Satu hal yang bisa kita tarik dari bencana pandemi global yang sedang terjadi: dunia sedang dikuasai dan dikendalikan nyaris sepenuhnya oleh rasa takut. Dampaknya, rasa takut pada bencana maut ini bahkan telah menutupi kewarasan akal sehat pemerintahan sipil nyaris di seluruh dunia, dan membutakannya dari solusi-solusi lain yang lebih baik!
Ada beberapa negara yang sukses mengatasi bencana tanpa menerapkan lockdown dan pembatasan-pembatasan drastis lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, dan juga Singapura. Tapi sebagian besar negara-negara lebih memilih cara totaliter yang dicontohkan pemerintahan komunis Cina di Wuhan. Ini sebuah pertanda buruk yang dapat mengarahkan peradaban dunia pada penerapan sistem totaliter secara global dan permanen di masa yang akan datang.....
Dampak penerapan sistem totaliter dalam menangani wabah itu sekarang bahkan sudah berimbas ke Gereja Katolik. Di mulai dari Italia dimana misa bagi publik tidak lagi boleh diadakan di gereja-gereja. Kini pelarangan gereja untuk mengadakan misa juga terjadi nyaris di semua keuskupan-keuskupan wilayah yang terkena dampak bencana pandemi virus korona.
Ini mengingatkan kita pada nubuat Nabi Daniel tentang akhir jaman yang berbicara soal penghentian korban sehari-hari (Kitab Daniel 12:11). Bahkan ini juga seperti memenuhi gambaran simbolik di Kitab Wahyu tentang Anak laki-laki, yaitu Ekaristi atau Tubuh Kristus, yang dirampas dari perempuan, yaitu Gereja, dan dibawa kepada Allah di tahta-Nya (Kitab Wahyu 12:5). Sekarang Sakramen Ekaristi, dan juga sakramen-sakramen lainnya, sudah tidak lagi tersedia bagi publik.
Tapi ironisnya banyak orang Katolik baik awam maupun hirarki yang berusaha mengecilkan masalah dengan mengatakan misa tetap dapat diselenggarakan secara online. Jadi pelarangan misa di gereja bukan masalah besar dan tidak perlu dibesar-besarkan.
Tentu saja ini sikap yang mengecewakan. Misa online bagaimanapun tetap berbeda dengan misa di gereja!
Pada setiap misa di gereja saja, sudah begitu banyak umat yang datang secara tidak pantas. Mulai dari cara berpakaian maupun sikap saat mengikuti misa. Lalu apa yang bisa kita harapkan dengan misa online? Dalam jangka panjang ini akan menjadi virus rohani yang merusak iman umat dan mematikan hidup rohani banyak orang! Sungguh ironis, kita mati-matian menghindari virus fisik tapi malah membiarkan virus rohani menyerang dengan leluasa!
Selain itu, ada masalah yang lebih memprihatinkan dari sekedar misa online!
Di wilayah-wilayah dimana gereja dilarang melakukan peribadatan kita masih melihat pasar dan toko-toko tetap beraktivitas, penjual makanan / minuman masih tetap buka, rumah sakit dan apotik tetap beroperasi. Artinya, aktivitas publik sebenarnya tetap diperbolehkan sejauh mengikuti syarat-syarat tertentu seperti pen-jarakan sosial (social-distancing), penggunaan masker, dan perilaku higienis. Seharusnya aktivitas gereja juga bisa tetap dilaksanakan dengan menerapkan syarat-syarat tertentu demi mencegah penyebaran wabah. Tapi nyatanya gereja tidak boleh beraktivitas!
Mengapa terjadi perbedaan?
Penyebabnya satu, otoritas sipil di seluruh dunia seolah sepakat bahwa kegiatan peribadatan di gereja bukan kegiatan esensial! Dengan demikian kegiatan publik di gereja termasuk yang tidak boleh dilaksanakan.
Jika otoritas sipil tidak memahami pentingnya makna ekaristi bagi umat Katolik, itu wajar. Tapi yang sangat mengecewakan kita adalah sikap hirarki yang menerima begitu saja pengkategorian tersebut. Mulai dari Paus sebagai pucuk pimpinan hirarki hingga nyaris semua uskup sepakat tanpa sikap protes atau negosiasi apapun langsung menerima begitu saja keputusan otoritas sipil untuk menutup gereja bagi kegiatan peribadatan publik!
