Transkrip:
Salam damai dan sejahtera bagi kita semua...
Bagi kaum tradisionalis, Mgr. Lefebvre adalah seorang pahlawan dan teladan yang tindakan serta ucapannya menjadi inspirasi bagi kesetiaan iman terhadap Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik. Tapi bagi kebanyakan orang Katolik yang mendukung pembaharuan Konsili Vatikan II, Mgr. Lefebvre adalah seorang pembangkang fanatik dan keras kepala yang menolak perubahan, seorang skismatik yang memecah-belah Gereja Katolik, dan tidak jarang sikapnya disamakan dengan bidat Martin Luther.
Pada video kali ini kita akan mencoba memahami sikap Mgr. Lefebvre tersebut...
Kita akan mulai dengan mengangkat secara lengkap deklarasi terkenal Mgr. Lefebvre tahun 1974 yang menjadi dasar untuk memahami seluruh sikap dan tindakannya.
Berikut deklarasi Mgr. Lefebvre:
Kami berpegang teguh, dengan sepenuh hati dan dengan segenap jiwa kami, kepada Roma Katolik, Penjaga Iman Katolik dan tradisi yang diperlukan untuk melestarikan iman ini, kepada Roma Abadi, Mempelai dari Kebijaksanaan dan Kebenaran.
Di sisi lain kami menolak, dan selalu menolak untuk mengikuti Roma yang condong pada neo-Modernis dan neo-Protestan, yang jelas terlihat selama Konsili Vatikan Kedua, setelah Konsili, dan dalam semua perubahan yang berasal darinya.
Semua reformasi ini telah berkontribusi dan masih berkontribusi pada kehancuran Gereja, kehancuran imamat, penghapusan Kurban Misa dan sakramen, hilangnya kehidupan religius, pengajaran naturalis dan Teilhardian di universitas, seminari, dan katekese; yaitu suatu ajaran yang berasal dari Liberalisme dan Protestantisme, yang berkali-kali dikutuk keras oleh Magisterium Gereja.
Tidak ada otoritas, bahkan pucuk hierarki, yang dapat memaksa kita untuk meninggalkan atau mengurangi Iman Katolik kita, yang dengan jelas diungkapkan dan dianut oleh Magisterium Gereja selama sembilan belas abad.
Kata Rasul Paulus, “Tetapi sekalipun kami, atau seorang malaikat dari surga yang memberitakan suatu 'injil' kepada kamu selain Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia” (Gal. 1:8).
Bukankah itu yang dilakukan oleh Bapa Suci kepada kita hari ini? Dan jika kita dapat melihat kontradiksi tertentu dalam kata-kata dan perbuatannya, serta di dalam dikasteri, kita memilih mengikuti apa yang selalu diajarkan dan menolak hal-hal baru yang menghancurkan Gereja.
Tidak mungkin memodifikasi lex orandi secara mendasar tanpa memodifikasi lex credendi. Bagi Novus Ordo Missae itu selaras dengan katekismus baru, imamat baru, seminari baru, Gereja Pantekosta karismatik, yaitu semua hal yang bertentangan dengan ortodoksi dan ajaran Gereja yang abadi.
Reformasi ini, yang lahir dari Liberalisme dan Modernisme, diracuni terus menerus; itu berasal dari bidat dan berakhir di dalam bidat, bahkan jika semua tindakannya tidak secara formal sesat. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi setiap orang Katolik yang cermat dan setia untuk mendukung reformasi ini atau tunduk padanya dengan cara apa pun.
Satu-satunya sikap kesetiaan kepada Gereja dan doktrin Katolik, dari sudut pandang keselamatan kita, adalah penolakan kategoris terhadap reformasi ini.
Itulah sebabnya, tanpa semangat pemberontakan, kepahitan atau kebencian, kami mengupayakan pembentukan imam-imam, dengan Magisterium abadi sebagai panduan kami. Kami meyakini bahwa (selain dengan cara itu) kami tidak dapat memberikan pelayanan yang lebih besar kepada Gereja Katolik yang Kudus, kepada Paus Yang Berdaulat dan kepada generasi mendatang.
