Transkrip video:
Salam damai dan sejahtera bagi kita semua...
Kali ini saya akan mengangkat topik mengenai infalibilitas Konsili Vatikan II. Topik ini sangat penting karena dengan memahaminya kita tahu bagaimana harus menyikapi berbagai buah-buah buruk di Gereja Katolik yang berasal dari semangat konsili. Dan terutama bagaimana kita dapat mempertanggungjawabkan sikap penolakan kita terhadap KVII.
Para pendukung konsili biasanya selalu berasumsi bahwa KVII adalah sebuah konsili ekumenis yang dihadiri oleh ribuan uskup dan dipimpin oleh dua orang Paus, yaitu Paus Yohanes XXIII dan dilanjutkan oleh Paus Paulus VI. Oleh karenanya dokumen yang dihasilkan oleh konsili ini pastilah karya Roh Kudus dan harus ditaati oleh semua orang Katolik. Itulah dasar argumen mereka sehingga tanpa rasa malu mereka terus membela KVII dan semua buah-buah buruknya.
Bahkan di awal tahun lalu, Paus Fransiskus juga mengatakan bahwa Konsili Vatikan II adalah magisterium Gereja yang harus ditaati, sehingga mereka yang menolaknya telah menempatkan diri mereka di luar Gereja.
Benarkah demikian?
Tentu saja tidak! Sebab seperti yang diakui sendiri oleh Paus Paulus VI, yang tidak lain adalah salah seorang Bapa Konsili, dokumen KVII tidak bersifat infallible. Berikut pernyataan Paus Paulus VI mengenai hal tersebut:
“Ada orang-orang yang bertanya otoritas apa, kualifikasi teologis apa yang dimaksudkan Konsili bagi ajaran-ajarannya, karena Konsili menghindari mengeluarkan definisi dogmatis yang melibatkan infalibilitas Magisterium gerejawi. Jawabannya diketahui oleh siapa pun yang mengingat deklarasi konsili 6 Maret 1964, yang diulang pada 16 November 1964: mengingat karakter pastoralnya, Konsili menghindari pernyataan, dengan cara yang luar biasa, dogma-dogma yang dianugerahi dengan catatan infalibilitas.”
Sifat dokumen KVII yang tidak infallible ini juga bisa dipahami karena dalam konsili tersebut terjadi polarisasi yang tajam antara kaum liberal dan modernis yang ingin melakukan pembaharuan Gereja demi mengikuti perkembangan jaman dengan kaum konservatif yang berupaya setia pada ajaran Gereja. Akibatnya perdebatan dalam pembahasan setiap dokumen menjadi berkepanjangan, melelahkan, dan sulit untuk tercapai kesepakatan.
Untuk memecah kebuntuan tersebut maka Paus Paulus VI dalam konsili tersebut menyatakan kepada para bapa konsili bahwa dokumen yang kelak akan dihasilkan hanyalah bersifat pastoral dan tidak infallible. Dengan cara demikian kaum konservatif bersedia melunakkan posisi mereka dan membiarkan unsur-unsur pembaharuan dari kaum liberal masuk ke dalam dokumen. Itu sebabnya Paus Paulus VI, sesuai dengan janjinya kepada para bapa konsili, menyatakan dokumen-dokumen Konsili Vatikan II tidak bersifat infallible.
Infallible artinya bebas dari kesalahan, jika dokumen KVII tidak dinyatakan sebagai infallible itu artinya dokumen-dokumen KVII tidak bebas dari kesalahan atau dengan kata lain dokumen-dokumen tersebut mungkin mengandung kekeliruan!
Pertanyaannya, dapatkah dokumen yang tidak bebas dari kesalahan atau dokumen yang di dalamnya mungkin mengandung kekeliruan dijadikan sebagai bagian dari ajaran iman Gereja yang wajib ditaati? Tentu saja TIDAK!
Maka ketika LG 16 menyatakan kita dan muslim menyembah satu ALLAH yang sama, kita tegas menolaknya. Mustahil muslim yang menolak konsep trinitas menyembah ALLAH TRINITAS sebagaimana yang kita sembah.
