkan melalui sakramen-sakramennya. Maka ketika liturgi Misa diubah dari Misa Apostolik menjadi misa blasteran Novus Ordo dan semua rumusan sakramen-sakramennya diubah, tentu saja rahmat pengudusan yang dianugerahkan Tuhan melalui Gereja juga terganggu dan tidak lagi sama seperti sebelumnya! 

Logikanya, jika Misa Tridentin adalah liturgi misa apostolik yang sudah dipraktekkan Gereja Katolik selama berabad-abad dan sudah sejalan dengan kehendak Tuhan, maka misa blasteran Novus Ordo yang mencampurkan liturgi Katolik dengan unsur-unsur liturgi bidat pastilah bukan kehendak Tuhan. Perbandingan keduanya seperti korban bakaran Habel yang diterima Tuhan dan kurban bakaran Kain yang diabaikan Tuhan! Dengan demikian sakramen-sakramen Gereja Konsili, termasuk Sakramen Ekaristi dalam Misa blasteran Novus Ordo sudah tidak lagi memiliki kekuatan untuk menguduskan manusia sebagaimana seharusnya.

Sementara itu pengudusan dunia diwujudkan dengan menghadirkan Kerajaan Allah melalui Gereja. Tapi setelah Konsili Vatikan II hal itu juga sudah tidak mungkin lagi diwujudkan akibat masuknya semangat kolegialitas yang menggantikan karakter hirarkis-monarkis dari Gereja. Bagaimanapun Kerajaan Allah yang bersifat hirarkis-monarkis tidak dapat diwujudkan melalui Gereja yang menyangkal karakter hirarkis-monarkis! Ingat, seperti yang sudah disinggung di video sebelumnya, tidak adanya karakter hirarkis-monarkis pada Gereja-gereja Ortodoks membuat mereka tidak dapat menjadi sarana untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Ironisnya, setelah Konsili Vatikan II kondisi yang sama juga terjadi pada Gereja Katolik.

Semangat kolegialitas secara tidak langsung juga menyangkal Paus sebagai Wakil Kristus dan sekaligus otoritas tertinggi Gereja. Ini tercermin dari tindakan Paus Paulus VI yang melepas Tiara Kepausan pada tahun 1964 dan juga keengganan Paus Fransiskus menggunakan gelar sebagai Wakil Kristus. Maka masuknya semangat kolegialitas ke dalam Gereja Konsili secara tidak langsung menunjukkan penyangkalan terhadap martabat rajawi Kristus dan sekaligus penolakan terhadap Kerajaan Allah! 

Semangat kolegialitas Gereja Konsili ini mengingatkan kita pada teriakan imam-imam Yahudi di hadapan Pontius Pilatus, "Kami tidak mempunyai raja selain dari Kaisar!"

Gereja Konsili yang menolak Yesus Kristus sebagai Raja dan mengabdi pada "Kaisar" terlihat jelas dalam semangat ekumenisme dan kebebasan beragama yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II! Persatuan Kristen melalui ekumenisme yang kompromis mustahil ditujukan bagi Kerajaan Allah karena Tuhan kita Yesus Kristus pasti tidak menghendaki adanya unsur-unsur bidat ikut masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Jadi, ekumenisme Konsili Vatikan II yang kompromis dapat dipastikan tidak ditujukan bagi Kerajaan Allah! 

Selanjutnya, kebebasan beragama membuat upaya ekumenisme ala Konsili Vatikan II tidak hanya bertujuan untuk mempersatukan Kristen saja, tapi juga mempersatukan agama-agama lain. Ini bisa kita lihat bayangannya dalam kegiatan doa bersama semua agama yang mulai sering diadakan Gereja Konsili sejak pertama kali diadakan di Asisi tahun 1986 oleh Paus Yohanes Paulus II.

Pertanyaannya: jika Gereja Konsili menolak Yesus Kristus sebagai Raja maka bagi siapakah upaya persatuan ekumenisme semua agama itu ditujukan? Jawaban logisnya, tentu saja untuk "Sang Kaisar" yang tidak lain adalah Antikristus demi membangun Menara Babel yang baru! Dengan demikian pada akhirnya Konsili Vatikan II memang mengarahkan Gereja Konsili untuk mengabdi "Sang Kaisar", yaitu Antikistus!

Lalu bagaimana dengan janji Tuhan bahwa alam maut tidak akan menguasai Gereja-Nya? Batalkah janji tersebut?

Sama sekali TIDAK!