Itulah sebabnya kami berpegang teguh pada semua yang telah diyakini dan dipraktikkan dalam iman, moral, liturgi, ajaran katekismus, pembinaan imam dan lembaga Gereja, oleh Gereja yang abadi; sebagaimana yang dikodifikasikan dalam buku-buku sebelum pengaruh modernis konsili. Ini akan kita lakukan sampai waktu dimana cahaya Tradisi yang sejati menghilangkan kegelapan yang menutupi langit Roma Abadi.
Dengan melakukan ini, dalam rahmat Tuhan dan bantuan Perawan Maria yang Terberkati, dan St. Joseph serta St. Pius X, kami yakin untuk tetap setia kepada Gereja Katolik Roma dan semua penerus Petrus, dan menjadi fideles dispensatores mysteriorum Domini Nostri Jesu Christi in Spiritu Sancto (pelayan yang setia dari misteri Tuhan kita Yesus Kristus di dalam Roh Kudus). Amin.
21 November 1974
Econe, Swiss
Dari pernyataan tersebut amat jelas bahwa Mgr. Lefebvre meyakini Konsili Vatikan II membawa kerusakan bagi Gereja. Oleh karena itu dia memilih untuk tetap setia pada ajaran Gereja Katolik sebelum konsili dan menolak secara kategoris semua pembaharuan Konsili Vatikan II, termasuk pembaharuan liturgi Misa Novus Ordo. Tapi semua penolakannya terhadap pembaharuan konsili dilakukan TANPA sikap pemberontakan. Artinya dia tetap mengakui otoritas Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik. Inilah sikap dasar dari Mgr. Lefebvre yang dipegang teguh hingga kematiannya.
Sekarang banyak orang Katolik, termasuk saya, mudah mengambil sikap seperti Mgr. Lefebvre karena buah-buah kerusakan dari pembaharuan konsili sudah begitu jelas dan mencolok. Begitu mencoloknya sehingga hanya orang-orang yang terjebak pada sikap taat buta yang ekstrim atau kehilangan logika akal sehat saja yang masih percaya bahwa Gereja Katolik baik-baik saja dan masih tetap sama dengan Gereja yang diwariskan para Rasul..
Tapi pada tahun 1974 saat Mgr. Lefebvre menyatakan sikapnya, buah-buah buruk Konsili Vatikan II belum begitu terlihat dan eforia terhadap 'aggiornamento' masih sangat tinggi. Meskipun demikian Mgr. Lefebvre sudah melihat bencana apa yang akan terjadi pada Gereja Katolik sebagai akibat dari pembaharuan konsili. Maka kita bisa yakin sikap tegasnya yang menolak pembaharuan konsili adalah inspirasi dari Roh Kudus.
Apakah sikap pembangkangan Mgr. Lefebvre ini membuatnya menjadi sama dengan Martin Luther? Sama sekali tidak!
Gerakan reformasi Martin Luther dilakukan dengan menolak ajaran Gereja yang apostolik dan membuat ajaran baru berdasarkan penafsiran pribadinya sendiri. Sementara Mgr. Lefebvre tetap setia pada seluruh ajaran Gereja yang diwariskan selama 19 abad dan tidak membuat satu iota ajaran baru apapun. Demi membangun gerakan reformasinya Martin Luther menolak otoritas Gereja dan Paus sebagai pemimpinnya, sementara Mgr. Lefebvre memilih tetap ada di dalam Gereja dan tetap mengakui otoritas Paus. Maka gerakan Martin Luther adalah bidat dan pembangkangan, sedangkan gerakan Mgr. Lefebvre adalah kemurnian iman dan kesetiaan pada Gereja! Itulah perbedaan kontras dari keduanya.
