Uskup Agung VIGANO: Gereja Konsili Yang PALSU Nyaris Menutupi Gereja Kristus


Transkrip video:

Salam damai dan sejahtera bagi kita semua...

Pada video kali ini saya akan membacakan terjemahan bebas dari sebuah essay Uskup Agung Vigano yang dibuat sebagai respon atas homili Paus Fransiskus saat memperingati 60 tahun pembukaan Konsili Vatikan II.

Silahkan cermati baik-baik karena dari sudut pandang seorang penerus para Rasul, Uskup Agung Vigano mengungkapkan dengan jelas bagaimana Konsili Vatikan II telah menjadi sarana bagi munculnya secara diam-diam Gereja Konsili sebagai gereja baru yang berbeda dari Gereja Kristus, namun kini telah berhasil menguasai nyaris seluruh struktur hirarki dan otoritasnya.

Uskup Agung VIGANO:

Dengan dongeng yang membuatnya berbeda dari propaganda ideologis, puja-puji Bergoglian pada ulang tahun ke-60 Pembukaan Konsili Vatikan II mengkonfirmasi referensialitas-diri (self-referentiality) total dari "Gereja Konsili”, yaitu organisasi subversif yang lahir dari Konsili Vatikan II secara diam-diam dan dalam 60 tahun ini hampir sepenuhnya menutupi Gereja Kristus dengan menduduki hirarki tertingginya serta merebut otoritasnya.

“Gereja Konsili” menganggap dirinya sebagai pewaris Konsili Vatikan II dan terpisah dari dua puluh Konsili Ekumenis lain yang mendahuluinya selama berabad-abad: inilah faktor utama dari referensialitas-dirinya. Gereja tersebut mengabaikan ajaran Iman, dengan mengusulkan doktrin yang bertentangan dengan ajaran Tuhan kita yang disampaikan oleh para Rasul dan diteruskan oleh Gereja yang kudus. Gereja tersebut mengabaikan Moralitas, dengan merendahkan prinsip-prinsip (moral Kristiani) demi moralitas situasional. Gereja tersebut juga mengabaikan Liturgi, dengan memberikan liturgi baru yang ekspresi doanya sejalan dengan magisterium baru. Dan pada saat yang sama (Gereja Konsili) telah menjadikan dirinya sebagai alat yang paling kuat untuk mengindoktrinasi umat beriman.

Iman umat secara sistematis telah dirusak melalui pemalsuan Misa Kudus yang dilakukan oleh Misa Novus Ordo, yang mengakibatkan berbagai kekeliruan di dalam teks-teks Konsili Vatikan II termanifestasi dalam bentuk sakral dan menyebar seperti penyakit menular.

Jika di satu sisi "Gereja Konsili" selalu menegaskan berulang-ulang bahwa mereka tidak ingin dikaitkan dengan "Gereja lama", apalagi dengan "Misa lama", dengan alasan keduanya sudah jadi masa lalu dan tidak dapat dikembalikan karena tidak sesuai dengan "semangat konsili"; maka di sisi lain, mereka telah mengakui dengan terang-terangan hilangnya ikatan kesinambungan dengan Tradisi yang justru merupakan prasyarat - sebagaimana dikehandaki Kristus sendiri - bagi pelaksanaan otoritas dan kekuasaan oleh Hirarki, yang anggota-anggotanya, dari Paus Roma hingga Uskup tituler, adalah Penerus para Rasul, oleh karena itu harus berpikir, berbicara, dan bertindak seperti mereka.

Perpisahan radikal dengan masa lalu ini – yang dibangkitkan dalam nuansa gelap oleh orang yang gemar menciptakan istilah baru seperti “backwardness” (kemunduran) dan melontarkan celaan terhadap “renda nenek” – jelas tidak terbatas pada bentuk-bentuk eksternal – tapi justru pada substansi yang menjangkau dasar-dasar Iman dan Hukum Alam, dan menyebabkan subversi nyata terhadap lembaga gerejawi, sehingga bertentangan dengan kehendak Pendirinya yang ilahi.