Kitab Suci memang SUDAH menubuatkan adanya kemurtadan besar menjelang akhir jaman:

"...jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?" (Luk.18:8)

Janganlah kamu memberi dirimu disesatkan orang dengan cara yang bagaimanapun juga! Sebab sebelum Hari itu HARUSLAH DATANG DAHULU MURTAD dan haruslah dinyatakan dahulu manusia durhaka, yang harus binasa... (2 Tes.2:3)

Berdasarkan buah-buah buruknya yang terus terjadi, tidak sulit untuk menafsirkan apa yang berlangsung di Gereja Katolik setelah Konsili Vatikan II sebagai bagian dari proses pemurtadan. Hanya mereka yang terjerumus pada sikap taat buta atau tertutup akal sehatnya saja, yang masih percaya bahwa Gereja Konsili yang penuh dengan skandal itu ada dalam bimbingan Roh Kudus. Padahal SAMA SEKALI TIDAK.

Namun harus kita ingat, Rasul Paulus juga menubuatkan adanya sisa umat yang tetap setia pada iman yang benar di tengah kemurtadan besar yang sedang terjadi:

Ataukah kamu tidak tahu, apa yang dikatakan Kitab Suci tentang Elia, waktu ia mengadukan Israel kepada Allah: "Tuhan, nabi-nabi-Mu telah mereka bunuh, mezbah-mezbah-Mu telah mereka runtuhkan; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku."
Tetapi bagaimanakah firman Allah kepadanya? "Aku masih meninggalkan tujuh ribu orang bagi-Ku, yang tidak pernah sujud menyembah Baal." Demikian juga pada waktu ini ada tinggal suatu sisa, menurut pilihan kasih karunia. (Rm.11:2-5)

Dengan demikian Tuhan pasti menyiapkan SISA UMAT yang setia sebagai penerus Gereja-Nya. Roh Kudus memang benar berkarya membimbing Gereja Katolik, tapi bukan dalam Gereja Konsili yang membiarkan dirinya terpapar bidat mordernisme. Roh Kudus membimbing Gereja Katolik di dalam SISA UMAT yang memilih untuk setia pada ajaran para Rasul. Dalam SISA UMAT yang setia inilah janji Tuhan bahwa Gereja-Nya tak terkalahkan sampai saat kedatangan-Nya akan tergenapi sempurna. 

Maka janji Tuhan bahwa Gereja-Nya tidak terkalahkan, sekaligus nubuat terjadinya kemurtadan besar di dalam Gereja, dan nubuat adanya sisa umat yang setia, semuanya akan tergenapi dengan sempurna! 

Pertanyaannya, bagaimana kita dapat menjadi bagian dari sisa umat Tuhan agar kita memperoleh janji keselamatan yang tersedia melalui Gereja-Nya?

Kita memang ada dalam situasi yang sangat sulit dan belum pernah ada dalam sejarah Gereja, dimana hirarki Gereja nyaris seluruhnya mengabdi pada agenda konsili yang terarah pada kemurtadan. Dalam keadaan seperti ini bersikap taat pada Paus atau magisterium justru berpotensi menjerumuskan kita pada kemurtadan sesuai agenda konsili.

Tapi Sabda Tuhan memang ajaib! 

Situasi yang kita alami sekarang ini ternyata sudah memiliki tipologinya dalam Kitab Suci sehingga bisa kita jadikan sebagai acuan dalam mengambil sikap. Situasi yang kita alami di Gereja Katolik saat ini dapat dilambangkan dengan masa pembuangan Babel dimana bangsa Israel harus hidup di bawah kekuasaan raja-raja Babel yang pagan. 

Sebagai orang Yahudi yang hidup di tanah pembuangan Babel, Daniel dan kawan-kawannya hidup mengabdi pada raja Babel yang berkuasa. Namun jika mereka diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan iman, Daniel dan kawan-kawannya akan menolak perintah tersebut dan memilih tetap setia pada imannya tanpa kompromi. Daniel dan kawan-kawannya adalah tipologi dari sisa umat! 

Seperti juga Daniel dan kawan-kawannya yang harus hidup dalam pembuangan Babel, hari ini kita juga terpaksa hidup di bawah hirarki Gereja Konsili. Tapi bagaimana hirarki Gereja Katolik yang sah bisa mendapatkan tipologi sebagai penguasa Babel yang tidak mengenal iman? 

Sederhana...

Itu karena mereka mengajarkan ajaran Gereja Katolik yang dicemari kesesatan Konsili Vatikan II, atau dengan kata lain mereka telah mengajarkan injil yang berbeda! Dan Kitab Suci jelas mengatakan siapapun yang mengajarkan injil yang berbeda dari Injil yang diajarkan para Rasul, ada di bawah kutukan Rasul Paulus (Gal.1:8-9). Jadi, menurut Kitab Suci sebagian besar hirarki Gereja Konsili saat ini ada di bawah kutukan Rasul Paulus! Itu sebabnya sangat tepat jika mereka mendapatkan tipologi sebagai penguasa Babel yang tidak mengenal iman. 