Keputusan Mgr. Lefebvre untuk menolak Konsili Vatikan II juga bersifat profetik. Jika berbagai pembaharuan Konsili Vatikan II adalah bagian dari pemenuhan nubuat terjadinya kemurtadan besar di akhir jaman (Luk.18:8, 2Tes.2:3), maka sikap Mgr. Lefebvre yang menolak konsili dan upayanya membentuk imam-imam tradisional adalah bagian dari pemenuhan nubuat adanya SISA UMAT yang setia sebagai penerus Gereja Kristus hingga akhir jaman (Rm.11:5). Dalam konteks nubuat terjadinya dikotomi kemurtadan besar dan sisa umat itulah kita dapat memahami sikap Mgr. Lefebvre yang menolak berbagai pembatasan oleh Gereja Konsili dalam membentuk dan mentahbiskan imam-imam tradisional.
Sebaliknya, mereka yang melihat tindakan Mgr. Lefebvre sebagai pembangkangan atau bahkan tindakan skismatik umumnya gagal memahami konteks pemenuhan nubuat tersebut. Sudah menjadi ciri khas para pendukung konsili bahwa mereka tidak mau dan tidak akan berani mengakui kondisi Gereja Katolik saat ini sebagai bagian dari proses terjadinya kemurtadan besar. Sekarang dengan berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang semakin parah di dalam Gereja Katolik, kita dapat yakin bahwa dikotomi kemurtadan besar dan sisa umat memang sedang tergenapi sesuai nubuat Kita Suci.
Kitab Suci mengajarkan kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia (Kis.5:29). Demikian juga St. Thomas Aquinas dan St. Robertus Belarminus kurang lebih sepakat bahwa perintah yang bertentangan dengan iman atau membahayakan keselamatan jiwa dapat diabaikan. Oleh karenanya segala pembatasan dan sanksi kanonik yang dikenakan pada Mgr. Lefebvre dapat dipandang sebagai perintah yang menghalangi upaya untuk meneruskan eksistensi Gereja Kristus di dalam sisa umat. Dengan kata lain perintah tersebut membahayakan iman dan keselamatan jiwa banyak orang. Maka penolakan Mgr. Lefebvre atas semua pelarangan dan sanksi tersebut dapat dibenarkan.
Bahkan tindakan Mgr. Lefebvre yang paling kontroversial, yaitu mentahbiskan empat orang Uskup tanpa seijin Paus, yang akhirnya mendatangkan hukuman ekskomunikasi baginya, juga dapat dipahami dengan baik dalam konteks ini. Seperti halnya lampu merah boleh dilanggar oleh ambulans yang membawa orang sakit karena alasan darurat demi keselamatan jiwa, demikian juga hukum kanonik yang memberi sanksi ekskomunikasi bagi pentahbisan Uskup tanpa seijin Paus menjadi tidak berlaku bagi pentahbisan tersebut.
Keinginan kuat Mgr. Lefebvre untuk mentahbiskan Uskup dipicu oleh skandal doa bersama di Asisi pada tahun 1986. Kejadian itu menyadarkannya bahwa Gereja Konsili benar-benar sudah meninggalkan iman para Rasul dan dia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Gereja Katolik. Mengingat kesehatannya yang menurun dan SSPX harus memiliki Uskup untuk kelangsungan eksistensinya, Mgr. Marcel Lefebvre berupaya meminta persetujuan Paus untuk mentahbiskan Uskup tradisionalis bagi SSPX. Bahkan Mgr. Lefebvre banyak memberikan kompromi demi persetujuan tersebut. Ini terlihat dalam protokol kesepakatan yang ditandatanganinya bersama Kardinal Ratzinger pada tanggal 5 Mei 1988 dimana Mgr. Lefebvre bersedia mengakui validitas Misa Novus Ordo dan bersedia untuk belajar memahami Konsili Vatikan II tanpa berpolemik. Ini semua membuktikan bahwa Mgr. Lefebvre sama sekali tidak memiliki niat untuk memisahkan diri dari Gereja Katolik ataupun menolak otoritas Bapa suci.
Namun Roh Kudus ternyata tidak menghendaki kompromi semacam itu. Hanya dalam semalam kesepakatan tersebut segera dibatalkan oleh Mgr. Lefebvre setelah ia mennyadari bahwa permintaan untuk mentahbiskan Uskup ternyata tidak juga mendapatkan kepastian waktu. Dan alasan yang terpenting, ternyata Vatikan menginginkan Mgr. Lefebvre menerima seluruh pembaharuan konsili. Persyaratan ini tentu saja tidak dapat diterimanya karena hal tersebut sama saja dengan membunuh SSPX!