Terhadap pertanyaan "Apakah engkau mengasihi Aku?" gereja Bergoglian – dan juga sebelum itu gereja konsili, dengan tanpa malu, “bertanya pada diri sendiri,” karena (menurut Bergoglio) “gaya Yesus bukan memberikan jawaban, tetapi mengajukan pertanyaan.” Jika kita menganggap serius kata-kata asal bunyi ini, lalu apa fungsi Wahyu Ilahi dan pelayanan Tuhan kita di bumi, pesan Injil, khotbah para Rasul dan Magisterium Gereja, jika bukan untuk MENJAWAB PERTANYAAAN manusia berdosa, yang haus akan Firman Tuhan, yang perlu mengetahui Kebenaran abadi dan mengetahui bagaimana menyelaraskan diri dengan Kehendak Tuhan demi mencapai kebahagiaan di Surga.

Tuhan tidak mengajukan pertanyaan, tetapi Dia mengajar, menasihati, dan memerintahkan. Karena Dia adalah Tuhan, Raja, dan Pemimpin Tertinggi Gereja yang Absolut dan Abadi. Dia tidak bertanya kepada kita siapakah Jalan, Kebenaran, dan Hidup, tetapi menunjukkan diri-Nya sebagai Jalan, Kebenaran, dan Hidup, sebagai Gerbang kawanan domba, sebagai Batu Penjuru. Dan pada gilirannya Dia menyatakan ketaatan-Nya kepada Bapa dalam karya Penebusan, untuk menunjukkan kepada kita penyerahan Diri-Nya yang kudus sebagai contoh untuk diteladani.

Visi Bergoglio menjungkirbalikkan relasi dan merongrongnya: Tuhan mengajukan pertanyaan kepada Petrus yang tahu betul apa artinya mengasihi Tuhan kita dalam praktek. Dan jawabannya tidak opsional, juga tidak negatif atau sulit dipahami, seperti yang dilakukan oleh "gereja konsili" ketika dengan maksud agar tidak mengecewakan dunia dan tidak terlihat ketinggalan jaman, berpihak pada bujukan ideologi sesaat yang menipu, dan menolak untuk menyampaikan apa yang telah diperintahkan oleh Tuhan untuk diajarkan dengan setia. "Apakah engkau mengasihi Aku?" Tuhan bertanya kepada para Kardinal inklusif, para Uskup sinode, para Prelat ekumenis; dan mereka menjawab dengan berdalih seperti tamu undangan: “Aku telah membeli ladang dan aku harus pergi melihatnya; aku minta dimaafkan.” (Luk 14:18). Bagi mereka ada komitmen yang jauh lebih mendesak dan jauh lebih bermanfaat untuk mendapatkan kehormatan dan persetujuan sosial. Tidak ada waktu untuk mengikut Kristus, apalagi menggembalakan domba-domba-Nya, terlebih jika domba-domba itu keras kepala dalam “backwardness” (kemunduran), entah apapun artinya itu.

Karena alasan ini, tidak ada Konsili lain kecuali Konsili Vatikan II; yang menjadi satu-satunya rujukan mereka dan (konsili tersebut) pada saat yang sama menunjukkan dirinya asing, bahkan mungkin juga berlawanan dalam bentuk dan isi, dengan apa yang telah disepakati semua Konsili Ekumenis dengan satu suara dari satu Guru dan dari satu Gembala. Jika suara konsili mereka tidak sesuai dengan suara Magisterium yang mendahuluinya; jika liturgi ibadat publik (gereja konsili) tidak dapat mengekspresikan dirinya dalam bentuk tradisional karena mereka menganggapnya bertentangan dengan "eklesiologi baru" dari "gereja baru", maka keterpisahan antara sebelum dan sesudah (konsili) memang ada dan tidak dapat disangkal. 

