Doa Bersama Paus Fransiskus Dan Nabi-Nabi Baal




Transkrip video:

 Salam damai dan sejahtera bagi kita semua...


Warisan apa yang paling dikenal dan berdampak signifikan bagi Gereja Katolik dari Paus Yohanes Paulus II? Salah satunya adalah skandal doa bersama semua agama di Asisi tahun 1986! Belum pernah dalam sejarah Gereja Katolik seorang Paus mengadakan doa bersama dengan non-Katolik, bahkan dengan sesama Kristen sekalipun. Tapi sejak Paus Yohanes Paulus II mengadakannya, kegiatan doa bersama semua agama yang resmi diadakan oleh Gereja Katolik atau melibatkan Gereja Katolik sekarang sudah menjadi hal biasa.

Tanggal 25 Oktober 2022, masih di bulan Rosario, Paus Fransiskus kembali melanjutkan tradisi doa bersama semua agama tersebut. Seperti yang sudah dilakukan beberapa tahun sebelumnya, kegiatan doa bersama kali ini kembali akan diadakan di Colosseum Roma, sebuah tempat yang dikenal sebagai simbol kemartiran Gereja Katolik.

Sampai video ini dibuat, saya tidak melihat ada satu channel Katolik di Indonesia yang mengkritisi skandal ini. Kemungkinan besar karena dalam persepsi mereka kegiatan ini bukan skandal bagi iman Katolik tapi kegiatan rutin Gereja Katolik yang dilakukan demi membangun perdamaian dunia!

Mengapa kita mempermasalahkan kegiatan doa bersama dengan agama-agama lain? Apa bedanya kegiatan ini dengan upacara bendera dimana kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing? Apa bedanya dengan perjamuan makan bersama dimana sebelum makan setiap orang berdoa menurut agamanya masing-masing? Begitulah yang mungkin dipikirkan sebagian besar orang Katolik...

Bedanya disini, dalam kegiatan upacara atau makan bersama, doa bukanlah tujuan atau inti dari kegiatan tersebut. Bagian itu hanyalah kesempatan yang diberikan kepada setiap orang untuk berdoa menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Tidak ada yang salah dengan itu. Tapi dalam skandal doa bersama yang kita bahas ini, kegiatan doa adalah agenda utamanya dimana setiap perwakilan agama diberi kesempatan yang sama untuk berdoa sesuai agamanya masing-masing di dalam satu panggung. 

Ada dua kemungkinan pesan penting yang secara implisit ingin disampaikan dalam kegiatan tersebut. Pertama, menempatkan tuhan-tuhan yang disembah setiap agama pada posisi yang setara, atau yang kedua, semua agama yang berbeda-beda itu diasumsikan menyembah tuhan yang satu dan sama.

Menempatkan tuhan-tuhan yang disembah agama-agama lain setara dengan Tuhan kita jelas melanggar Perintah Allah yang pertama, "Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku" (Kel.20:3). Sementara mengasumsikan semua agama menyembah tuhan yang satu dan sama juga bertentangan dengan ajaran Injil yang dengan tegas mengatakan agama-agama lain yang tidak mengenal Yesus Kristus tidak menyembah ALLAH yang benar (Yoh.8:44).

Kegiatan doa bersama ini juga mematikan penginjilan karena secara implisit memberikan pengakuan bahwa agama-agama lain juga memiliki kebenaran dan dapat mengarahkan para pengikutnya pada keselamatan. Dengan kata lain mereka tidak membutuhkan kebenaran Injil untuk sampai pada keselamatan! Jadi dapat kita katakan bahwa sejak Paus Yohanes Paulus II mengadakan kegiatan doa bersama semua agama di Asisi tahun 1986, secara resmi penginjilan sebagaimana yang dimaksudkan Tuhan kita melalui Amanat Agung sudah berakhir.

Maka menjadi masuk akal kalau Paus Fransiskus menentang proselitisme, yang arti kata sebenarnya adalah mengajak orang menjadi kelompok kita atau dalam konteks ini menjadi Katolik. Proselitisme menjadi tidak perlu atau bahkan 'nonsense' karena menurut sudut pandang Konsili Vatikan II agama-agama lain juga memiliki sarana keselamatan masing-masing yang khas.

Yang ironis adalah penggunaan Colosseum sebagai tempat kegiatan doa bersama ini. Kita mengenal Colosseum sebagai lambang kemartiran karena banyak orang-orang Kristen di abad-abad awal yang menjadi korban penganiayaan penguasa Romawi di tempat itu.

Sebenarnya sebagai penganut pagan yang mempercayai banyak dewa-dewa, penguasa Romawi pada masa itu sangat toleran dengan keberagaman agama. Mereka menganggap orang Kristen adalah orang-orang yang menyembah 'dewa' lain yang berbeda dari dewa-dewa yang mereka kenal, dan bagi mereka hal tersebut bukan masalah. Tapi yang menjadi masalah adalah orang-orang Kristen tidak mau bergabung untuk berdoa bersama dengan orang-orang romawi lain di dalam Pantheon. Padahal di dalam Pantheon setiap kelompok boleh memiliki patung atau simbol religius masing-masing dan mereka berdoa sesuai iman kepercayaannya tanpa saling mengganggu. Mirip dengan cara berpikir para pendukung konsili.