Sama seperti Daniel yang taat dan mengabdi pada raja-raja Babel, sebagai umat Gereja Katolik kita juga perlu tunduk dan taat pada hirarki Gereja. Akan tetapi jika hirarki mengajarkan atau memerintahkan apapun yang bertentangan dengan ajaran iman para Rasul, sama seperti Daniel kita juga akan bersikap tegas menolaknya tanpa kompromi. Acuan mutlak kita adalah ajaran Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh para Rasul, bukan perintah Paus atau magisterium yang sudah tercemar semangat konsili sesat. Ingat, kita harus lebih taat kepada Tuhan dari pada kepada manusia!

Teladan Daniel yang setia pada iman itulah yang dicontohkan oleh Mgr. Marcel Lefebvre ketika dia memutuskan untuk menolak segala pembaharuan Konsili Vatikan II dan membentuk imam-imam yang setia pada ajaran Gereja Katolik tradisional dengan mendirikan SSPX. Semangat yang sama kini juga diteruskan oleh Uskup Agung Vigano yang tidak kenal lelah terus menyuarakan penentangan terhadap Konsili Vatikan II dan Misa blasteran Novus Ordo. Sayangnya di Indonesia kita tidak menemukan gembala-gembala setia semacam itu.

Sama seperti masa pembuangan Babel hanya bersifat sementara dan akhirnya bangsa Israel kembali ke Yerusalem, begitu juga rezim Konsili Vatikan II yang saat ini sedang berkuasa hanya bersifat sementara. Pada akhirnya kelak ajaran Konsili Vatikan II akan dicampakkan ke tempat sampah, gembala-gembala upahan akan disingkirkan, dan Gereja Katolik akan dipulihkan kembali seperti semula.

Kesimpulannya...

Memang benar Gereja Katolik adalah Gereja Kristus yang didirikan Tuhan kita sebagai sarana keselamatan manusia. Gereja Katolik adalah agama yang paling benar dari semua agama yang ada di muka bumi. Namun, seperti juga yang sudah dinubuatkan dalam Kitab Suci, menjelang akhir jaman akan ada kemurtadan besar yang terjadi di dalam Gereja Katolik. Kemurtadan besar itu membuat Gereja Katolik terbagi dua secara internal, yaitu kelompok mayoritas yang terarah pada kemurtadaan (2Tes.2:3 dan Luk.18:8) dan kelompok minoritas sisa umat yang setia (Rm.11:5).

Dari buah-buahnya yang begitu jelas kita tahu bahwa saat ini proses kemurtadan itu sedang berlangsung. Proses kemurtadan tersebut sangat erat kaitannya dengan Konsili Vatikan II. Dengan dalih palsu mengadakan pembaharuan di Gereja, ternyata Konsili Vatikan II telah mengajarkan ajaran-ajaran yang berbeda dari apa yang telah diajarkan para Rasul dan bapa-bapa Gereja. Ajaran palsu dan menyesatkan dari Konsili Vatikan II itulah yang sekarang nyaris menguasai seluruh Gereja Katolik. 

Namun sesuai dengan janji-Nya, Tuhan selalu menjaga Gereja yang didirikan-Nya tetap utuh dan bebas dari kesesatan melalui SISA UMAT yang setia. Jadi, untuk memperoleh keselamatan kekal melalui Gereja Kristus kita tidak cukup hanya menjadi anggota dari Gereja Katolik saja. Kita harus menjadi bagian dari sisa umat yang setia! Caranya adalah dengan menolak kesesatan Konsili Vatikan II dan kembali setia pada ajaran Gereja yang apostolik, yaitu ajaran iman Katolik sebagaimana yang diajarkan para Rasul dan bapa-bapa Gereja.

Pada video bagian terakhir kita akan membahas lebih jauh lagi bagaimana semua orang, baik itu Katolik, Kristen non-Katolik, atau bahkan juga non-Kristen, dapat menjadi bagian dari sisa umat Tuhan yang merupakan kesinambungan dari Gereja Kristus, satu-satunya agama yang benar. Dan terutama, bagaimana kita dapat tetap setia di dalamnya hingga nafas terakhir atau hingga kedatangan Tuhan.

Terima kasih atas perhatian anda...

Viva Christo Rey!

 

Posting Komentar

0 Komentar