Mgr. Lefebvre akhirnya membatalkan kesepakatan dan memilih untuk mentahbiskan Uskup tanpa ijin dari Paus demi keberlangsungan ajaran iman tradisional Gereja Katolik melalui imam-imam tradisional SSPX. Dua hari setelah pentahbisan Uskup, Paus Yohanes Paulus II mengumumkan jatuhnya ekskomunikasi pada Mgr. Lefebvre. Dalam keadaan normal memang pentahbisan Uskup tanpa ijin Paus mendatangkan hukuman ekskomunikasi. Tapi Mgr. Lefebvre meyakini bahwa setelah Konsili Vatikan II Gereja Katolik ada dalam keadaan krisis. Dengan kondisi luar biasa tersebut Gereja memberinya peluang untuk mentahbiskan Uskup tanpa ijin Paus dengan alasan situasi darurat demi kebaikan Gereja dan keselamatan jiwa-jiwa.
Tapi bagaimana dengan ekskomunikasi yang diumumkan oleh Paus Yohanes Paulus II? Bukankah Mgr. Lefebvre secara resmi berada dalam status terekskomunikasi sampai akhir hidupnya dan meninggal dunia dalam keadaan terpisah dari Gereja? Bagaimana kita dapat menjadikan orang yang terekskomunikasi sebagai teladan sikap iman kita?
Salah satu cara terbaik untuk memahami masalah tersebut adalah dengan menggunakan tipologi Nabi Daniel dan bangsa Israel dalam pembuangan Babel. Dengan cara demikian kita tidak mengambil solusi atau cara pandang di luar dari apa yang sudah diajarkan Tuhan.
Kemurtadan besar Gereja Katolik tidak terjadi karena banyak orang Katolik yang ramai-ramai meninggalkan Gereja. Tapi karena masuknya kesesatan modernisme melalui Konsili Vatikan II yang mengubah ajaran Gereja Katolik sedemikian rupa sehingga menyesatkan semua orang Katolik yang mengikuti semangat konsili. Situasi ini membuat kita yang berusaha setia pada iman Katolik bagaikan bangsa Israel yang hidup dalam pembuangan di tanah Babel, di tengah bangsa pagan dan di bawah pimpinan Raja yang tidak mengenal Tuhan.
Dengan demikian Daniel dan ketiga kawannya dapat menjadi tipologi bagaimana orang-orang Katolik yang setia pada imannya harus menjalani hidup dalam kondisi kemurtadan besar yang sedang terjadi di dalam Gereja Katolik saat ini. Sama seperti Daniel dan kawan-kawan yang menolak menajiskan dirinya dengan makan-makanan raja. Demikian juga kita menolak untuk mencemarkan iman Katolik kita dengan semua pembaharuan konsili, termasuk liturgi misa Novus Ordo yang sekarang kita semua tahu itu adalah liturgi misa blasteran.
Meski demikian Daniel dan teman-temannya bukan pembangkang atau pemberontak, mereka mengakui kekuasaan dan sekaligus mengabdi kepada semua raja-raja Babel. Tapi ketika raja memberikan perintah yang bertentangan dengan iman, mereka tidak ragu untuk menolaknya, meski untuk itu mereka harus menerima hukuman.
Begitu juga dengan kita sebagai orang-orang Katolik tradisionalis. Kita tetap mengakui Paus dan seluruh hirarki, serta tunduk pada otoritas mereka. Tapi jika Paus atau hirarki memerintahkan apapun yang bertentangan dengan ajaran Tuhan, menghancurkan Gereja, atau mencelakakan jiwa-jiwa, kita akan tegas menolaknya karena kita harus lebih taat kepada Tuhan dari pada kepada manusia!
