VIGANO: Kultur Pembatalan, Konsili Vatikan II, Dan Kebencian Terhadap Kristus



Transkrip:

Salam damai dan sejahtera bagi kita semua...

Pada video kali ini saya akan membacakan terjemahan dari sebuah tulisan Uskup Agung Vigano yang ditampilkan di lifesitenews pada tanggal 6 Juli 2022. Tulisan tersebut berjudul: "Budaya Pembatalan di Gereja Dan Masyarakat Dikendalikan oleh Kebencian Terhadap Yesus Kristus"

Berikut terjemahan bebasnya:

Dalam editorial berjudul “Budaya Pembatalan (Cancel Culture): Impian Abadi Gnostik untuk Memulai dari Nol,” yang muncul pada tanggal 30 Juni 2022, dalam Buletin Ajaran Sosial Gereja Observatorium Internasional Kardinal Van Thuân, Uskup Agung Giampaolo Crepaldi dengan analisis yang sangat jelas, menyerang keras "...sikap dukungan terhadap yang baru ketimbang yang lama, yang membuat kebajikan sama artinya dengan kelekatan pada hal-hal baru dalam sejarah, dan dosa sama artinya dengan pelestarian masa lalu," dan yang terdiri dari 'damnatio memoriae' (atau penghapusan dari ingatan) secara sistematis dan kejam terhadap semua yang bertentangan dengan modernitas. 

Uskup Agung Trieste itu menulis: “Kemajuan ingin segalanya berubah kecuali kemajuan itu sendiri, yang harus tetap ada. Kemajuan harus melestarikan kemajuan sebagai sesuatu yang tidak dapat disangkal, tidak pernah dapat dikritik, tidak pernah dapat dilampaui, dan tidak pernah dapat dihapus. Hal yang sama juga dapat dikatakan tentang revolusi: revolusi mengubah segalanya kecuali realitas revolusi yang tidak dapat diubah, dan yang tetap mutlak. Demikian juga, "budaya pembatalan" harus membatalkan segalanya, tetapi budaya pembatalan itu sendiri harus tetap menjadi prinsip mutlak."

Kecaman ini menandai kembalinya gnosis anti-Kristen, yang bukan kebetulan merupakan sekutu dari “Jaman pencerahan dan propaganda anti-agama oleh borjuasi Protestan berbahasa Inggris,” yang tidak lain merupakan buah dari “berabad-abad disinformasi yang sudah direncanakan.” Sejak reformasi palsu Lutheran dan seterusnya, kesatuan Eropa Katolik yang dipecah oleh bidat biarawan Jerman dan skisma Anglikan, dengan tegas menunjukkan bagaimana revolusi sipil (yang dapat kita definisikan sebagai bidat politik) menemukan landasan ideologisnya dalam kesesatan doktrin dan moral.

Pengamatan berani Uskup Agung Crepaldi membatasi dirinya pada budaya pembatalan (cancel culture) dalam masyarakat sipil. Tapi sayangnya ia mengabaikan upaya serupa yang tidak kalah seriusnya dan telah dikejar dengan keras kepala di jantung Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan Kedua. Ini menegaskan bahwa kemurtadan bangsa-bangsa Kristen, yang secara sistematis telah menghilangkan jejak Kekristenan dari badan-badan sosial, harus didahului dengan penghapusan/pembatalan serupa terhadap masa lalu dari tubuh gerejawi, yang disertai anggapan bahwa yang baru secara ontologis lebih baik dan lebih unggul secara moral, tanpa memperhitungkan dasarnya, yaitu terlepas dari niat mereka yang memberlakukannya, dan di atas segalanya terlepas dari evaluasi terhadap konsekuensi atau buah-buahnya.

Paus St. Pius X mendefinisikan Modernisme sebagai bidat yang berasal dari kesalahan filosofis ini. Apa pun yang baru dianggap sebagai "pasti baik" hanya karena itu baru. Dan ini terlepas dari bukti bahwa pembatalan tradisi lama di Gereja telah menyebabkan bencana kerusakan – pada tingkat doktrinal, moral, liturgi, disiplin, dan juga pada tingkat budaya serta seni populer – sebagaimana yang sudah diprediksi akan terjadi. 

