Salam damai dan sejahtera...
Tidak berapa lama setelah resmi dilantik, Presiden AS Donald Trump segera tancap gas dengan berbagai kebijakannya. Ada satu kebijakannya yang layak menjadi perhatian kita karena menyangkut relasi manusia dengan Tuhan, dan seharusnya ikut menjadi urusan Gereja, yaitu tentang persoalan gender.
Dalam pernyataannya sebagaimana ditampilkan dalam video di awal, Donald Trump mengatakan, "Mulai hari ini akan menjadi kebijakan pemerintah bahwa hanya ada dua gender, laki-laki dan perempuan."
Dari semua yang dikatakannya, mungkin inilah pernyataan paling bersejarah dan berdampak penting bagi peradaban. Pernyataan ini menjadi pukulan telak bagi teori gender yang saat ini sedang didorong secara masif oleh kaum liberal dan globalis sebagai bagian dari budaya DEI (Diversity, Equity, dan Inclusion) yang sedang mereka bangun.
Ironisnya, hanya beberapa minggu sebelumnya Gereja Katolik justru mengeluarkan kebijakan yang mendukung teori gender. Pada tanggal 10 Januari yang lalu, Vatikan baru saja menyetujui aturan dari uskup-uskup Italia yang mengijinkan pria homoseksual untuk menjadi imam sejauh mereka tetap hidup selibat.
Di tengah kasus pelecehan seksual di kalangan klerus yang dalam kenyataannya sebagian besar melibatkan klerus-klerus dengan kecenderungan homoseksual, keputusan ini tidak hanya bertentangan dengan aturan Gereja sebelumnya yang melarang orang dengan kecenderungan homoseksual untuk menjadi imam, tapi juga sangat ceroboh dan tidak bertanggung jawab. Kita tidak perlu heran jika kelak di masa yang akan datang ada banyak imam-imam Katolik yang berorientasi seksual menyimpang alias gay. Dijamin ini akan membuat wajah Gereja Katolik menjadi sangat menggelikan dan sekaligus memalukan.
Lalu seberapa penting persoalan gender ini bagi orang beriman?
Dosa yang membuat Tuhan harus menghukum kota Sodom dan Gomorah, yaitu homoseksualitas, dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari persoalan gender. Kaum liberal dan modernis dalam beberapa dekade terakhir mulai membedakan antara gender dan jenis kelamin. Jika jenis kelamin berkaitan dengan identitas fisik atau biologis yang tidak berubah sejak lahir, maka gender berkaitan dengan ekspresi dan karakter maskulin / feminin yang dibentuk oleh budaya, cara berpikir, pengalaman, kondisi hormonal, dan pola asuh. Berbeda dengan jenis kelamin, gender tidak bersifat tetap dan dapat berubah-ubah. Seseorang yang secara biologis laki-laki dapat memutuskan untuk memilih gender perempuan sebagai identitasnya, begitu juga sebaliknya.
Dengan demikian teori gender ini menjadi dasar pembenaran bagi homoseksualitas. Berdasarkan teori gender ini maka homoseksualitas atau hubungan seks sesama jenis, harus dipandang sebagai sesuatu yang normal dan perlu mendapat tempat di masyarakat. Dengan teori gender ini maka dosa menjijikkan yang di masa lalu telah mendatangkan hukuman maut bagi kota Sodom dan Gomorah, akan menjadi suatu kewajaran dalam peradaban manusia modern. Singkatnya, teori gender sengaja dirancang agar manusia melawan Tuhan!
Selain kutukan pada kota Sodom dan Gomorah, berikut adalah beberapa pernyataan Kitab Suci yang menentang homoseksualitas:
Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian (Im.18:22)
Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka. (Rm.1:26-27)
Selain itu St. Yohanes Krisostomus juga mengecam homoseksualitas sebagai dosa yang lebih buruk dari zinah karena melanggar hukum kodrat dan sekaligus penghinaan terhadap tata ciptaan Tuhan. Sementara St. Thomas Aquinas menempatkan homoseksualitas sebagai 'dosa melawan kodrat' (peccata contra naturam).
Jadi sejak awal Gereja Katolik menentang homoseksualitas. Atas dasar ini Gereja juga konsisten melarang orang-orang berkecenderungan seksual yang menyimpang untuk menjadi imam.
Tapi itu cerita jaman dulu, ketika Gereja Katolik masih setia pada ajaran iman para Rasul. Sekarang, sejak Konsili Vatikan II Gereja Katolik sudah "membuka diri" pada perkembangan jaman. Akibatnya, nilai-nilai dunia mulai mempengaruhi kebijakan dan bahkan juga ajaran Gereja. Termasuk dalam persoalan homoseksualitas.
Seperti yang sudah disebut di awal tadi, tanggal 10 Januari lalu Vatikan baru saja menyetujui aturan yang diterbitkan oleh uskup-uskup Italia, yang isinya mengijinkan pria berkecenderungan gay untuk masuk seminari dan menjadi imam, sejauh mereka bersedia untuk hidup selibat. Apapun alasannya, dengan keputusan tersebut Gereja Katolik pasca-konsili terbukti telah menyimpang dari ajaran iman para Rasul dengan mulai bersikap longgar terhadap dosa yang dikutuk begitu keras oleh Tuhan. Gereja konsili mulai toleran dan permisif terhadap perilaku terkutuk yang melawan kodrat dan menghina tata ciptaan Tuhan.
Setelah melalui dokumen "Fiducia Supplicans" Gereja membenarkan pemberkatan terhadap pasangan LGBT, kini ditambah lagi dengan Vatikan resmi menyetujui pria gay untuk menjadi imam asalkan mereka selibat. Jika sudah seperti itu keadaannya, masihkah ada yang percaya Gereja Katolik pasca-konsili yang nekat melawan kodrat ciptaan Tuhan ini masih sama dengan Gereja yang dibangun Yesus Kristus? Atau seperti yang sudah dinubuatkan dalam Kitab Wahyu, kini Gereja Katolik pasca-konsili sudah menjadi Babel Besar, perempuan pelacur yang menjual dirinya demi keduniawian?
Sementara Gereja Katolik pasca-konsili menyerah terhadap tuntutan dunia untuk melawan kodrat dengan semakin membenarkan perilaku seksual menyimpang, suara Presiden AS Donald Trump yang menegaskan hanya ada dua jenis gender manusia: laki-laki dan perempuan, menjadi suara kenabian yang penting di jaman ini. Dengan pernyataannya tersebut, Donald Trump mengembalikan kewarasan peradaban manusia dan melakukan perlawanan terhadap teori gender yang menentang kodrat penciptaan. Mungkin pernyataan itu adalah salah satu cara Donald Trump untuk menunjukkan rasa terima kasihnya kepada Tuhan karena telah diselamatkan dari maut beberapa bulan yang lalu.
Sungguh ironis, bukan Gereja Katolik tapi seorang Donald Trump yang menyuarakan kehendak Tuhan untuk menegakkan kembali hukum kodrat yang sedang dirusak oleh manusia-manusia modern atas nama perkembangan jaman. Semoga ini menyadarkan kita semua betapa Gereja Katolik pasca-konsili sudah mengabaikan kehendak Tuhan dan tersesat begitu jauh karena mengikuti keinginan-keinginan dunia yang menuju pada kebinasaan. Inilah buah-buah buruk dari kesesaan Konsili Vatikan II...!!!
Terima kasih atas perhatian anda...
Viva Christo Rey!
0 Komentar