Mereka bangga menampilkan diri sebagai inovator dari sesuatu yang tidak perlu diadakan (non est innovandum). Dan agar orang tidak melihat adanya alternatif lain yang kredibel dan aman, maka segala sesuatu yang mewakili dan mengingat masa lalu harus direndahkan, diejek, diremehkan dan akhirnya dihilangkan. Mereka adalah pelopor dari budaya batal seperti yang sekarang ini dianut oleh ideologi terbangunkan (woke ideology). Dari sini kita dapat memahami keengganan mereka terhadap liturgi tradisional, doktrin yang sehat, dan nilai kepahlawanan dari kekudusan yang dinyatakan dalam perbuatan, bukan yang diucapkan dalam retorika kosong yang bodoh.

Bergoglio berbicara tentang "gereja yang mendengarkan"; tetapi justru karena (menurut Bergoglio) "..untuk pertama kalinya dalam sejarah, gereja mendedikasikan sebuah Konsili untuk mempertanyakan dirinya sendiri, untuk merenungkan sifat dan misinya sendiri." dirinya menunjukkan bahwa ia ingin melakukannya sendiri, sehingga ia dapat meninggalkan warisan Tradisi dan menyangkal identitasnya sendiri, "untuk pertama kalinya dalam sejarah," tepatnya. 

Referensialitas-diri ini dimulai dari asumsi bahwa sesuatu yang “lebih baik” akan diterapkan untuk menggantikan hal lain yang “lebih buruk” yang harus dikoreksi. Dan ini bukan menyangkut kelemahan atau ketidaksetiaan individu anggotanya, tetapi menyangkut “sifat dan misi," yang telah ditetapkan oleh Tuhan kita sekali untuk selamanya dan yang tidak dapat dipertanyakan oleh para Rasul dan para pelayan-Nya. Namun Bergoglio menegaskan: "Mari kita kembali ke Konsili untuk keluar dari diri kita sendiri dan mengatasi godaan referensialitas-diri, yang merupakan cara hidup duniawi," sementara prinsip "kembali ke Konsili" justru merupakan bukti yang paling mencolok dari referensialitas-diri dan perpisahan dengan masa lalu.

Jadi, berabad-abad ekspansi terbesar Gereja - yang membuatnya harus berbenturan dengan banyak bidat sehingga perlu membuat lebih eksplisit doktrin kebenaran yang disangkal oleh para bidat - dianggap sebagai "klerikalisme" memalukan yang harus dilupakan, sementara kita justru menemukan semua kesalahan (klerikalisme) dalam penyimpangan Konsili. Masa lalu yang jauh - yang diasumsikan sebagai Kristen purba, "abad-abad primitif," "agape persaudaraan" - dalam narasi konsili pada dasarnya adalah pemalsuan sejarah, yang dengan sengaja menyembunyikan kesaksian orang-orang Kristen perdana dan para imam yang dianiaya serta menjadi martir karena Iman mereka, penolakan mereka untuk membakar dupa di patung Kaisar, dan perilaku moral mereka yang kontras dengan kebiasaan korup para penyembah berhala. Sementara kesaksian yang konsisten, bahkan dari wanita dan anak-anak, harusnya mempermalukan mereka yang menodai Rumah Tuhan dengan penghormatan terhadap berhala pachamama demi memanjakan delusi kesepakatan hijau Amazon, yang memberikan skandal bagi orang-orang kecil dan sekaligus menyinggung Tuhan Yang Maha Mulia dengan tindakan penyembahan berhala. Bukankah justru ini (yang layak disebut sebagai) referensialitas-diri, yang sekarang telah mencapai titik pelanggaran terhadap Perintah Pertama demi mengejar narasi ekumenisnya sendiri?