Hanya sedikit saja gembala gereja yang menolak sikap tersebut, misalnya Kardinal Raymond Burke, Uskup Athanasius Schneider, dan lain-lain. Bahkan Uskup Athanasius Schneider dengan berani menyatakan para imam tidak harus taat pada pemerintah atau uskup mereka terkait pelarangan misa bagi publik! Kita memang harus lebih taat kepada TUHAN dari pada kepada manusia!
Gembala seperti itulah yang kita butuhkan saat ini, bukan hirarki birokrat yang menjadi kaki tangan kaum globalis!
Lebih dari itu, sikap diam dan setujunya hirarki, termasuk pimpinan tertingginya, terhadap pengkategorian ibadat ekaristi sebagai kegiatan tidak esensial adalah bagian dari tanda-tanda jaman. Jika kita menghubungkan ini dengan perubahan arah dan sikap Gereja Katolik yang terjadi setelah Konsili Vatikan II, maka kejadian ini menegaskan arah sesungguhnya dari Konsili Vatikan II.
Pada saat Konsili Vatikan II sedang berlangsung, tepatnya pada 13 November 1964, Paus Paulus VI menanggalkan tiara kepausan. Sejak saat itu semua Paus tidak lagi mengenakan tiara kepausan sebagai lambang kekuasaan universal yang tertinggi atas Gereja sebagai wakil Kristus di bumi dan sekaligus simbol yang terlihat dari Kristus Raja sebagai penguasa dunia. Dengan menolak penggunaan tiara secara simbolik dapat kita artikan bahwa Gereja Katolik paska konsili tidak lagi ingin menghadirkan simbol Kristus sebagai raja dalam perjumpaannya dengan dunia.
Selanjutnya dalam pidatonya di depan Sidang Umum PBB pada tanggal 4 Oktober 1965, Paus Paulus VI menyatakan bahwa PBB adalah, "..jalur wajib dalam membangun peradaban modern dan perdamaian dunia". Setelah menolak mengenakan tiara yang melambangkan Kristus sebagai raja dunia, kini Gereja Katolik menyerahkan pembangunan beradaban manusia dan urusan perdamaian dunia kepada PBB sebagai perwakilan kaum globalis sekuler.
Disini kita bisa melihat upaya sistematis Gereja Katolik paska konsili untuk meminggirkan peran Yesus Kristus sebagai Raja di bumi dan menyerahkan peran tersebut kepada kaum globalis sekuler yang tidak berasal dari TUHAN!
Selanjutnya, kaum globalis yang sudah mendapat mandat dan lampu hijau dari Gereja Katolik paska konsili untuk membangun menara babel peradaban global menyadari bahwa banyak prinsip-prinsip ajaran Gereja Katolik yang menjadi penghalang tujuan mereka. Misalnya, Gereja Katolik dengan ajaran moralnya yang menolak penggunaan kontrasepsi, menolak aborsi, menolak gaya hidup LGBT, dan sebagainya menjadi penghalang bagi upaya globalis untuk melakukan pengendalian populasi. Juga ajaran iman Gereja Katolik yang berpegang teguh pada prinsip 'extra ecclesia nulla salus' atau 'di luar Gereja tidak ada keselamatan' dianggap menjadi penghalang bagi terwujudnya kerukunan antar umat beragama dan perdamaian dunia.
Dengan demikian sekedar menyerahkan mandat pembangunan peradaban manusia dan perdamaian dunia kepada PBB sebagai perwakilan kaum globalis sama sekali tidak cukup. Bersamaan dengan itu Gereja Katolik paska konsili juga harus mengubah ajarannya sedemikian rupa sehingga sejalan dengan seluruh agenda kaum globalis!
Itu sebabnya sejak Konsili Vatikan II Gereja Katolik secara bertahap mengubur dalam-dalam doktrin 'extra ecclesiam nulla salus' dan bersikap semakin toleran dengan semua agama-agama lain. Juga ajaran moral seperti pelarangan kontrasepsi berhasil dibuat sedemikian rupa sehingga praktis prinsip tersebut hanya ada di atas kertas tapi tidak lagi menjadi norma umum diantara umat. Soal gaya hidup LGBT tidak perlu ditanyakan, skandal seksual memalukan yang terjadi di hirarki sudah menjadi petunjuk kuat bagaimana sikap Gereja Katolik paska konsili tentang itu. Banyaknya hirarki yang terlibat dalam gaya hidup LGBT pasti mempengaruhi kebijakan pastoral Gereja Katolik terkait LGBT! Dengan demikian meski secara formal Gereja Katolik masih menolak gaya hidup LGBT tapi secara praktis tidak.
