Para Uskup Indonesia Mencontohkan TOLERANSI SESAT?

 


Salam damai dan sejahtera bagi kita semua...

Ini masih kelanjutan dari video sebelumnya yang memabahas skandal para uskup Indonesia berdoa saat makan malam dengan dipimpin oleh seorang imam muslim. Ada beberapa komentar menarik yang isinya kira-kira mengatakan bahwa acara itu difasilitasi oleh pemerintah kabupaten Ende, sehingga merekalah yang memutuskan untuk meminta seorang imam muslim memimpin doa makan malam.

Komentar semacam ini sama artinya dengan melemparkan kesalahan pada orang lain. Mayoritas penduduk Ende adalah Katolik, para pejabat pemerintahnya juga demikian, apakah mungkin mereka menyusun protokol acara semacam itu tanpa seijin uskup? Apakah mereka orang-orang Katolik yang kurang ajar dan sengaja mempermalukan para uskup?

Layaklah kalau kita asumsikan bahwa acara itu sudah disetujui uskup mereka, setidaknya secara informal. Sebagai seorang Katolik saya tidak dapat membayangkan ada umat Katolik berani melakukan hal selancang itu tanpa seijin uskup.

Juga kalau alasannya adalah ungkapan toleransi yang sudah biasa dipraktekkan di Ende. Tentu kebiasaan itu terbentuk karena para uskup mereka selama ini gagal menanamkan ajaran iman yang benar, sehingga apa yang dituntut oleh iman Katolik boleh seenaknya dipinggirkan demi toleransi.

Toleransi adalah nilai-nilai manusiawi yang menuntut kebebasan untuk melakukan kesesatan yang menjadi pilihan mereka. Sementara Tuhan menginginkan manusia mengikuti ajaran yang benar, bukan ajaran sesat manapun juga. Karenanya Gereja Katolik hanya mengijinkan toleransi sebagai suatu keadaaan sementara yang perlu untuk memberi waktu manusia bertobat dari kesesatannya tanpa paksaan. Dengan demikian toleransi tidak pernah boleh melacurkan iman atau mengabaikan iman yang menjadi tujuan akhir dari toleransi.

Jika skandal para uskup Indonesia yang berdoa makan malam dipimpin imam muslim ini disebut toleransi, maka itu adalah toleransi yang salah karena telah mengkhianati iman Katolik yang menjadi tujuan akhir dari toleransi!

Mengutamakan toleransi dengan mengabaikan iman Katolik menunjukkan sikap yang mementingkan rasa hormat dan pujian manusia serta mengabaikan kehendak Tuhan. Itu adalah buah dari ajaran Konsili Vatikan II yang mengatakan:

Kaum beriman maupun tak beriman hampir sependapat, bahwa segala sesuatu di dunia ini harus diarahkan kepada manusia sebagai pusat dan puncaknya. (Gaudium et Spes 12)

Ajaran konsili ini mendorong Gereja untuk menempatkan kebutuhan dan keinginan manusia sebagai pusat hidup menggereja. Oleh karenanya toleransi yang mengejar pujian dan rasa hormat dari manusia memang lebih diutamakan dari pada kesetiaan iman yang dikehendaki Tuhan.

Skandal tersebut juga buah dari ajaran Konsili Vatikan II yang menyatakan:

Namun rencana keselamatan juga merangkum mereka, yang mengakui Sang Pencipta; di antara mereka terdapat terutama kaum muslimin, yang menyatakan bahwa mereka berpegang pada iman Abraham, dan bersama kita bersujud menyembah Allah yang tunggal dan maha rahim... (Lumen Gentium 16)

Dokumen konsili sesat ini memang mengajarkan bahwa muslim dan Katolik menyembah Tuhan yang sama, bahkan Islam juga merupakan bagian dari rencana keselamatan. Ini jelas ngawur! Jadi tidak heran jika berdasarkan semangat konsili, para uskup Indonesia ini membiarkan mereka berdoa dipimpin oleh seorang imam muslim! Para martir gereja perdana yang rela mati demi menolak berdoa bersama kaum pagan di pantheon tentu berduka melihat kelakuan tak terpuji dari para Uskup Indonesia!

Tapi ini juga bukan kesalahan baru! Sudah lama kita melihat para uskup Indoneisa di berbagai keuskupan ikut menyumbang hewan kurban saat hari Idul Adha, ikut menyediakan ruangan gereja bahkan katedral untuk acara buka puasa kaum muslim, juga ada uskup yang berlutut untuk diberkati pendeta-pendeta Protestan. Itu semua menunjukkan sikap toleransi sesuai semangat konsili yang mengabaikan iman Katolik!.

Dan ini juga bukan kesalahan para uskup Indonesia saja. Paus Yohenes Paulus II juga sudah mencontohkan toleransi sesat ini dengan mengadakan kegiatan doa bersama semua agama di Asisi tahun 1986, kemudian mencium Quran pada tahun 1999 saat berkunjung ke Irak, lalu menerima berkat dari pendeta-pendeta pagan dalam berbagai kesempatan. Kemudian juga berlanjut dengan Paus Fransiskus yang menempatkan berhala Pachamama di dalam Basilika St. Petrus, ikut berpartisipasi dalam upacara pagan indian di Kanada, dan banyak lagi. Itu semua contoh toleransi yang mengabaikan iman dari pemimpin tertinggi Gereja Katolik.

Jadi jelas, sesuai dokumen Gaudium et Spes 12 Gereja Katolik pasca-konsili memang lebih mendahulukan kebutuhan manusia dan sekaligus mencari rasa hormat manusia sambil terus mengabaikan iman yang benar. Apa yang dibutuhkan manusia lebih penting dari apa yang dikehendaki Tuhan. Dengan demikian apa yang dilakukan oleh para uskup Indonesia itu memang sudah sesuai dengan semangat konsili.

Inilah pemenuhan dari kemurtadan besar yang sudah dinubuatkan Rasul Paulus dalam 2Tes.2:3. Suatu bentuk kemurtadan yang hanya dapat terjadi jika hirarki Gereja dari pucuk pimpinan tertinggi terlibat di dalamnya. Itulah kondisi yang dimungkinkan oleh semangat Konsili Vatikan II..

Terima kasih atas perhatian anda...


Viva Christo Rey!

Posting Komentar

0 Komentar