Janganlah kita tertipu oleh kata-kata manis ini: Gereja Kristus tidak pernah "mengacu pada diri sendiri", tetapi Kristosentris, karena dia adalah Tubuh Mistik di mana Kristus adalah Kepalanya, dan tanpa Kepala dia tidak bisa berdiri. Sementara di sisi lain, (gereja) versi duniawi yang kering dan tanpa cakrawala supernatural yang mendefinisikan dirinya sebagai "Gereja Konsili" justru adalah referensialitas-diri yang niscaya.

Gereja Konsili menjalankan kekuasaannya melalui penipuan dengan cara menampilkan dirinya seolah-olah sebagai pendukung kembalinya kemurnian Gereja setelah berabad-abad di mana Gereja selama itu dianggap telah menutup dirinya dalam "selungkup kenyamanan dan keyakinan," dan pada saat yang sama menganggap diri mereka mampu memalsukan ajaran yang diamanatkan Kristus untuk disampaikan dengan setia.

"Kenyamanan" macam apa yang dinikmati Mempelai Anak Domba selama dua ribu tahun sejarahnya, jika kita melihat penganiayaan tanpa henti yang dideritanya, darah yang ditumpahkan oleh para martirnya, pertempuran yang dilancarkan melawannya oleh para bidat dan skismatis, dan komitmen para pelayannya untuk menyebarkan Injil serta moralitas Kristen? Dan sebaliknya kesulitan apa yang mungkin ada bagi Gereja Konsili yang mempertanyakan dirinya sendiri tanpa punya kepastian, tunduk dengan penuh semangat pada tuntutan dunia, mengikuti ideologi hijau dan transhumanisme, memberkati persatuan homoseksual, mengatakan siap untuk menyambut orang berdosa tanpa menuntut mereka untuk berubah, dan setuju dengan kekuatan-kekuatan dunia bahkan dalam mendukung propaganda vaksinasi sambil berharap untuk dapat menyelamatkan diri mereka sendiri?

Ada sesuatu yang sangat egoistis, khas kebanggaan Luciferian, dalam mengklaim lebih baik daripada mereka yang mendahului kita, secara salah mencela mereka atas otoritarianisme padahal orang yang berbicara adalah justru contoh pertama dengan tujuan yang bertentangan dengan keselamatan jiwa. 

Tanda lebih lanjut dari referensialitas-diri adalah keinginan untuk memaksakan pada Gereja sebuah struktur demokratis yang menggantikan sistem monarki (bahkan, saya katakan kekaisaran) sebagaimana yang diinginkan oleh Kristus. Sebenarnya ada Gereja Mengajar (Ecclesia docens) yang terdiri dari para Gembala di bawah bimbingan Paus Roma, dan Gereja Belajar (Ecclesia discens) yang terdiri dari Umat Allah, kaum beriman. Pembatalan terhadap tatanan hierarkis - yang didefinisikan Bergoglio sebagai "dosa buruk klerikalisme yang membunuh domba, tidak membimbing mereka, tidak membuat mereka tumbuh" - bertujuan untuk membuat penipuan lain yang jauh lebih serius berupa subversi nyata di dalam tubuh gereja: yaitu berpura-pura dapat membagi kekuasaan antara mereka yang memiliki tanggung jawab untuk meneruskan Magisterium otentik dengan mereka, yang tidak ditahbiskan dan karenanya tidak terbantu oleh keadaan rahmat, yang sebenarnya malah perlu digembalakan ke padang rumput yang aman. 