Konsili menetapkan hal-hal baru dan apa yang mereka sebut "kemajuan" sebagai norma, tetapi tidak membatasi dirinya pada hal tersebut. Para arsiteknya juga harus membatalkan masa lalu, karena perbandingan sederhana antara novus dan vetus (antara yang baru dan yang lama) menyangkal gagasan bahwa yang baru itu baik dan yang lama itu perlu dikutuk. Itu dapat terlihat berdasarkan buahnya masing-masing. 

Reformasi liturgi itu sendiri adalah "disinformasi yang direncanakan": pertama-tama karena dipaksakan atas dasar kebohongan, yaitu bahwa umat beriman tidak memahami perayaan ritus dalam bahasa Latin; dan kedua karena fakta bahwa lex orandi sebagai ekspresi dari lex credendi secara sengaja dilepaskan dari pemahaman ortodoksi Katolik, dan secara aktif memang berupaya disangkal. 

Instrumen utama dari propaganda kaum progresif dan budaya pembatalan yang diterapkan di lingkungan gerejawi adalah liturgi yang diperbaharui (yaitu Misa Novus Ordo). Ini hampir sama seperti yang dilakukan oleh reformasi palsu Lutheran, yang secara progresif menghilangkan warisan iman, tradisi, dan sikap sehari-hari orang-orang Kristen, yang selama berabad-abad oleh ajaran iman Katolik telah diresapkan ke dalam kehidupan umat beriman dan bangsa-bangsa.

Budaya pembatalan tidak bisa dihindari ketika apa yang baru harus diterima tanpa kritik, dan apa yang kuno – yaitu yang dianggap sebagai “tradisi lama” – harus dilupakan sehingga tidak tetap ada di masa sekarang sebagai acuan pembanding yang merugikan. Dan bukan suatu kebetulan jika novel George Orwell "1984" meramalkan penyensoran informasi ex post (atau setelah fakta) yaitu melakukan koreksi terhadap berita masa lalu untuk disesuaikan dengan tujuannya yang sudah berubah di masa sekarang. Di sisi lain, upaya perbandingan sederhana telah menghasilkan perbedaan yang memicu penilaian yang bijaksana, mempertanyakan dogma kemajuan, dan mengungkapkan harta berharga masa lalu yang saat ini tidak dapat diulangi oleh siapa pun, justru karena hal itu adalah hasil dari dunia masa lalu yang ironisnya pada saat ini telah ditolak secara apriori.

Jika dalam beberapa dekade terakhir para pengikut “progresivisme Katolik” – sebuah ungkapan yang sebenarnya tidak lebih merupakan sebuah kebodohan – telah bekerja untuk melemahkan Tradisi dan berupaya menggantinya dengan antitesisnya, maka dalam sepuluh tahun "kepausan" Bergoglian ini budaya pembatalan telah mengambil bentuk kemarahan ideologis, mulai dari etika situasi Amoris Laetitia hingga ekologi neo-Malthusian Laudato Si' dan ekumenisme masonik Fratelli Tutti. Selain itu juga memanifestasikan dirinya dalam bentuk penghilangan tanda-tanda eksterior, mulai dari jubah liturgi hingga simbol-simbol dan gelar kepausan. 

Bahkan melalui Tradisiones Custodes dan Desiderio Desideravi budaya pembatalan ini mencapai titik pembatalan substansial Liturgi Apostolik, yang oleh Motu Proprio Summorum Pontificum sempat diberi kebebasan setelah empat puluh tahun pengucilannya. Budaya pembatalan dalam segala hal, baik dalam hal metode, penerapan, tujuan, dan ideologi yang mendasarinya, adalah kesamaan yang menyatukan mereka yang mempromosikannya. Ini sebuah operasi subversif, karena menggunakan otoritas Gereja untuk menghancurkan Gereja dan mengubah tujuannya yang benar, seperti halnya otoritas Negara dirampas untuk menghancurkan kepentingan Bangsa dan kepentingan umum warganya.