Yang mungkin masih tersisa adalah soal aborsi. Tapi inipun pasti akan digarap. Caranya dengan memberikan kesibukan baru, yaitu dengan menekankan perhatian Gereja Katolik di era Paus Fransiskus pada masalah lingkungan. Dengan cara demikian isu-isu aborsi secara bertahap akan dipinggirkan dan digantikan dengan isu-isu ekologis. Nasibnya akan sama dengan dogma 'extra ecclesiam nulla salus', meski secara formal Gereja Katolik masih anti aborsi, tapi secara praktis tidak lagi jadi obsesi dan perhatian.
Itu semua adalah bagian dari upaya Gereja Katolik paska konsili untuk mengkompromikan dirinya dengan agenda global!
Apakah semangat Konsili Vatikan II yang berhasil mengubah ajaran dan orientasi Gereja Katolik sudah cukup bagi agenda global?
Belum! Masih ada satu lagi masalah penting yang harus dibereskan....
Kekuatan utama Gereja Katolik terletak pada Sakramen Ekaristi yang menandai penyertaan TUHAN secara nyata pada Gereja Katolik sampai akhir jaman sesuai janji Kitab Suci (Injil Mateus 28:20). Selama Sakramen Ekaristi tetap ada maka Gereja Katolik paska konsili tidak bisa sepenuhnya tunduk pada agenda global. Selalu ada potensi munculnya kembali prinsip ajaran-ajaran Tuhan yang akan mengganggu agenda global.
Dengan melihat kecenderungan Gereja Katolik paska konsili yang tunduk pada agenda global, tidak sulit bagi kita untuk menduga bahwa cepat atau lambat Sakramen Ekaristi sebagai sumber rahmat Tuhan yang terbesar bagi Gereja juga akan dibereskan.
Dan itulah yang sekarang terjadi ketika dengan alasan pandemi global hirarki Gereja Katolik setuju dengan pandangan otoritas sipil bahwa ibadat Ekaristi bukan kegiatan esensial. Sekarang kita sampai pada keadaan dimana untuk pertama kalinya dalam sejarah Gereja Katolik Sakramen Ekaristi tidak lagi tersedia secara publik, nyaris secara global. Supaya hal itu tidak terlihat sebagai bagian dari upaya sistematis untuk meniadakan Sakramen Ekaristi, umatpun dihibur perasaannya dengan misa online dan penerimaan komuni secara spiritual.
Banyak yang lupa bahwa keadaan ini terjadi karena hirarki Gereja Katolik sekarang sudah memandang ibadat Ekaristi sebagai kegiatan yang tidak esensial. Setidaknya mereka diam atau setuju pada sikap otoritas sipil yang mengkategorikannya demikian. Jika sekarang Sakramen Ekaristi dianggap tidak esensial atau tidak penting, bukan tidak mungkin selanjutnya akan dianggap tidak perlu atau bahkan dilarang! Itulah yang akan dialami Gereja Katolik kelak jika apa yang sekarang terjadi dibiarkan berlanjut tanpa upaya resistensi!
Intinya, setelah Konsili Vatikan II ada upaya sistematis untuk mengubah ajaran Gereja Katolik dan memisahkannya dari Yesus Kristus! Gereja Katolik paska konsili tidak lagi menjadi Gereja Kristus yang mengikuti kehendak Kristus, tapi akan diubah menjadi gereja baru yang melayani agenda global!
Arah ini menjadi sangat jelas ketika baru-baru ini dalam buku tahunan resmi yang diterbitkan Vatikan, Paus Fransiskus secara implisit tidak lagi mengakui dirinya sebagai Wakil Kristus dengan meletakkan gelar Wakil Kristus dan gelar-gelar tradisional kepausan lainnya sebagai gelar-gelar historis yang sudah tidak berlaku lagi.