Kata 'magister' dalam dirinya memiliki keunggulan ontologis – magis – yaitu mereka yang mengajar orang-orang yang masih perlu mempelajari apa yang belum mereka ketahui. Dan gembala tentu tidak memutuskan bersama domba-dombanya ke arah mana ia akan membawa mereka, karena sebagai kawanan mereka tidak tahu ke mana harus pergi dan rawan mendapat serangan serigala. Meyakini bahwa upaya introspeksi tentang "sifat dan misinya sendiri" dapat merupakan cermin dari upaya kembali ke asal adalah kebohongan besar: "Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu," kata Kristus (Yoh 15:14). Dan begitu juga para pelayan-Nya harus memerintah, sebab selama mereka tetap tunduk kepada-Nya, mereka menjalankan otoritas sebagai wakil Kepala Tubuh Mistik. Mereka adalah pelayan (minister - dari kata 'minus', menunjukkan inferioritas hierarkis) dalam arti etimologis pelayan yang tunduk pada otoritas Tuan mereka; sehingga hierarki Katolik adalah Magistra (guru) yang mengajarkan hanya apa yang dia terima sebagai Ministra (murid) dari Kristus dan menjaganya dengan penuh cemburu.

Kita memiliki konfirmasi adanya visi demokratis dan anti-hierarkis dari "gereja konsili" terutama dalam liturginya, di mana peran imam selebran hampir ditolak demi "imamat awam" yang diteorikan oleh Lumen Gentium dan dimasukkan secara hitam dan putih dalam formulasi sesat artikel 7 Institutio Generalis dari Misa Montini (Novus Ordo) tahun 1969: “Perjamuan Tuhan, atau Misa, adalah sinaksis atau pertemuan suci umat Allah, yang dipimpin oleh imam, untuk merayakan peringatan Tuhan. Oleh karena itu, janji Kristus berlaku secara khusus untuk pertemuan lokal Gereja Suci ini: "...Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (Mat 18:20)." Apa ini, jika bukan referensialitas-diri yang memodifikasi definisi Misa sesuai "semangat Konsili" dan bertentangan dengan Kanon dogmatis Konsili Trente dan seluruh Magisterium sebelum Vatikan II?

Gereja tidak dan tidak dapat menjadi demokratis atau "sinodal" sebagaimana yang secara halus dinyatakan oleh beberapa orang: Umat Allah yang kudus bukannya "ada untuk menggembalakan yang lain, semua yang lain," melainkan agar ada Hirarki yang menjamin mereka sebuah sarana supranatural untuk mencapai tujuan abadi, dan agar "semua yang lain" - banyak, tetapi tidak semua - dapat dibawa ke dalam satu kandang di bawah bimbingan satu Gembala oleh Penyelenggaraan Tuhan. “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun..." (Yoh 10:16).

Kecaman keras yang dibuat oleh Kardinal Mueller atas ancaman yang ditimbulkan oleh pendekatan sinodalitas sesat - yang buah-buah buruknya sudah terlihat - dibenarkan dalam pengertian ini dan sekaligus memberi kesaksian tentang ketidaknyamanan parah dari begitu banyak imam yang terpecah antara kesetiaan kepada ortodoksi Katolik dan bukti pengkhianatan yang dilakukan oleh para penjaga kontemporernya yang paling tidak layak. Mereka mungkin tidak akan melawan "Gereja Konsili" dan melawan "Konsili" sampai dampaknya yang menghancurkan pada kehidupan umat beriman, di seluruh badan gerejawi dan di dunia menjadi nyata. Tetapi hari ini, dihadapkan dengan bukti kegagalan Konsili Vatikan II yang paling parah dan pilihan untuk meninggalkan Tradisi Suci, bahkan mereka yang paling bijaksana dan moderat pun dipaksa untuk mengakui korelasi yang sangat erat antara tujuan yang telah ditetapkan, sarana yang diadopsi dan hasil yang diperoleh. 

Dengan mempertimbangkan tujuannya, kita harus bertanya pada diri sendiri apakah yang diumumkan dengan antusias sebagai "musim semi konsili" bukan sekedar dalih dari suatu rencana senyap yang disembunyikan untuk melawan Gereja Kristus? 

