Transkrip:
Salam damai dan sejahtera bagi kita semua...
Dikasteri Ibadat Ilahi di Vatikan pada tanggal 8 November, dengan persetujuan Paus, resmi mengakui Misa Katolik dengan ritus Maya. Liturgi ini dirancang untuk mengakomodasi elemen budaya Maya dalam perayaan Ekaristi, khususnya di wilayah seperti Chiapas, Meksiko, yang memiliki populasi masyarakat adat Maya cukup besar.
Banyak hal menarik yang dapat kita bahas dari perkembangan terbaru ini. Oleh karenanya kita akan membagi pembahasannya menjadi beberapa bagian. Pada bagian ini kita akan membahas dampak ritus baru ini pada Gereja Konsili.
Ada beberapa elemen ritual yang baru pada ritus ini. Antara lain digunakannya ritual tari-tarian tradisional pada berberapa bagian seperti persembahan, doa umat, juga pada arak-arakan di akhir Misa. Mengikuti tradisi Maya, upacara pengasapan dupa pada altar, Kitab Suci, dan juga umat, diserahkan pada perempuan. Selanjutnya yang juga cukup menonjol adalah pemberian peran yang lebih besar bagi awam untuk memimpin beberapa bagian Misa.
Sekalipun perubahan yang ada pada liturgi Misa ritus Maya cukup signifikan, namun perubahan tersebut masih sejalan dengan dokumen Sacrosanctum Concillium dari Konsili Vatikan II. Dapat kita katakan liturgi Misa ritus Maya ini tidak lain adalah perkembangan lebih lanjut liturgi Novus Ordo. Dan ritus Maya juga bukan yang pertama mengadopsi budaya setempat karena sebelumnya sudah ada ritus Zaire di Afrika yang juga diresmikan oleh Vatikan pada tahun 1988.
Bahkan di Indonesia, adaptasi budaya setempat ke dalam liturgi Misa juga sudah umum dikenal dalam berbagai misa inkulturatif di berbagai daerah. Bedanya, misa inkulturatif di Indonesia saat ini belum mendapat status resmi dari Vatikan, itu saja. Bukan tidak mungkin suatu saat Vatikan akan meresmikan juga liturgi-liturgi misa inkulturatif di Indonesia sehingga kelak kita akan mengenal ada Misa liturgi ritus Mataraman, ritus Pajajaran, ritus Karo, ritus Dayak, ritus Flores, ritus Bali, ritus Toraja, ritus Kejawen, ritus Kuda Lumping, ritus Koplo dan lain-lain.
Itulah masa depan Misa Novus Ordo hasil dari Konsili Vatikan II....
Lalu apa dampak kehadiran ritus baru ini bagi Gereja?
Bagi kaum tradisionalis yang mengikuti ritus Misa Latin Tradisional, tentu hal ini tidak berpengaruh apa-apa. Apapun yang terjadi pada Misa Novus Ordo, kaum tradisionalis tetap mengikuti Misa Latin yang sama! Tetapi bagi para pengikut ritus Novus Ordo, penambahan ritus ini akan menyadarkan mereka bahwa Misa Novus Ordo ternyata masih akan terus berevolusi entah sampai kapan.
Lex orandi lex credendi, bagaimana kita berdoa menentukan iman kita. Maka perubahan terus-menerus yang akan terjadi pada Misa Novus Ordo juga menunjukkan bahwa iman Katolik ala KV2 juga masih akan berevolusi entah sampai kapan.
Memang, Misa Latin sendiri juga mengalami proses perkembangan sejak jaman bapa-bapa Gereja. Namun semua perubahan yang terjadi bersifat organik dan tidak mengubah teologi yang mendasari liturgi Misa. Perubahan yang organik seperti ini tidak berdampak apa-apa pada perubahan iman. Ini berbeda dengan Misa Novus Ordo yang memang sengaja melakukan perubahan teologi liturgi Misa demi memenuhi tuntutan agenda ekumenisme dan pembaharuan KV2. Perubahan semacam itu jelas ikut mengubah iman Katolik, bahkan termasuk mengubah eklesiologi Gereja Katolik.
Diresmikannya liturgi Misa ritus Maya yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Misa Novus Ordo, memperjelas adanya upaya mengubah eklesiologi Gereja. Masuknya ritual tari-tarian tradisional ke dalam liturgi Misa menunjukkan karakter Gereja konsili yang bersifat semakin inklusif, siap menampung elemen-elemen tradisional apapun untuk menjadi bagian dari kekatolikan. Termasuk juga menampung elemen-elemen tradisional yang berasal dari ritual pagan sekalipun. Sementara itu penugasan kaum perempuan untuk melaksanakan pengasapan dupa menunjukkan agenda Gereja konsili untuk mulai menerima perempuan secara bertahap ke dalam tugas-tugas imamat sebagaimana yang diinginkan oleh banyak kaum liberal. Dan akhirnya, diperluasnya peran awam dalam memimpin bagian-bagian tertentu dalam liturgi Misa menunjukkan kecenderungan Gereja konsili untuk menjadi semakin demokratis atau sinodal dengan cara membatasi peran klerus dan memaksimalkan peran awam.
Sebenarnya semua perubahan-perubahan itu sudah terjadi sejak lama secara bertahap di semua paroki Gereja Katolik, termasuk di Indonesia, sejak KV2. Tak ada hal yang benr-benar baru, hanya intensitasnya saja yang semakin jelas.
Kalau kita tidak ingin terkena dampak negatif dari perubahan-perubahan itu, solusinya adalah dengan menolak KV2 dan semua pembaharuannya, termasuk Misa Novus Ordo. Jadilah kaum tradisionalis yang setia pada ajaran iman para Rasul. Itu kuncinya.
Terima kasih atas perhatian anda...
Viva Christo Rey.
0 Komentar