Seperti yang terlihat disini ada perbedaan mencolok antara buku tahunan sebelumnya dengan buku tahunan terbaru. Pada buku tahunan sebelumnya gelar Wakil Kristus terletak pada barisan teratas dan dicetak dengan huruf besar, lalu dikuti dengan gelar-gelar Paus yang lain. Namun pada buku tahunan terbaru justru nama Jorge Mario Bergoglio diletakkan pada posisi teratas sementara gelar-gelar Paus termasuk gelar sebagai Wakil Kristus diletakkan di bawah sub judul 'gelar-gelar historis' atau dengan kata lain dikategorikan sebagai gelar-gelar yang sudah tidak dipakai lagi.
Ini bagian dari tanda-tanda jaman yang sangat penting!
Karena Paus Fransiskus menganggap dirinya bukan lagi Wakil Kristus, maka Gereja Katolik paska konsili yang dipimpinnya tidak perlu lagi mengikuti amanat Yesus Kristus untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia. Itu terpenuhi dalam dokumen "Human Fraternity" yang secara implisit menyatakan semua agama dibenarkan TUHAN.
Gereja Katolik paska konsili juga tidak perlu lagi menjadi saluran berkat Tuhan kepada manusia, termasuk melalui Ekaristi dan Sakramen-sakramen lainnya. Itu juga mulai terjadi dengan pelarangan kegiatan ibadat ekaristi secara publik di gereja-gereja.
Dengan kata lain, Gereja Katolik paska konsili tidak lagi menjadi Gereja Kristus yang melayani kehendak TUHAN untuk menyelamatkan jiwa-jiwa tapi akan menjadi gereja baru yang melayani agenda global dalam membangun peradaban baru!
Ini seolah terkonfirmasi dalam wawancara antara Paus Fransiskus dengan media online "The Tablet" yang terjadi baru-baru ini. Ini kutipannya:
“It is the Holy Spirit who institutionalises the Church, in an alternative, complementary way, because the Holy Spirit provokes disorder through the charisms, but then out of that disorder creates harmony.
A tension between disorder and harmony: this is the Church that must come out of the crisis. We have to learn to live in a Church that exists in the tension between harmony and disorder provoked by the Holy Spirit...”
Terjemahannya:
Adalah Roh Kudus yang melembagakan Gereja, dengan cara alternatif dan saling melengkapi, karena Roh Kudus memprovokasi kekacauan melalui karisma, tetapi kemudian dari kekacauan itu muncul harmoni.
Ketegangan antara kekacauan dan harmoni: inilah bentuk Gereja yang akan muncul dari krisis. Kita harus belajar hidup dari Gereja yang muncul dari ketegangan antara keharmonisan dan kekacauan yang dipicu oleh Roh Kudus...
Dari kutipan tersebut dapat kita simpulkan Paus Fransiskus akan memanfaatkan kekacauan yang terjadi, salah satunya akibat bencana, untuk membentuk sebuah Gereja baru yang berbeda dari Gereja Kristus yang didirikan TUHAN kita 2000 tahun lalu! Yaitu sebuah Gereja yang muncul dari kekacauan yang menurut Paus Fransikus dipicu oleh roh kudus! Tapi karena Roh Kudus tidak pernah memicu kekacauan, maka yang dimaksud oleh Paus Fransiskus pasti "roh" yang lain.
Amat jelas sekali dalam wawancara tersebut Paus Fransiskus tidak berbicara soal mempertahankan eksistensi Gereja di tengah perubahan jaman sambil tetap mewartakan Injil, tapi sebaliknya dia berbicara soal munculnya gereja baru yang sejalan dengan tuntutan jaman! Ini kunci penting untuk memahami segala perubahan yang terjadi di Gereja Katolik paska konsili!
Apa yang dikatakan Paus Frasiskus ini bukan muncul begitu saja dari pemikirannya. Itu adalah konekuensi logis dari seluruh perubahan yang terjadi di Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II. Pada akhirnya segala perubahan yang terjadi sejak Konsili Vatikan II memang terarah untuk membentuk Gereja baru yang terepas dari Kristus dan melayani agenda global.
Apakah Gereja baru yang muncul dari krisis adalah Gereja Antikristus?
Waktu yang akan menjawabnya!
Yang jelas itu semua memang harus terjadi karena sesuai dengan nubuat Rasul Paulus:
Janganlah kamu memberi dirimu disesatkan orang dengan cara yang bagaimanapun juga! Sebab sebelum Hari itu haruslah datang dahulu murtad dan haruslah dinyatakan dahulu manusia durhaka, yang harus binasa, yaitu lawan yang meninggikan diri di atas segala yang disebut atau yang disembah sebagai Allah. Bahkan ia duduk di Bait Allah dan mau menyatakan diri sebagai Allah.