“Kadang-kadang membawa renda nenek tidak apa-apa, tetapi hanya kadang-kadang. Itu untuk menghormati nenek, bukan? ” begitulah kata Bergoglio (menyindir penggunaan jubah imam yang kaya ornamen) saat berbicara pada sekelompok imam bulan Juni lalu. Dia melakukannya dengan kedangkalan yang sama seperti yang ditunjukkan oleh seseorang yang bodoh di depan sebuah karya seni yang hebat atau mahakarya sastra. Atau lebih tepatnya, seperti seseorang yang mengetahui nilainya dengan baik, tetapi ia sendiri hanya memiliki sampah dan barang rongsokan untuk ditawarkan sebagai alternatif, akibatnya ia hanya mampu mendiskreditkan dan mencemooh. Melikuidasi harta tak ternilai dari doktrin dan spiritualitas Liturgi Apostolik dengan istilah “renda nenek”, mengkhianati kesadarannya sendiri bahwa ia tidak memiliki argumen dan kemampuan untuk menjelaskan alasan besarnya intoleransi terhadap sesuatu yang bagi orang-orang dengan itikad baik akan terdorong untuk melestarikan, menjaga, dan memahaminya.

Mereka yang secara individual tetap gigih membantah kekeliruan "tindakan magisterium dan pemerintahan" Bergoglio, menolak untuk menyadari kenyataan yang mengerikan dan menyakitkan, yang secara signifikan menemukan mitranya di dunia Barat. Sebuah dunia yang, seperti biasanya, mengambil contoh dari Gereja – di masa lalu mengambil inspirasi dari kebaikannya dan hari ini mengikutinya dalam kejahatan. Dan dengan demikian, tidak ada gunanya menyangkal dokumen atau deklarasi ini dan itu, atau menganggapnya sebagai skandal menurut tradisi Katolik. Itu karena budaya pembatalan – sebagai ekspresi pemikiran Gnostik dan revolusioner – secara ontologis adalah musuh dari akal sehat, dan sebelum itu juga adalah musuh dari iman. 

Sementara mereka yang mencela kerusakan yang tak terhitung dari operasi kriminal berupa penindasan dan penghapusan terhadap tradisi, termasuk dengan menunjukkan bencana kerusakan yang terjadi di berbagai paroki dan komunitas religius, tampaknya tidak menyadari bahwa justru kerusakan itulah yang secara sengaja sedang dilakukan. Mereka jatuh ke dalam penipuan yang sama dengan orang-orang yang pada saat psikopandemi terkejut dengan adanya efek samping yang serius dan "penyakit mendadak" yang disebabkan oleh vaksin eksperimental sementara otoritas kesehatan tidak melarang distribusi vaksin tersebut. Padahal jelas hal itu memang jadi tujuan karena dimaksudkan untuk mengurangi populasi dunia sebesar 10-15%, seperti yang telah dijelaskan oleh Mr. Gates kepada kita.

Kenyataannya, keengganan untuk mempertimbangkan hubungan sebab akibat merupakan konsekuensi dari penolakan terhadap seluruh sistem logika dan filsafat Barat yang pada hakekatnya bersifat Aristotelian dan Thomistik. Karena pemikiran yang menyimpang (seperti kesesatan KVII, misalnya) hanya bisa diterima dalam irasionalitas buta dan ketaatan budak. Bahkan jika di balik itu para arsitek revolusi (yaitu kaum modernis liberal) memiliki rencana yang sangat jelas dan logis, yang bagaimanapun tidak dapat mereka ungkapkan secara terbuka karena sifatnya yang subversif dan kriminal.

Gereja 'tersembunyi' (deep church) dan pemerintahan 'tersembunyi' (deep state), keduanya bergerak secara paralel dan sinkron, karena yang menggerakkan keduanya adalah kebencian terhadap Yesus Kristus. Matriks antikristusnya terletak pada penipuan yang merupakan ciri si Pendusta. Suatu penipuan yang dimulai dengan membuat Adam dan Hawa percaya bahwa ketidaktaatan akan membuat mereka serupa dengan Tuhan, padahal sesungguhnya mereka telah diciptakan “menurut gambar dan rupa Tuhan” justru melalui penyesuaian diri secara bebas pada hukum ilahi yang ditanamkan oleh Sang Pencipta dalam makhluk dan ciptaan. Kita menemukan penipuan yang sama dalam upaya untuk membuat kita percaya bahwa manusia dapat menyangkal Tuhan dan memberontak melawan Hukum Kudus-Nya tanpa konsekuensi, sementara Iblis yang pertama-tama berdosa akibat kesombongan, telah mengutuk dirinya sendiri untuk selama-lamanya. 