Umat ​​beriman bukan hanya tidak berpartisipasi dengan kesadaran yang lebih besar dalam Misteri Kudus seperti yang dijanjikan, tetapi justru telah menganggapnya terlalu berlebihan sehingga menurunkan kehadiran Misa ke tingkat yang paling rendah. Juga kaum muda tidak menemukan sesuatu yang menggairahkan atau heroik dalam merangkul imamat atau kehidupan religius, karena keduanya telah diremehkan, kehilangan kekhususannya, dari rasa persembahan dan pengorbanan menurut teladan Tuhan kita, sebagaimana yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang Katolik sejati. 

Kehidupan sipil telah menjadi biadab luar biasa, dan seiring dengan itu merosotnya moralitas publik, kesucian perkawinan, penghormatan terhadap kehidupan dan tatanan Penciptaan. Dan para juru propaganda Konsili Vatikan II ini malah menanggapi dengan tantangan rekayasa hayati, transhumanisme, memimpikan makhluk-makhluk yang diproduksi secara massal dan terhubung ke jaringan global, seolah-olah memanipulasi kodrat manusia bukanlah penyimpangan iblis yang bahkan tidak layak untuk menjadi hipotesis. 

Kita mendengar Paus berkhotbah bahwa "pengecualian terhadap migran menjijikkan, berdosa, dan kriminal," sementara LSM, lembaga karitatif, dan asosiasi kesejahteraan mendapat untung dari perdagangan imigran ilegal atas beban yang ditanggung Negara dan menolak untuk menyambut orang-orang Italia sendiri, yang telah diabaikan oleh institusi dan dianiaya oleh krisis yang disebabkan oleh Sistem. Mereka mendesak negara-negara "berdaulat" untuk melucuti senjata dan membuat warga negara malu dengan identitas kebangsaan mereka, tetapi berteori tentang legalitas pengiriman senjata ke Ukraina, kepada pemerintah yang menjadi boneka Tatanan Dunia Baru, yang dibiayai oleh badan-badan globalis dan organisasi-organisasi elit besar.

Kesalahan teologis lain yang sangat serius dan merusak sifat sejati Gereja terletak pada dasar-dasar yang bersifat sekuler dari eklesiologi konsiliar, tidak hanya berkaitan dengan visi lembaga dan perannya di dunia, tetapi juga karena telah memutuskan ikatan hierarki yang saling melengkapi antara otoritas spiritual Gereja dan otoritas sipil Negara, yang mana keduanya berasal dari Ketuhanan Kristus. Tema ini, yang tampaknya rumit dalam penanganan yang dangkal oleh para pakar Konsili Vatikan II, baru-baru ini merupakan subjek intervensi oleh Joseph Ratzinger yang saya rencanakan untuk dibahas dalam esai terpisah.

"Engkau yang mengasihi kami" - kata Bergoglio dalam homilinya untuk "Mengenang St. Yohanes XXIII" - "bebaskan kami dari praduga kecukupan-diri dan dari semangat kritik duniawi. Cegahlah kami dari penolakan untuk membangun persatuan. Engkau yang dengan penuh kasih memberi makan kami, pimpin kami keluar dari selungkup referensialitas-diri. Engkau yang menginginkan agar kami menjadi satu kawanan, selamatkan kami dari bentuk-bentuk polarisasi dan "isme" yang merupakan hasil karya iblis." Ini adalah kata-kata paling lancang dan nyaris seperti mengejek. 

Nah, waktunya telah tiba bagi para klerus dan umat "gereja konsili" untuk bertanya pada diri sendiri apakah "gereja konsili" bukannya yang pertama menganggap bahwa dirinya bisa mandiri (terlepas dari tradisi), memberi makan kritik duniawi dengan mengejek umat Katolik yang baik sebagai kaku dan tidak toleran, sengaja mengecualikan diri sendiri dari kesatuan dengan Tradisi, dan dengan bangga berbuat dosa dengan mengacu pada diri sendiri?

Tertanda,
Carlo Maria Vigano, Uskup Agung

 

Posting Komentar

0 Komentar