PALESTINAISME - Akar Masalah Konflik Israel - Palestina


 

Transkrip:

Berdirinya negara Israel tidak bisa dilepaskan dari nama Theodor Herzl, seorang Yahudi yang dianggap sebagai pelopor gerakan zionisme modern. Terdorong oleh keprihatiannya pada nasib bangsa Yahudi diberbagai negara Eropa, pada tahun 1896 Theodor Herzl menulis pamflet berjudul "Der Judenstaat" yang mendorong perlunya bangsa Yahudi memiliki sebuah negara merdeka sendiri. Pada tahun 1897 dia menorganisir Kongres Zionis yang pertama di Basel, Swiss, yang bertujuan untuk mewujudkan negara Yahudi di tanah asal mereka yang kini bernama Palestina. Itulah awal dari gerakan zionisme modern.

Upaya orang-orang Yahudi untuk mencari dukungan bagi gagasan zionisme akhirnya mendapatkan sambutan positif dari Inggris. Pada tahun 1917 Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour mengeluarkan surat resmi kepada tokoh Yahudi di Inggris bernama Lord Rothschild yang isinya menjanjikan dukungan Inggris bagi berdirinya sebuah negara untuk bangsa Yahudi di Tanah Palestina, tepatnya di daerah "Mandat Inggris di Palestina" yang telah direbut Inggris dari kekuasaan Ottoman Turki. Pada waktu itu Mandat Inggris di Palestina mencakup wilayah yang sekarang ini menjadi bagian dari negara Israel dan Yordania. Surat ini kemudian dikenal dengan nama Deklarasi Balfour. Adanya dokumen tersebut kemudian mulai mendorong banyak orang-orang Yahudi di Eropa mulai datang dan menetap di Palestina, cikal bakal negara mereka.

Perlu dicatat, kedatangan bangsa Yahudi ke Tanah Palestina terjadi secara legal. Mereka mendapatkan tanah dengan cara membelinya dari orang-orang Arab yang tinggal di sana. Biasanya orang-orang Arab memberikan mereka tanah-tanah yang penuh rawa dan tandus. Tapi dengan keahlian dan ketekunannya orang-orang Yahudi pendatang tersebut berhasil mengolah tanah-tanah mereka menjadi wilayah pertanian yang subur dan produktif. Keberhasilan ini semakin mendorong lebih banyak orang Yahudi di berbagai negara yang datang ke tanah nenek-moyang mereka. Tapi di sisi lain, keadaan ini juga memicu munculnya konflik dengan orang-orang Arab yang semakin lama semakin meningkat. Konflik ini kelak memuncak saat Israel memproklamirkam kemerdekaannya.

Setelah PD II dan tragedi holocaust yang merengut korban jutaan orang Yahudi, migrasi orang-orang Yahudi ke Tanah Palestina meningkat drastis. Simpati banyak negara atas nasib bangsa Yahudi akhirnya mendorong PBB pada tahun 1947 mengeluarkan resolusi nomor 181 yang isinya membagi dua wilayah mandat Inggris di Palestina yang tersisa setelah kemerdekaan Yordania, sebagian untuk bangsa Yahudi dan sebagian lagi untuk bangsa Arab. Harap dicatat bahwa resolusi PBB sama sekali tidak menyebut bangsa Palestina, tetapi Arab. Pada saat itu memang istilah 'bangsa Palestina' sama sekali tidak dikenal, mereka yang sekarang ini mengaku sebagai bangsa Palestina tidak lebih dari orang-orang Arab yang tinggal di wilayah mandat Inggris di Palestina. 

Resolusi PBB nomor 181 ini adalah solusi dua negara yang pertama kali ditawarkan pada bangsa Yahudi dan orang-orang Arab di Tanah Palestina. Meski hanya mendapat bagian wilayah yang kurang subur, bangsa Yahudi menerima resolusi tersebut dan pada tanggal 14 Mei 1948 mereka menyatakan kemerdekaannya serta menunjuk David Ben Gurion sebagai pemimpin mereka.