Ketika Vatikan menuntut Mgr. Lefebvre untuk menerima pembaharuan konsili sebagai bagian dari kesepakatan untuk mentahbiskan Uskup, itu adalah perintah yang membahayakan eksistensi SSPX sebagai sisa umat yang setia. Karena di masa kemurtadan besar Gereja Kristus berlanjut dalam sisa umat (Rm.11:5), maka perintah tersebut juga berarti membahayakan eksistensi Gereja Kristus dan sebagai konsekuensinya, tidak perlu ditaati. Dengan demikian Mgr. Lefebvre telah melakukan tindakan yang benar dengan mentahbiskan empat orang Uskup tanpa ijin dari Paus meski untuk itu ia harus mendapatkan hukuman ekskomunikasi.
Sekarang kita lihat apa yang terjadi pada Daniel dan kawan-kawannya ketika mereka melawan perintah Raja yang bertentangan dengan iman? Mereka semua dihukum mati, ketiga kawan-kawan Daniel dimasukkan ke perapian sedangkan Daniel dimasukkan ke kandang singa. Tapi Tuhan MENGINTERVENSI hukuman tersebut dan menyelamatkan mereka dari kematian. Itu juga yang terjadi pada Mgr. Lefebvre!
Sekalipun Paus Yohanes Paulus II mengumumkan jatuhnya ekskomunikasi sesuai hukum kanonik, berdasarkan tipologi Daniel dan kawan-kawannya kita percaya Tuhan telah mengintervensi hukuman yang tidak adil terhadap orang pilihan-Nya. Dengan demikian Mgr. Marcel Lefebvre di mata Tuhan tidak terkena hukuman apa-apa. Kenyataan bahwa Mgr. Lefebvre meninggal pada tanggal 25 Maret 1991, bertepatan dengan hari pesta peringatan Bunda Maria mendapat kabar gembira seolah mengkonfirmasi hal itu.
Jadi dalam iman kita bisa percaya bahwa sesungguhnya Mgr. Lefebvre tidak terkena efek dari hukuman ekskomunikasi yang dijatuhkan kepadanya secara tidak adil dan dia meninggalkan dunia fana ini sebagai seorang pahlawan pembela ortodoksi iman Katolik yang terbesar setelah St. Athanasius dari Alexandria!
Ketika ditanya pendapatnya tentang Mgr. Marcel Lefebvre dalam sebuah konferensi, Uskup Agung Vigano mengatakan demikian:
"Saya hanya dapat memandang Uskup Agung Lefebvre dengan kekaguman dan berterima kasih banyak atas kesetiaan dan keberaniannya. Keberanian dan kesetiaan yang tidak pernah gagal dalam menghadapi begitu banyak kesulitan, permusuhan, dan bahkan kegigihan dari pihak hierarki yang berupaya memenangkan ide-ide modernitas dan disusupi oleh pendukung Masonik dari proyek perusakan urat nadi (Gereja), tanpa preseden, dengan cakupan yang menghancurkan sebagaimana yang kita sadari hari ini dalam konsekuensi ekstremnya.
Uskup Agung Lefebvre harus dilihat sebagai orang suci, bukan sebagai skismatis! Sebagai seorang misionaris dan pengaku Iman yang tekun, pembela Tradisi, imamat dan Misa Katolik yang bersemangat. Ia menghadapi sanksi berat, termasuk ekskomunikasi, karena ia meyakini harus lebih menaati Allah daripada manusia, demi menjaga dan mentransmisikan Tradisi ketimbang merangkul doktrin-doktrin modernis."
Pandangan Uskup Agung Vigano tentang Mgr. Lefebvre 100% benar!
Bukan mustahil, apabila rejim Konsili Vatikan II yang membawa kemurtadan besar ini telah tumbang atas kehendak Tuhan dan seluruh pengaruh ajaran konsili termasuik Misa Novus Ordo dihapuskan serta dokumen-dokumennya dibuang ke tempat sampah, Mgr. Marcel Lefebvre adalah orang pertama yang paling layak untuk dikanonisasi dan sekaligus mendapatkan gelar Doktor Gereja.
Terima kasih atas perhatian anda...
Viva Christo Rey!
Santo Marcel Lefebvre doakanlah kami...
Santo Pius X doakanlah kami...
0 Komentar