Ketika GS 12 menyatakan manusia adalah pusat dan puncak segala sesuatu di dunia, kita juga tegas menolaknya. Sebagai Katolik kita diajarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini harus diarahkan pada Tuhan dan kemuliaan-Nya, sama seperti yang kita ucapkan saat berdoa, "Bapa kami yang ada di surga.. dimuliakanlah Nama-Mu..."
Juga ketika UR 3 menyatakan bahwa Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan gereja-gereja atau komunitas-komunitas Kristen non-Katolik sebagai sarana keselamatan, kita tegas menolaknya karena Gereja Katolik sejak semula dengan setia mengajarkan bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan!
Dan masih banyak lagi teks-teks KVII yang tidak dapat kita terima sebagai bagian dari ajaran iman Gereja Katolik.
Maka ketika Paus Fransiskus mengatakan Konsili Vatikan II adalah magisterium yang harus ditaati, tentu saja pernyataan tersebut tidak benar. Faktanya, Mgr. Marcel Lefebvre yang selama puluhan tahun lamanya dengan tegas dan terbuka menolak menerapkan ajaran KVII tidak pernah diekskomunikasi karena sikapnya yang anti-konsili! Dengan demikian memang tidak ada kewajiban bagi kita untuk taat pada ajaran KVII. Alasannya jelas, Gereja tidak mungkin mewajibkan kita taat pada ajaran yang tidak bebas dari kekeliruan!
Ada satu hal mendasar yang membuat KVII mustahil bersifat infallible terlepas dari pernyataan Paus Paulus VI mengenai hal tersebut...
Sering kali para pendukung konsili berdalih, karena dokumen konsili sudah disetujui oleh ribuan Uskup dan bersama-sama dengan Paus sebagai kepala Gereja Katolik yang memiliki karunia infalibilitas, maka dokumen tersebut pasti dilindungi Roh Kudus dari berbagai kekeliruan. Oleh karenanya dokumen tersebut pasti bersifat infallible dan wajib ditaati.
Logikanya, karena Paus memiliki infalibilitas maka dokumen KVII yang ditetapkannya secara resmi dalam kapasitasnya sebagai kepala Gereja Katolik pastilah bersifat infallible!
Benarkah demikian?
Ternyata tidak.
Selama ini kita memahami doktrin infalibilitas Paus sebagai berikut: seorang Paus memiliki infalibilitas atau bebas dari kesalahan ketika ia menetapkan ajaran iman dan moral secara ex-cathedra atau dalam kapasitasnya sebagai kepala Gereja Katolik.
Jadi seolah-olah ajaran iman dan moral APAPUN yang ditetapkan seorang Paus secara ex-cathedra pasti bersifat infallible dan mengikat. Pemahaman ini tentu saja sangat berbahaya! Bisa saja suatu saat ada seorang Paus ultra-modernis yang secara ex-cathedra menyatakan seorang perempuan boleh ditahbiskan menjadi imam, atau pasangan sejenis dapat diberkati di Gereja, atau agama-agama lain juga dapat menjadi sarana keselamatan, dan sebagainya. Lalu kita terpaksa menerima itu semua sebagai bagian dari ajaran Gereja Katolik berdasarkan doktrin infalibilitas Paus! Tentu saja ini mustahil.
Ada hal penting yang kurang dari doktrin infalibilitas Paus yang selama ini kita pahami.
Perlu diketahui bahwa doktrin infalibilitas Paus ditetapkan oleh Gereja Katolik dalam Konsili Vatikan I di abad 19. Memang doktrin infalibilitas Paus berbunyi seperti yang tadi saya sampaikan, tapi di dokumen Konsili yang sama terdapat pernyataan ini:
Karena Roh Kudus dijanjikan kepada para penerus Petrus BUKAN agar mereka, melalui wahyu-Nya, memperkenalkan suatu DOKTRIN BARU, tetapi agar, dengan bantuan-Nya, mereka dapat secara religius MENJAGA dan dengan setia MENJELASKAN Wahyu atau deposit iman yang disampaikan oleh para rasul.
