Salam damai dan sejahtera bagi kita semua...
Itu tadi adalah klip video dari partisipasi Paus Fransiskus dan beberapa uskup dalam ritual pengasapan pada sebuah upacara pagan di Kanada. Sebelum mengomentari itu lebih jauh, saya akan mengambil rujukan kisah dalam Kitab Suci, tepatnya dalam Kitab Daniel bab 3.
Dikisahkan Raja Nebukadnezar memerintahkan semua orang untuk bersujud menyembah patung dewa yang didirikannya jika mereka mendengar suara sangkakala dan berbagai alat musik dibunyikan. Barangsiapa menolak untuk bersujud pada patung dewa tersebut akan dimasukkan ke dalam perapian yang menyala. Meskipun demikian beberapa orang Yahudi yang setia, diantaranya ketiga sahabat Daniel yaitu Sadrakh, Mesakh, dan Abednego menolak untuk mengikuti perintah tersebut. Mereka lalu dilaporkan dan dibawa ke hadapan Raja Nebukadnezar.
Inilah jawaban ketiga orang Yahudi yang setia tersebut ketika Raja Nebukadnezar memerintahkan mereka untuk bersujud pada patung dewa yang didirikannya:
"...hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa-dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu." (Dan.3:18).
Mereka dengan tegas memilih menerima hukuman dimasukkan ke dalam perapian ketimbang harus mengkhianati iman dengan bersujud pada patung berhala. Seperti itulah seharusnya sikap orang beriman ketika dia diperintahkan atau dipaksa untuk menyembah dewa-dewa palsu dan mengikuti ritual-ritual pagan.
Tapi sayang sekali Paus Fransiskus dan para uskup yang hadir dalam ritual pagan tersebut mengambil sikap yang 180 derajat berbeda. Mereka justru dengan sukarela mengikuti ritual pagan untuk menghormati roh-roh asing tersebut sesuai dengan arahan seorang pemimpin pagan.
Ini skandal yang menyedihkan dan memalukan!
Tapi ini sekaligus menjadi bukti kongkrit yang tidak terbantahkan bahwa semangat ekumenisme KVII telah membuat hirarki Gereja pada level tertinggi sekalipun kehilangan iman dan rela berkompromi dengan paganisme demi tujuan-tujuan duniawi.
Harus diingat, ini bukan hal baru. Sikap kompromi iman dan kesediaan untuk ikut ambil bagian dalam ritual agama lain demi semangat perdamaian semu sudah dilakukan juga oleh Paus Yohanes Paulus II dan bahkan oleh Paus Benediktus XVI. Yang sekarang kita bisa lihat adalah keadaannya berkembang semakin lama semakin parah. Ini seperti yang terlihat pada skandal Pachamama di Basilika St. Petrus pada tahun 2019, dan sekarang pada keikutsertaan aktif Paus Fransiskus dan para Uskup dalam ritual pagan di Kanada.
Itu semua dimungkinkan karena ajaran Konsili Vatikan II dalam dokumen Nostra Aetate yang berbicara tentang agama-agama non-Kristen (termasuk pagan) berbunyi demikian:
Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.
Jadi berdasarkan contoh-contoh yang telah dilakukan oleh hirarki, teks Nostra Aetate tersebut berarti bahwa apapun yang benar dan suci menurut kaum pagan, entah itu berhala Pachamama, ritual pengasapan seperti yang dilakukan penduduk asli di Kanada, atau ritual voodoo sekalipun, tidak ditolak dan bahkan layak untuk dipandang dengan sikap hormat oleh orang-orang Katolik.
Mengenai voodoo, Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1993 tercatat mengatakan pada para pengikut voodoo bahwa menjadi Katolik tidak akan mengkhianati kepercayaaan voodoo mereka. Artinya, menurut Paus Yohanes Paulus II kepercayaan voodoo dapat dipraktekkan bersama dengan iman Katolik! Ini bertentangan langsung dengan ajaran Rasul Paulus yang mengatakan kita tidak dapat mengambil bagian dalam persembahan kepada Tuhan dan sekaligus persembahan kepada roh-roh jahat (1Kor.10:21).
Suka atau tidak, inilah buah-buah kesesatan semangat ekumenisme dari Konsili Vatikan II...!
Apakah Tuhan menghendaki kita menaruh rasa hormat dan berkompromi dengan praktek-praktek paganisme? Jika mengacu pada apa yang dilakukan oleh Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, jelas tidak. Juga Rasul Paulus melarang kita mencampurkan ritual kepada Tuhan dan ritual kepada roh-roh asing. Yang jelas itu semua melanggar perintah pertama dari Sepuluh Perintah Allah, "Jangan ada allah-allah lain di hadapan-Ku!"
Maka apa yang dilakukan oleh Paus Fransiskus bersama para Uskup di Kanada tersebut jelas bertentangan dengan ajaran iman para Rasul dan menjadi skandal yang dapat menyesatkan banyak orang Katolik.
Tapi ada yang jauh lebih buruk dari pada sekedar pengulangan skandal paganisme.
Perlu diketahui, kunjungan Paus Fransiskus ke Kanada ini berkaitan dengan berita menghebohkan yang muncul kurang lebih setahun lalu di Kanada. Diberitakan oleh berbagai media mainstream Kanada pada bulan Mei 2021 bahwa di lokasi sekolah pemukiman penduduk asli yang dikelola oleh lembaga sekolah Katolik di Kamloop, Kanada, telah diketemukan kuburan masal 215 anak-anak yang diperkirakan adalah murid-murid sekolah tersebut.