Sayangnya, orang-orang Arab atau yang sekarang dikenal sebagai orang-orang Palestina, menolak solusi dua negara yang ditawarkan PBB ini meskipun sebenarnya mereka sangat diuntungkan. Dalam pembagian yang diusulkan PBB, orang Arab mendapatkan bagian tanah-tanah yang produktif dan juga mendapatkan seluruh wilayah Yudea dan Samaria minus Yerusalem yang dinyatakan sebagai wilayah internasional. Jadi sejak awal sebenarnya solusi dua negara sudah diusulkan dan hasilnya Israel setuju tapi Arab atau Palestina menolak meski sebenarnya mereka mendapatkan bagian wilayah yang lebih menguntungkan. Sikap penolakan ini juga didukung oleh negara-negara Arab lain yang ada di sekitar mereka.

Sehari setelah Israel menyatakan kemerdekaannya, yaitu tanggal 15 Mei 1948, lima negara Arab: Mesir, Yordania, Suriah, Irak, dan Lebanon, menyatakan perang dengan Israel dan mulai melancarkan serangan. Pada hari itu terjadilah peristiwa 'Nakhba' atau bencana, dimana ratusan ribu orang Arab-Palestina mengungsi keluar wilayah Israel.

Oleh para pendukung Palestina, Nakhba ini seringkali dinarasikan sebagai pengusiran tentara Israel terhadap bangsa Palestina dari tanah mereka. Tapi ini kebohongan besar. Yang terjadi sebenarnya bukan tentara Israel yang mengusir mereka, tapi negara-negara Arab yang sudah berniat menyerang Israel memerintahkan mereka untuk pergi agar negara-negara Arab tersebut dapat dengan leluasa melakukan serangan ke Israel. Ini bisa dibuktikan dari berita-berita surat kabar yang muncul di seputar kemerdekaan Israel pada masa itu. Orang-orang Arab-Palestina yang memilih tetap tinggal di Israel juga menjadi saksi bahwa bukan tentara Israel yang mengusir orang-orang Arab-Palestina, tapi negara-negara Arab yang telah meminta mereka keluar dari Israel. Rencana awalnya, setelah negara-negara Arab berhasil mengalahkan dan mengusir orang-orang Yahudi maka orang-orang Arab-Palestina yang mengungsi dapat kembali ke tanah mereka.

Sialnya, dalam perang tersebut negara-negara Arab justru kalah telak dan kehilangan banyak wilayah yang seharusnya menjadi bagian untuk orang-orang Arab-Palestina. Setelah gencatan senjata tahun 1949 negara-negara Arab hanya mampu mengusasai sedikit wilayah. Mesir menduduki Gaza dan Yordania menguasai wilayah Yudea dan Samaria yang kemudian mereka ubah namanya menjadi Tepi Barat. Akibatnya orang-orang Arab-Palestina yang sudah terlanjur diminta mengungsi, tidak dapat kembali ke tanah mereka sampai sekarang. Itulah fakta sesungguhnya dari peristiwa Nakhba dan awal mula para pengungsi Palestina.

Zionisme VS Palestinaisme

Sekarang kita akan melihat mengapa orang-orang Arab-Palestina menolak solusi dua negara yang ditawarkan PBB pada tahun 1947, dan penyebab sesungguhnya dari perlawanan mereka terhadap Israel sampai hari ini. Dengan memahami ini kita akan dapat melihat akar sesungguhnya dari konflik Israel-Palestina yang memuncak pada tragedi 7 Oktober 2023 dan penghancuran Gaza.

Seharusnya, apabila orang-orang Arab-Palestina sejak awal menerima usulan solusi dua negara oleh PBB tahun 1947, mereka kini sudah memiliki sebuah negara merdeka yang cukup besar. Jauh lebih besar dari sekedar wilayah Gaza dan Yudea-Samaria yang mereka sebut sebagai Tepi Barat. Tapi sayangnya mereka menolak dan memilih untuk berjuang melawan Israel.

Sikap ini menunjukkan satu hal: orang-orang Arab Palestina tidak membutuhkan sebuah negara! Sewaktu Gaza diduduki Mesir dan Tepi Barat diduduki Yordania dari tahun 1949 sampai tahun 1967, tidak pernah terdengar sedikit pun tuntutan orang Palestina untuk merdeka. Selain itu mereka sebenarnya sudah memiliki sebuah negara yang besar dan merdeka, yaitu Yordania! Itulah negara bagi orang-orang Arab-Palestina di wilayah bekas mandat Inggris di Palestina. Tidak perlu heran jika bendera Yordania hampir sama dengan bendera Palestina!