Jadi infalibilitas Paus TIDAK berlaku bagi ajaran-ajaran BARU atau ajaran-ajaran yang berbeda dari apa yang sudah diajarkan oleh para rasul! Ini konsisten dengan ajaran Rasul Paulus yang mengutuk siapapun yang berani mengajarkan "Injil" (atau ajaran kebenaran) yang berbeda dari apa yang sudah diajarkan sebelumnya (Gal.1:8-9).
Maka doktrin infalibilitas Paus yang lengkap seharusnya seperti ini: seorang Paus memiliki inflibilitas atau bebas dari kesalahan ketika ia menetapkan ajaran iman dan moral secara ex-cathedra DAN sejalan dengan ajaran para Rasul Kristus.
Jadi tiga hal ini mutlak bagi infalibilitas Paus:
1. Ajaran iman dan moral.
2. Ditetapkan Paus secara ex-cathedra
3. Sejalan dengan ajaran para Rasul!
Point yang ketiga itu sangat penting! Selama ini point tersebut seperti sengaja diabaikan sehingga dengan mudah berbagai kesesatan dalam dokumen KVII diterima begitu saja oleh nyaris semua orang Katolik dengan alasan itu semua diinspirasikan oleh Roh Kudus! Padahal tidak demikian.
Jika definisi infalibilitas Paus yang lebih lengkap kita gunakan, maka dengan mudah kita dapat mengatakan Konsili Vatikan II tidak mungkin bersifat infallible meski sudah dirumuskan oleh ribuan uskup dan ditetapkan oleh Paus dalam kapasitasnya sebagai kepala Gereja Katolik sekalipun! Alasannya satu: dokumen KVII mengandung ajaran-ajaran baru yang tidak dikenal oleh para Rasul. Menurut Mgr. Marcel Lefebvre ajaran-ajaran baru tersebut adalah EKUMENISME, KEBEBASAN BERAGAMA, dan KOLEGIALITAS. Dan yang terpenting dari ketiganya adalah ekumenisme karena menurut dokumen UR pemulihan persatuan Kristen dengan cara ekumenisme ini adalah salah satu tujuan utama KVII.
Tidak ada satu orang Katolik pun, entah itu teolog, Uskup, atau Kardinal, yang berani mengatakan ekumenisme, kebebasan beragama, dan kolegialitas yang diajarkan dalam dokumen-dokumen KVII sejalan dengan apa yang sudah diajarkan Gereja Katolik sebelumnya. Artinya, ketiga ajaran tersebut adalah hal-hal baru yang tidak dikenal dalam ajaran Gereja Katolik!
Cukup dengan adanya ajaran-ajaran baru tersebut sudah membuat KVII tidak mungkin merupakan karya Roh Kudus karena Roh Kudus mustahil menginspirasikan ajaran-ajaran baru, dan karenanya KVII juga tidak mungkin infallible. Ini membantah telak seluruh argumen dasar para pendukung konsili yang selama ini berhalusinasi bahwa KVII adalah karya Roh Kudus yang harus ditaati! Sekarang para kodok konsili sudah tidak punya dalih lagi bagi posisi mereka dan sudah waktunya bagi mereka meninggalkan panci konsili yang semakin panas!
Satu-satunya karya Roh Kudus dalam KVII adalah membuatnya TIDAK DAPAT dideklarasikan sebagai INFALLIBLE dan wajib ditaati semua Katolik!
Juga Rasul Paulus mengajarkan kita bahwa sedikit ragi sudah mengkhamirkan seluruh adonan (Gal.5:9), maka cukup ketiga ajaran baru yang sesat tersebut sudah merusak seluruh dokumen KVII dan membuatnya layak untuk kita buang ke tempat sampah!
Ini juga termasuk Katekismus Gereja Katolik yang celakanya juga mengambil rujukan dari ajaran KVII. Akibatnya, suka atau tidak suka, Katekismus Gereja Katolik yang diterbitkan oleh Paus Yohanes Paulus II itu juga terkontaminasi ketiga ajaran baru yang sesat tersebut sehingga berdasarkan ajaran Rasul Paulus tentang sedikit ragi yang mengkhamirkan seluruh adonan, Katekismus tersebut tidak layak menjadi rujukan ajaran iman!
Terima kasih atas perhatian anda...
Viva Christo Rey!
0 Komentar