Mitos kebebasan, di mana lisensi dan ajaran tentang kebebasan diputarbalikkan, adalah suatu kebohongan. Negara sekuler, yang menyangkal kekuasaan Kristus Raja dalam masyarakatnya, adalah kebohongan. Ekumenisme, yang menempatkan Kebenaran Tuhan pada tingkat yang sama dengan kesesatan semata-mata demi perdamaian dan persaudaraan yang sesungguhnya tidak dapat ada di luar satu Gereja Kristus adalah sebuah kebohongan. Menempatkan kemajuan sebagai kebaikan mutlak, adalah kebohongan karena apa yang dianggap baik pada kenyataannya adalah kejahatan yang mempengaruhi individu dan masyarakat, baik masyarakat sekuler maupun masyarakat religius. Juga adalah suatu kebohongan untuk menyatakan sebagai kemenangan tuntutan orang banyak, sesuatu yang telah dirancang untuk dipaksakan oleh elit konspirator kepada massa, dengan satu-satunya tujuan tidak lain untuk mendominasi mereka dan membawa mereka ke dalam kebinasaan.

Itulah sebabnya, di hadapan semua omong kosong Bergoglian, yang terus merayakan keberhasilan Konsili Vatikan II dan kemenangan gereja pasca-konsili meskipun ada krisis besar, komentar apa pun tidak ada gunanya. Apa yang dijual kepada kita sebagai penemuan modernitas terbaru – mulai dari ideologi gender hingga ideologi kesehatan neo-Malthusian – adalah sampah ideologis lama yang tujuannya hanya untuk menjauhkan jiwa dari Tuhan. Akibatnya pepatah “misery loves company” (yang artinya orang yang menderita senang melihat orang lain juga menderita) menjadi ringkasan yang tepat dari tindakan jahat iblis, yang iri terhadap manusia yang memiliki jiwa dan tubuh ternyata oleh Penyelenggaraan Ilahi memperoleh Penebusan sementara para malaikat, sebagai roh murni, tidak memperolehnya. Sebuah Penebusan yang diperoleh melalui Inkarnasi Pribadi Kedua dari Tritunggal Mahakudus, dan diabadikan dalam buah-buahnya melalui Tubuh Mistik Kristus, yaitu Gereja Katolik yang Kudus.

Bergoglio menuduh orang-orang sebagai penganut Gnostisisme dan Pelagianisme jika mereka tidak dapat menerima gagasan dari seorang Paus Gnostik dan Pelagian, yang nilai-nilai kebaikannya tidak terdiri dari upaya untuk menyesuaikan diri terhadap model kesempurnaan yang dirancang bagi kita oleh Tuhan, melainkan dalam melakukan apa pun yang menurut kita baik. Tapi ini, bagaimanapun, tidak lain adalah dosa Lucifer, yang menjadikan prinsip Non Serviam (atau pembangkangannya) sebagai aturan moral.

Uskup Agung Crepaldi dengan baik menunjukkan matriks antikristus dari budaya pembatalan. Tetapi analisis ini, yang valid dan benar mengenai apa yang terjadi di dunia sipil, juga harus dengan berani diperluas ke dunia Katolik, di mana matriks antikristus yang sama telah ada tanpa terbantahkan sejak Konsili Vatikan II membuat 'berhala pembaharuan', dengan menyangkal dua ribu tahun Tradisi yang didasarkan pada Sabda Allah dan pada ajaran para Rasul serta para Paus Roma. Kemarahan ideologis Bergoglio hanyalah konsekuensi logis dari premis-premis ini, dan fakta bahwa seorang terapis pijat dapat merancang logo berbau LGBT untuk Tahun Yobel 2025 hanyalah konfirmasi suram yang terbaru dari metastasis yang sedang berlangsung.

Saya mendorong saudara-saudara saya di keuskupan, para imam dan semua umat beriman untuk memahami aspek mendasar dari kemurtadan saat ini, karena kita tidak dapat berbuat baik untuk mengubah masyarakat sipil dan mengembalikan Mahkota kerajaan kepada Kristus selama Mahkota itu terus dikuasai oleh musuh-musuh-Nya di dalam rahim Gereja.

+ Carlo Maria Viganò, Uskup Agung

Posting Komentar

0 Komentar