Orang Kristen pada masa itu menolak untuk ikut berdoa bersama kaum pagan karena mereka tidak mau menempatkan ALLAH yang benar di tempat yang sejajar dengan allah-allah lain. Penolakan itu tentu saja mengurangi pemasukkan finansial bagi kekaisaran Romawi. Maka orang-orang Kristen dianggap sebagai pembangkang, musuh kekaisaran Romawi, dan harus ditindas. Terlebih lagi setelah orang-orang Romawi sadar bahwa orang Kristen menganggap dewa-dewa Romawi sebagai tuhan-tuhan palsu!

Jadi penolakan orang-orang Kristen untuk ikut berdoa bersama di Pantheon adalah salah satu faktor penyebab dari kemartiran mereka! Tapi sekarang, setelah Konsili Vatikan II, kemartiran itu dikhianati terang-terangan. Pertama oleh Paus Yohanes Paulus II di tahun 1986, dan selanjutnya oleh Paus-Paus penggantinya, baik itu Paus Benediktus XVI maupun Paus Fransiskus. Paling tidak Yudas yang mengkhianati Tuhan kita masih punya rasa menyesal, tapi para Paus konsili sama sekali tidak. Buktinya kegiatan tersebut sampai sekarang masih terus dilanjutkan.

Dan yang lebih parah lagi adalah logo resmi kegiatan tersebut. Mengapa harus menggunakan warna-warni yang berbau LGBT? Apakah para pesertanya adalah kaum LGBT atau bagaimana? Terlepas dari itu, logo berbau LGBT adalah simbol perlawanan atau pemberontakan terhadap kodrat penciptaan Tuhan. Atau dengan kata lain, itu simbol pemberontakan terhadap HUKUM TUHAN.

Mungkin ada yang berdalih, warna-warni itu tidak ada hubungannya dengan ideologi LGBT tapi lambang keragamaan yang inklusif. Tetap saja itu melawan kehendak Tuhan sebab kebenaran Injil tidak bersifat inklusif tapi eksklusif. Itu sebabnya Tuhan kita berkata, "Tak ada yang sampai kepada Bapa kecuali melalui Aku..." Begitu juga Gereja Katolik mengajarkan, "Di luar Gereja tidak ada keselamatan". Kedua ungkapan tersebut jelas menunjukkan sifat ajaran iman Katolik yang eksklusif.

Jadi kegiatan doa bersama semua agama demi perdamaian yang diikuti Paus Fransiskus tanggal 25 Oktober 2022 di Colosseum Roma, tidak lain adalah doa bersama di pantheon modern yang didasarkan pada semangat pemberontakan terhadap hukum Tuhan, dan sekaligus pengkhianatan keji terhadap para martir. Ini mengingatkan kita pada doa nabi-nabi dewa Baal di jaman Nabi Elia. Doa-doa mereka tidak menghasilkan apa-apa dan akhirnya justru berujung pada pembantaian terhadap nabi-nabi Baal tersebut. Rasul Paulus mengajarkan kita tidak dapat mengharapkan hal baik timbul dari perbuatan jahat (Rm.3:8). Dengan demikian besar kemungkinannya kegiatan doa bersama di Colosseum ini juga tidak akan menghasilkan perdamaian yang diharapkan. Semoga saja kegiatan ini tidak malah mendatangkan murka Tuhan.

Fakta ini memang sangat menyedihkan, tapi di sisi lain juga membantu kita untuk melihat semakin jelas bagaimana Gereja Konsili telah semakin jauh meninggalkan Tuhan untuk mengabdi pada allah-allah lain dan menggenapi nubuat kemurtadan besar yang tertulis di Kitab Suci (Luk.18:8, 2Tes.2:3). Ini juga sekaligus menggenapi nubuat Kitab Wahyu tentang Babel Besar, yaitu perempuan pelacur yang mabuk oleh darah para martir (Why.17:4-6).

Semoga kenyataan ini dapat membantu banyak orang Katolik yang selama ini masih mendukung Konsili Vatikan II bagaikan kodok yang sedang direbus dalam kuali, untuk menyadari bahwa air di kuali konsili sudah sangat panas dan sudah waktunya untuk melompat keluar sebelum semuanya terlambat. 

Perlu diingat, menolak Konsili Vatikan II tidak berarti keluar dari Gereja Katolik. Justru sebaliknya, jika kita ingin setia pada iman Katolik yang apostolik kita harus menolak Konsili Vatikan II dan semua pembaharuannya, sama seperti yang dilakukan oleh Mgr. Marcel Lefebvre, Uskup Agung Vigano dan banyak orang Katolik tradisionalis lainnya.

Teruma kasih atas perhatian anda...

Viva Christo Rey!

Posting Komentar

0 Komentar