Berita tersebut langsung ditanggapi oleh PM Justin Trudeau dengan mengecam keras Gereja Katolik dan menuntut permintaan maaf dari Paus Fransiskus secara langsung. Berita menghebohkan ini juga memicu reaksi keras golongan kiri dengan melakukan perusakan, pembakaran, dan vandalisme terhadap gereja-gereja Katolik di berbagai tempat di Kanada. Respon Paus Fransiskus terhadap peristiwa inilah yang menjadi alasan kunjungannya ke Kanada pada bulan Juli lalu.
Konyolnya, tidak berapa lama setelah berita tersebut muncul dan menimbulkan berbagai reaksi keras, ternyata terbukti hanyalah hoax. Kuburan masal yang dimaksud faktanya sudah ada 40 tahun sebelum sekolah Katolik tersebut berdiri. Dan kuburan tersebut juga bukan kuburan masal seperti yang diberitakan, melainkan kuburan Katolik biasa dari para penduduk asli di daerah tersebut yang memang biasanya hanya ditandai oleh salib yang terbuat dari kayu. Setelah puluhan tahun tentu saja tanda-tanda tersebut hilang tak berbekas.
Anehnya, berita yang sudah terbukti sebagai hoax tersebut ternyata tidak mengubah rencana Paus Fransiskus untuk tetap datang ke Kanada dan menyatakan permintaan maafnya.
Tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita, untuk apa Paus Fransiskus repot-repot datang ke Kanada dan meminta maaf atas suatu kesalahan yang tidak terbukti? Dengan mudah kita bisa melihat permintaan maaf yang dilakukan Paus Fransiskus bukanlah didasarkan pada sikap penyesalan yang tulus terhadap suatu kesalahan yang ternyata hanya hoax, tapi suatu permintaan maaf yang semata-mata bersifat politis!
Tujuan dari permintaan maaf politis ini setidaknya ada dua.
Pertama, memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mendiskreditkan semaksimal mungkin Gereja Katolik tradisional atau Gereja Apostolik sebagai Gereja yang tidak manusiawi, kejam, bersemangat kolonialistik abad pertengahan, tidak toleran, bahkan pelaku genosida!
Ini ditegaskan Paus Fransiskus pada wawancaranya di dalam pesawat ketika kembali dari Kanada, "Mengambil anak-anak, mengubah budaya mereka, mengubah cara berpikir mereka, tradisi mereka, mengubah ras mereka, seluruh budaya mereka... ya, saya sebut sebagai genosida"
Jadi menurut Paus Fransiskus penginjilan sesuai amanat Agung Tuhan kita yang pada dasarnya memang berupaya memperbaharui atau mengubah cara berpikir dan budaya suatu bangsa agar menerima Yesus Kristus dan seluruh kebenaran-Nya, adalah suatu genosida! Ini tuduhan yang tidak masuk akal... Sama seperti 2000 tahun lalu Imam Agung Kayafas menuduh Yesus Kristus Tuhan kita sebagai "penghujat Allah", begitu juga hari ini Imam Besar yang baru menuduh Mempelai Kristus yang setia mewartakan kebenaran Sang Kristus sebagai "pelaku genosida"! Keduanya adalah tuduhan palsu hasil bisikan sang bapa segala dusta!
Mungkin Paus Fransiskus juga harus meminta maaf kepada orang-orang Flores! Penginjilan yang dilakukan oleh St. Fransiskus Xaverius atas nama Gereja Katolik terbukti telah membuat orang-orang Flores kehilangan agama asli dan budaya pagan mereka selama berabad-abad karena berganti menjadi Katolik!
Tujuan yang kedua adalah memanfaatkan momen tersebut untuk menunjukkan wajah ekumenis dari Gereja Konsili yang baru. Gereja Konsili ini akan menggantikan Gereja Apostolik yang telah diberi stigma sebagai Gereja Katolik lama yang jahat dan sedang dalam proses untuk dilenyapkan. Dengan cara demikian Gereja Katolik yang baru pasca-konsili akan dipandang dunia sebagai Gereja modern yang terbuka pada semangat dunia, humanis, inklusif, tidak terikat pada dogma yang kaku, dan bersedia merangkul semua golongan demi membangun perdamaian dunia.
Kesimpulannya, kunjungan Paus Fransiskus yang lebih percaya pada kebohongan ketimbang kebenaran ini ke Kanada dalam rangka permintaan maaf politis tidak lain adalah bagian dari agenda budaya pembatalan yang sedang dilakukan dengan gencar oleh Gereja Konsili. Yaitu upaya untuk menghapus Gereja Apostolik, liturgi apostolik, ajaran-ajaran apostolik, dan segala pengaruhnya, lalu menggantikannya dengan Gereja Konsili yang modern, inklusif, kompromis, dan ekumenis.
Tapi mereka lupa, Gereja Apostolik yang didirikan Yesus Kristus tidak akan pernah lenyap dari muka bumi, tidak peduli sehebat apapun upaya pembatalan yang dilakukan terhadapnya. Sebaliknya, sebesar apapun Gereja Konsili diupayakan untuk berkembang, pada akhirnya Gereja ekumenis tersebut akan runtuh seperti lalang yang dikumpulkan untuk dibakar dalam perumpamaan tentang gandum dan lalang yang tumbuh dalam satu ladang.
Akhirnya kunjungan Paus Fransiskus ke Kanada untuk melakukan permintaan maaf politis semakin memudahkan kita untuk mengambil sikap. Pilihannya adalah: dengan ketaatan buta dan kemalasan berpikir terus ikut Gereja Konsili dengan segala penyesatannya yang semakin lama semakin parah, ATAU dengan pertolongan Tuhan menjadi bagian dari sisa umat, yaitu Gereja Apostolik yang menolak KVII dan semangat ekumenismenya.
Terima kasih atas perhatian anda...
Viva Christo Rey!
0 Komentar