(Surat Tesalonika yang ke-2, 2:3-4).
Sesuai nubuat Rasul Paulus pemurtadan di Gereja Katolik memang harus terjadi sebelum kedatangan Tuhan. Kemurtadan tersebut tidak mungkin datang tiba-tiba, tapi pasti melalui proses bertahap yang panjang. Nah, segala proses perubahan di Gereja Katolik paska Konsili Vatikan II itulah perubahan gradual yang akan mengarahkan Gereja Katolik pada pemurtadan menjelang kedatangan TUHAN! Segala perbuatan dan perkataan Paus Fransiskus telah membuat tujuan pemurtadan yang tersembunyi rapi dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan II menjadi terlihat jelas!
Jika Gereja Katolik paska konsili terarah pada kemurtadan, lalu bagaimanakah dengan janji TUHAN bahwa Gereja-Nya akan tetap ada sampai akhir jaman?
Memang Gereja-Nya pasti akan tetap ada, tapi dalam bentuk suatu sisa umat yang setia sebagaimana yang ditulis oleh Rasul Paulus:
Allah tidak menolak umat-Nya yang dipilih-Nya. Ataukah kamu tidak tahu, apa yang dikatakan Kitab Suci tentang Elia, waktu ia mengadukan Israel kepada Allah:
"Tuhan, nabi-nabi-Mu telah mereka bunuh, mezbah-mezbah-Mu telah mereka runtuhkan; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku."
Tetapi bagaimanakah firman Allah kepadanya?
"Aku masih meninggalkan tujuh ribu orang bagi-Ku, yang tidak pernah sujud menyembah Baal."
Demikian juga pada waktu ini ada tinggal suatu sisa, menurut pilihan kasih karunia.
(Surat Roma 11:2-5).
Ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh St. Athanasius di saat bidaah arianisme melanda nyaris seluruh Gereja pada abad keempat. Ia mengatakan bahwa umat dan hirarki yang setia pada ajaran ortodoks Gereja adalah Gereja Katolik yang sesungguhnya.
Dalam konteks jaman sekarang dimana Gereja Katolik paska konsili terus melakukan berbagai perubahan yang mengarah pada pemurtadan sesuai nubuat Rasul Paulus, Gereja Katolik sejati ada pada umat dan hirarki yang setia pada seluruh ajaran Gereja Katolik sebelum segala perubahan merusak itu terjadi. Dengan kata lain mereka yang setia pada ajaran Gereja Katolik pra-konsili itulah sisa-sisa Israel yang dipilih Tuhan untuk menjadi bagian dari Gereja-Nya.
Merekalah para penjaga benteng terakhir yang akan terus menjaga eksistensi Gereja Katolik hingga kedatangan TUHAN kelak.
Maka marilah kita yang sungguh mencintai TUHAN untuk menjadi bagian dari para penjaga benteng terakhir dan sekaligus menjadi bagian sisa-sisa umat Tuhan sampai dengan kedatangan TUHAN kelak. Caranya adalah dengan menolak untuk berkompromi dengan semangat dunia dan bertekad untuk setia pada seluruh ajaran Gereja. Jadikan Nabi Daniel dan kawan-kawannya sebagai teladan untuk setia pada iman dan menolak kompromi dengan dunia!
Kita bisa mulai dengan hal kecil ini, meminta uskup dan para imam untuk kembali mengadakan misa di gereja-gereja. Mereka dapat berbicara pada pemerintah untuk menegaskan pentingnya ibadat ekaristi bagi umat Katolik sambil meyakinkan pemerintah bahwa kegiatan ibadat di gereja dapat dilakukan sesuai dengan persyaratan 'social-distancing' dan persyaratan higienis lain demi mencegah penyebaran wabah virus korona. Jika toko-toko yang menyediakan kebutuhan jasmani tetap boleh buka, mengapa ibadat ekaristi yang menyediakan makanan rohani harus ditutup?
Apabila itu dilakukan, entah berhasil atau tidak, akan menjadi tanda bahwa Gereja Katolik menolak tunduk pada tuntutan dunia yang ingin memisahkannya dari TUHAN.
Semoga Tuhan menolong kita.
Viva Christo Rey...
0 Komentar