Lalu apa yang sebenarnya diinginkan orang-orang Palestina?

Akar masalah dari seluruh konflik yang berkepanjangan hingga hari ini tidak lain adalah keinginan negara-negara Arab untuk menolak keberadaan negara Israel di Timur Tengah. Itu intinya! Sementara kemerdekaan Palestina hanyalah dalih positif yang digunakan untuk menutupi tujuan negatif yang sesungguhnya, yaitu penolakan terhadap keberadaan negara Israel.

Jadi sumbernya bukanlah gerakan nasionalisme Palestina yang menuntut kemerdekaan, tapi ideologi jahat negara-negara Arab yang menolak keberadaan negara Israel dengan berkedok tuntutan kemerdekaan Palestina. Kita sebut saja ideologi jahat ini sebagai Palestinaisme! Semangat jahat ideologi palestinaisme ini terungkap dalam semboyan mereka: "From the river to the sea, Palestine will be free!” yang tidak lain adalah ungkapan genosida terhadap bangsa Israel!

Jadi bangsa Palestina sebenarnya adalah orang-orang Arab di Palestina yang dimanfaatkan sebagai alat untuk untuk mewujudkan semangat palestinaisme, yang bertujuan untuk memusnahkan keberadaan bangsa Yahudi di Timur Tengah. Perlu diingat bahwa istilah bangsa Palestina baru resmi digunakan dalam gerakan PLO yang didirikan tahun 1964. Sebelum itu, belum pernah ada dokumen resmi manapun yang menyebut adanya bangsa Palestina!

Mengapa negara-negara Arab menolak keberadaan negara Israel?

Sebelum kemunculan negara Israel, bangsa Yahudi sudah berabad-abad tinggal di Tanah Palestina dan hidup berdampingan dengan bangsa-bangsa lainnya. Tapi sejak Yerusalem dikuasai Islam pada abad 7, keberadaan mereka di sana adalah sebagai kaum dhimi, warga kelas dua yang tidak memiliki hak-hak politik serta wajib membayar jizya kepada penguasa muslim.

Keberadaan negara Israel di Tanah Palestina tahun 1948 tentunya menghapuskan status dhimi dari orang-orang Yahudi dan sekaligus mengangkat derajat mereka setara dengan orang-orang muslim di wilayah itu. Hal ini tentu saja mengusik arogansi kaum muslim di Timur Tengah yang baru saja terpukul hebat akibat runtuhnya Kekalifahan Islam terakhir di Turki pada tahun 1924. 

Keberadaan negara Israel di antara negara-negara Islam dianggap sebagai pukulan terakhir yang menghancurkan cita-cita Islam untuk menguasai dunia. Inilah yang tidak dapat diterima, tidak hanya oleh semua negara Arab, tapi oleh semua negara Islam di seluruh dunia. Tidak perlu heran kalau orang-orang di negara Indokonoha dengan para pemimpinnya yang punya ndas ber-IQ 99, juga sibuk menyuarakan anti-zionisme dan mendukung penuh kemerdekaan Palestina! Persoalan sesungguhnya adalah terusiknya semangat islamisme yang ingin mendominasi dunia oleh keberadaan negara Israel.

Dengan memahami ini kita sekarang bisa melihat dengan lebih jelas akar masalah konflik Israel-Palestina. Konflik ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kemerdekaan bangsa Palestina, yang sebenarnya sudah punya Yordania sebagai negara mereka. Akar dari konflik ini adalah keinginan untuk menolak keberadaan negara Israel yang menjadi batu sandungan bagi ambisi islamisme. Bagaimana mungkin Islam dapat menguasai dunia kalau di pusatnya, yaitu di Timur Tengah, ada sebuah negara Israel merdeka yang menolak tunduk pada kekuasaan dan nilai-nilai Islam? Itu akar masalahnya!

Itu sebabnya tawaran solusi dua negara tidak akan pernah berhasil karena yang diinginkan orang-orang Palestina bukanlah sebuah negara Palestina merdeka tapi penghapusan eksistensi negara Israel demi semangat dominasi islamisme.

Terima kasih atas perhatian anda...

Viva Christo Rey!

Posting Komentar

0 Komentar